Unknown
BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Islam adalah agama yang sempurna. Dengan demikian Islam telah mengatur cara hidup manusia dengan sistem yang serba lengkap. diantaranya, bermuamalah kepada sesama manusia . Di antara muamalat  yang telah diterapkan kepada kita ialah Al Hiwalah. 
Al Hiwalah merupakan sistem yang unik, yang sesuai untuk diadaptasikan kepada manusia. Hal ini karena al Hiwalah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia . Al hiwalah sering berlaku dalam permasalahan hutang piutang. Maka salah satu cara untuk menyelesaikan masalah  hutang piutang dalam muamalah adalah al hiwalah. 
Al Hiwalah bukan saja digunakan untuk menyelesaikan masalah hutang piutang,akan tetapi bisa juga digunakan  sebagai pemindah dana dari individu kepada individu yang lain atau syarikat dan firma. sebagai mana telah digunakan oleh sebagian sistem perbankan.
Dalam hal ini penulis berkesempatan untuk mengkaji tentang al Hiwalah.yang berkaitan dengan  definisi, dalil yang berkaitan, rukun dan syarat. Penulis juga akan membicarakan mengenai al Hiwalah di dalam sistem perbankan dan hal lain yang berkaitan dengan hiwalah.

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat ditentukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa definisi Hawalah ?
2.      Apa landasan akad Hawalah ?
3.      Apa rukun Hawalah ?
4.      Apa syarat Hawalah ?
5.      Apa saja jenis Hawalah ?
6.      Bagaimana berakhirnya Hawalah ?

C.     TUJUAN
Dari rumusan masalah tersebut ditentukan tujuan berikut, yaitu:
1.      Mengetahui definisi Hawalah.
2.      Mengetahui landasan akad Hawalah.
3.      Mengetahui rukun Hawalah.
4.      Mengetahui syarat Hawalah.
5.      Mengetahui jenis-jenis Hawalah.
6.      Mengetahui penyebab berakhirnya Hawalah.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hawalah
Secara bahasa hawalah atau hiwalah bermakna berpindah atau berubah. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah para fukoha hawalah adalah pemindahan atau pengalihan penagihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang yang menanggung hutang tersebut. Batasan ini dapat digambarkan sebagai berikut. Misalnya A meminjamkan sejumlah uang kepada B dan B sebelumnya telah meminjamkan sejumlah uang kepada C. Untuk lebih menyederhanakan persoalan, kita asumsikan bahwa hutang C pada B sama jumlahnya dengan hutang B pada A. Ketika A menagih hutang kepada B, ia mengatakan kepada A bahwa ia memiliki piutang yang sama pada C. Karena itu B memberitahukan kepada A dan ia dapat menagihnya kepada C dengan catatan ketiga-tiga orang itu menyepakati perjanjian hawalah dahulu.
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdurrahman al-Jaziri, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah:

النّقل من محلّ إلى محل
Artinya: “Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.”[1]Sedangkan pengertian hiwalah menurut istilah para ulama berbeda beda pendapat antara lain sebagai berikut:
1.      Menurut hanafiyah yang di maksud hiwalah adalah
Hiwalah adalah memindahkan tuntunan atas utang dari tanggungan yang berutang ( mudin) kepada tanggungan multazim.
 معنى الحوالة
لغة: الحوالة من التحويل و هي بفتح الحاء وقد تكسر قال ابن حجر رحمه الله:(وهي مشتقة من التحويل, او من الحول : حال عن العهد اذا انتقل اليه) اصطلاحا: نقل دين من ذمة الى ذمة اخرى[2]
2.      Menurut ibnu hajar yang di maksud dengan hiwalah adalah:
“ akad yang menetepkan pemindahan beban utang dari seorang kepada yang lain”
3.      Menurut Muhammad syatha al dimyati  yang dimaksud dengan hiwalaha adalah:
“akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”
4.      Menurut Sayid sabiq yang dimaksud dengan hiwalah adalah :[3]
“Hiwalah adalah pemindahan utang dari tanggungan orang yang memindahkan (al muhil ) kepada tanggungan orang yang di pindahiutang (muhal alaih)
Dari defenisi di atas tersebut dapat disimpulkan bahwa hiwalah adalah pemindahan hak berupa utang dari orang yang berutang (al muhil) kepada orang lain yang dibebani tanggungan pembayaran utang tersebut.[4]

2.2 Dasar Hukum Hawalah
Pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan oleh syariah dan telah dipraktekkan oleh kaum Muslimin dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Dalam al-Qur'an kaum Muslimin diperintahkan untuk saling tolong menolong satu sama lain, lihat al-Qur'an : 5: 2. Akad hawalah merupakan suatu bentuk saling tolong menolong yang merupakan manifestasi dari semangat ayat tersebut.
a.       Al-qur’an
öNåkâ:|¡øtrBur $Wß$s)÷ƒr& öNèdur ׊qè%â 4 öNßgç6Ïk=s)çRur |N#sŒ ÈûüÏJuø9$# |N#sŒur ÉA$yJÏe±9$# ( Oßgç6ù=x.ur ÔÝÅ¡»t/ ÏmøŠtã#uÏŒ ϊϹuqø9$$Î/ 4 Èqs9 |M÷èn=©Û$# öNÍköŽn=tã |Mø©9uqs9 óOßg÷YÏB #Y#tÏù |Mø¤Î=ßJs9ur öNåk÷]ÏB $Y6ôãâ ÇÊÑÈ y7Ï9ºxŸ2ur óOßg»oY÷Wyèt/ (#qä9uä!$|¡tGuŠÏ9 öNæhuZ÷t/ 4 tA$s% ×@ͬ!$s% öNåk÷]ÏiB öNŸ2 óOçFø[Î6s9 ( (#qä9$s% $uZø[Î7s9 $·Böqtƒ ÷rr& uÙ÷èt/ 5Qöqtƒ 4 (#qä9$s% öNä3š/u ÞOn=ôãr& $yJÎ/ óOçFø[Î6s9 (#þqèWyèö/$$sù Nà2yymr& öNä3Ï%ÍuqÎ/ ÿ¾ÍnÉ»yd n<Î) ÏpoYƒÏyJø9$# öÝàZuŠù=sù !$pkšr& 4x.ør& $YB$yèsÛ Nà6Ï?ù'uŠù=sù 5-ø̍Î/ çm÷YÏiB ô#©Ün=tGuŠø9ur Ÿwur ¨btÏèô±ç öNà6Î/ #´ymr& ÇÊÒÈ
QS Al-Kahfi (18:19). dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)”. mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau setengah hari”. berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ
QS Al-Baqarah (2:283). jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[1] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz ÇÌÎÈ
QS An-Nisaa (4:35). dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam[2] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal
QS Yusuf (12:55). berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir) ; Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”.
b.      Hadist
Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan Wakalah, diantaranya:
1.      “Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits”. HR. Malik dalam al-Muwaththa’)
2.      “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)
Dalam kehidupan sehari-hari, Rosulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lain.

c.       As Sunnah
Rasulullah SAW bersabda : " Menunda-nunda pembayaran hutang dari orang yang mampu membayarnya adalah perbuatan zalim. Dan apabila salah seorang dari kamu dipindahkan penagihannya kepada orang lain yang mampu, hendaklah ia menerima." H. R. Ahmad dan Abi Syaibah. Semangat yang dikandung oleh hadis ini menunjukkan perintah yang wajib diterima oleh orang yang dipindahkan enagihannya kepada orang lain. Karena itu menurut Imam Ahmad dan Dawud adh-Dhohiri orang yang dipindahkan hak penagihannya wajib menerima akad hawalah. Hanya saja umhur ulama tidak mewajibkan hal itu dan menakwilkan kata perintah dalam hadis ini mempunyai kedudukan hukum sunnah atau dianjurkan saja, bukan sebagai suatu kewajiban yang harus diikuti.
Hiwalah merupakan suatu akad yang dibolehkan oleh syara’ karena dibutuhkan oleh  masyarakat.hal ini didasarkan pada hadis nabi yang diriwayatkan dari abu hurairah bahwa rasul saw bersabda.[5]
 مطل الغنيُ ظلم, وإذاأتبع احدكم على ملئ فليتبع
Artinya: Menunda – nunda pembayaran  oleh orang kaya adalah penganiayaan, dan apabila salah seorang diantara kamu di ikutkan ( dipindahkan) kepada orang yang mampu maka ikutilah ( HR bukhori dan mislim)[6]

Pada hadist tersebut rasulullah memberitahukan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya / mampu hendaklah ia menerima hiwalah tersebut dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihiwalahkan (muhal alaih)  dengan demikian haknya dapat terpenuhi.
d.      Ijma’
Pada prinsipnya para ulama telah sepakat dibolehkannya akad hawalah ini. Hawalah yang mereka sepakati adalah hawalah dalam hutang piutang bukan pada barang konkrit. Hawalah dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang / benda, karena hawalah adalah pemindahan utang, oleh karena itu harus pada utang atau kewajiban fiannsial.[7]
e.       FATWA DSN NO. 12/ DSN – MUI/ 1V/2000 tentang rukun hiwalah.

2.3 Rukun Hawalah
Menurut madzhab Hanafi rukun hawalah ada dua yaitu ijab yang diucapkan oleh Muhil dan qobul yang diucapkan oleh Muhal dan Muhal alaih. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun hawalah ada enam macam yaitu:
a.       Muhil ( orang yang memindahkan penagihan yaitu orang yang berhutang).
b.      Muhal ( orang yang dipindahkan hak penagihannya kepada orang lain yaitu orang yang mempunyai piutang).
c.       Muhal alaih ( orang yang dipindahkan kepadanya objek penagihan).
d.      Muhal bih (hak yang dipindahkan yaitu hutang).
e.       Piutang Muhil pada Muhal alaih.
f.       Shighot (ijab dan kabul).
Dalam contoh di atas Muhil adalah B, Muhal adalah A dan Muhal alaih adalah C. Dalam akad hawalah Ijab yang diucapkan oleh Muhil mengandung pengertian pemindahan hak penagihan, umpamanya ia berkata kepada A : Aku pindahkan (hawalahkan) hak penagihanmu terhadap hutang saya kepada C. Sementara itu A dan C menyetujui dengan mengucapkan " Kami setuju". Dengan demikian akad hawalah tersebut dapat dilaksanakan dengan masing-masing pihak puas dan rela.

2.4 Syarat-syarat Hawalah
1. Syarat muhil
a.    Muhil harus aqil dan baliq , hiwalah yang dilakukan oleh orang yang mengalami ngangguan jiwa dan anak yang belum berakal adalah tidak sah. Karena akal merupakan syarat dalam bertindak.
b.    Adanya kerelaan muhil, kalau muhil dipaksa maka hawalah tidak syah.
2.    Syarat muhal
a.       Muhal harus aqil( berakal sehat) karena Kabul merupakan salah satu rukun dalam akad hiwalah. Seorang yang tidak berakal tidak boleh melakukan akad,dari  muhal juga di syaratkan sudah balig, bila ia belum balig maka di perlukan  adanya izin dari walinya.
b.      Adanya kerelaan muhal, tidak sah hawalah bila muhal di paksa
c.       Qabul muhal , harus pada majelis hawalah, seandainya muhal tidak berada dalam majelis akad, lalu berita akd itu sampai kepadanya, ia boleh menolak, sehingga akad itu tidak sah.[8]
3.    Syarat muhal bih
a.       Adanya hutang muhal alaih kepada muhil, kalau tidak ada hutang dalam hal ini, maka akad yang dilakukan itu adalah sebagai wakalah bukan  sebagai hawalah
b.      Hutang harus sesuatu yang lazim atau mengikat, setiap hutang yang tidak sah kafalah ( jaminan) nya, maka tidak sah pula untuk dijadikan hawalah.
c.       Adanya hutang muhal alaih kepada muhil sebelum akad tidak dianggap sebagai syarat sah hawalah bagi ulama mazhab hanafi. Hawalah dianggap sah, baik ada hutang muhal alaih kepada muhil atau pun tidak.[9]

2.5      Jenis-jenis Hawalah
2.5.1        Hawalah Muthlaqoh
Ini terjadi jika seseorang memindahkan hutangnya agar ditanggung muhal alaih, sedangkan ia tidak mengaitkannya dengan hutang piutang mereka, sementara muhal alaih menerima hawalah tersebut.
Ulama selain mazhab hanafi tidak membolehkan hiwalah semacam ini. Sebagian ulama berpendapat pengalihan utang secara muthlaq ini termasuk kafaah madhdah  (jaminan), untuk itu harus didasarkan ketiga belah pihak, yaitu orang yang mempunyai piutang, orang yang berhutang dan orang yang menanggung utang.[10]
2.5.2         Hawalah muqayyadah
Ini terjadi  jika orang yang berhutang memindahkan beban hutangnya tersebut pada muhal alaih dengan mengaitkannya pada hutang muhal alaih padanya.inilah hawalah yang dibolehkan berdasarkan kesepakatan ulama. Namun kedua macamhiwalah tersebut dibolehkan berdasarkanhadist nabi yang diriwayatkan oleh abu hurairah.[11]
2.5.3        Hawalah al haq
Pemindahan hak atau piutang dari seorang pemilik piutang lainnya biasanya itu dilakukan bila pihak pertama mempunyai hutang kepada pihak kedua ia membayar utangnya tersebut dengan piutannya pada pihak lain. Jika pembayaran barang/ benda, maka perbuatantersebut dinamakan sebagai hawalah hak. Pemilik piutang dalam hal ini adalah muhil, karena dia yang memindahkan kepada orang lain untuk memindahkan haknya.
2.5.4        Hawalah al dain
Lawan dari lawan al haq. Hawalah ad dain adalah pengalihan utang dari seorang penghutang  kepada penghutang lainnya. Ini dapat dilakukan karena penghutang pertama masih mempunyai piutang pada penghutangkedua. Muhil dalam hawalah ini adalah orang yang berutang, karena dia memindahkan kepada orang lain untuk membayar hutangnya. Hiwalah ini di syariatkanberdasarkan kesepakatan ulama.[12]

2.6      Berakhirnya Akad Hawalah
Akad hawalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini.
1.    Fasakh
Apabila akad hiwalah telah fasakh ( batal) , maka hak muhal untuk menuntut utang kembali kepada muhil, pengertian fasakh dalam istilah fukaha adalah berhentinya akad sebelum tujuana akad tercapai.
2.    Hak muhal (utang) sulit untuk dapat kembali karena muhal alaih meninggal dunia, boros, (safih) atau lainnya, dalam keadaan semacam ini dalam urusan penyelesaian utang kembalikepada muhil. Pendapat ini dikemukakan oleh hanafiah, akan tetapi menurut malikiyah, syafi’iah, hanabilah. Apabila akad hiwalah sudah sempurnadan hak sudah berpindah serta di setujuioleh muhal maka hak penagihan tidak kembali kepada muhil, baik hak tersebut bisa dipenuhi atau tidak karena meninggalnya muhal muhal alaih atau boros. Apabila dalam pemindahan utang tersebut terjadi gharar (penipuan) menurut malikiyah, hak penagihan utang kembali kepada muhil.
3.    Penyerahan harta oleh muhal alaih kepada muhal.
4.    Meninggalnya muhal atau muhal alaih mewarisi harta hiwalah.
5.    Muhal menghibahkan hartanya kepada muhal alaih dan ia menerimanya.
6.    Muhal menyerahkan hartanya kepada muhal alaih dan dia menerimanaya
7.    Muhal membebaskan muhal alai.[13]

2.7      Hukum Yang Terkait  Dengan Hawalah
Apabila hawalah telah dilaksanakan dan berjalan sah, maka tanggungan muhil menjadi gugur. Andaikata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah, atau meninggal dunia, muhal tidak boleh lagi menuntut muhil, demikian pendapat mayoritas ulama.[14]
Namun  sebagian ulama lain mengatakan, bahwa orang  yang menghutangkan, bahwa orang yang menghutangkan ( muhal) dapat kembali lagi kepada muhil , seandainya muhal alaih meninggal dunia, bangkrut, atau mengingkari hawalah.
Sebagian ulama berpendapat  jika muhil telah menipu muhal, karena ia menghiwalahkan kepada orang yang kafir, maka tanggungan muhil kepada muhal tidak gugur. Muhal boleh menagih kembali kepada muhil untuk mengembalikan piutangnya.
Muhal mempunyai kewenangan untuk menuntut atau menagih muhal alaih atas hutang muhilkepada muhal. Alasannya hawalah adalah mengalihkan utang kepada muhal alaih dengan hutang yang dalam tanggungannya.[15]

2.8      Aplikasi Dalam Perbankan
Kontrak hiwalah dalam perbankan biasanya diterapkan dalam :
1.      Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada pihak bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya kepada pihak ketiga.
2.      Post- dated check , dimanabank bertidak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
3.      Bill discounting, secara prinsip bill discountingserupa dengan hawalah. Hanya saja nasabah harus membayarkann fee, sementara fee tidak didapati dalam kontak hawalah
Tujuan fasilitas hiwalah adalah untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang . untuk mengantisipasi kerugian yang timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutangdan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang.[16]
2.9      Manfaat  Hawalah
1.      Memungkinkan peneyelesaian hutang dan piutang dengan cepat dan simultan.
2.      Tersedianya talangan untuk hibah bagi yang membutuhkan.
3.      Dapat menjadi salah satu based income / sumber pendapatan non pembiayaan bagi bank syariah.
Adapu resiko yang harus diwaspadai dari kontak hawalah adalah adanya kecurangan nasabah dengan memberi invoice palsu atau wanprestasi  ingkar janji untuk memenuhi kewajiban hawalah ke bank.[17]

BAB III
PENUTUP
·      KESIMPULAN
1.       Pengertian hiwalah
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdurrahman al-Jaziri, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah: ( terjemah)
النّقل من محلّ إلى محل
Artinya: “Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain
Menurut istilah hiwalah adalah pemindahan hak berupa utang dari orang yang berutang ( al muhil) kepada orang lain yang dibebani tanggungan pembayaran utang tersebut.
2.      Dasar hukum hiwalah
* Sunnah
* Ijma’
* FATWA DSN NO, 12/ DSN – MUI/ 1V/2000
3.      Rukun wiwalah
a.       Muhil ( orang yang berutang dan berpiutang)
b.      Muhal ( yaitu orang yang berpiutang
c.       Muhal alaih ( orang yang berhutang dan  berkewajiban membayar utang kepada muhal)
d.      Muhal bih ( hutang muhil kepada muhal)
e.       Utang muhal alaih kepada muhil
f.       Shigat
4.      Syarat sahnya hiwalah
1)      Syarat muhil
2)      Syarat muhal
3)      Syarat muhal bih
5.      Jenis – jenis hiwalah
1.      Hawalah muthlaqah
2.      Hawalah muqayyadah
3.      Hawalah al haq
4.      Hawalah al dain
6.      Aplikasi dalam perbankan
1.      Factoring atau anjak piutang
2.      Post dated check
3.      Bill discounting




[1] Hendi suhendi , fiqih muamalah. ( Jakarta: raja grafindo persada 2002) hlm 99
[2] Abu abdul rahman adil bin yusuf al azzazi, darul aqidah

[3] Ahmad wardi muslich fiqih muamalah (Jakarta: AMZAH 2010)hlm 448
[4] Ibid., 249
[5] Muhammad safi’I Antonio,bank syariah wacana ulama dan cendekiawan( Jakarta: alvabet 1999) hlm202
[6] Ibnu hajar al asqalani, terjemah bulugul maram( Surabaya:mutiara ilmu 2011) hlm 394
[7] Muhammad heykal,lembaga keuanagn islam tinjauan teoritis dan praktis( jakarta: nurul huda,2010) hlm103
[8] http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/13/ fiqihmuamalah di akses tanggal 26 maret
[9] Ibid
[10] As carya, akad dan produk bank syariah ( Jakarta: raja wali pers, 2006) hlm 26
[11] Muhammad tahil mansuri,islamic law of contract and bussines and transaction ( new delhi: adam publishers and distributors, 2006) hlm 305
[12] Muhammad tahil mansuri,islamic law of contract and bussines and transaction ( new delhi: adam publishers and distributors, 2006) hlm 305
[13] Ahmad wardi muslich, fiqih muamalah (Jakarta: AMZAH 2010)  hlm 452
[14] Jamil ukud, al fiqh ala al mazahib, al maktabah ats saqofah ad diniyah jilid 3
[15] Ibid
[16] Adi warman karim, bank islam ( Jakarta:raja wali pers, 2004) hlm 105
[17] Muhammad safi’I Antonio,bank syariah wacana ulama dan cendekiawan( Jakarta: alvabet 1999) hlm 209
Label:
0 Responses

Posting Komentar


widgets