Unknown

Dia



Aku tak tahu apakah yang kupikirkan dan rasakan ini benar adanya dan dibenarkan oleh agamaku, aku sudah berusaha untuk menghapus semua tatapan matamu dari buku harian hatiku, menyapu indahnya senyummu dari lubuk hati ini, meracuni kata-kata manismu kepadaku. Tetapi, apapun usahaku rasanya sia-sia belaka. Pondasi beton yang kau tanamkan dihatiku sudah terlanjur mendarah daging dan menyatu dalam urat nadiku. Sehingga, menyebut namamu saja membuat hatiku bergetar. Menatap potretmu membuatku sesak nafas dan kehilangan kesadaran. Bertahun-tahun lamanya kupendam dalam rasa ini, berharap kau yang ungkapkan dulu kepadaku.
Tetapi, bukankah kita masih ada ikatan saudara? bukankah kau adalah adik dari Bu dheku? kenapa kau harus menjadi sosok itu? menjadi orang yang benar-benar kuharapkan menjadi imam dalam bahtera keluargaku kelak.
Semua pertannyaan berkumpul menjadi sebongkah batu yang siap menghantamku kapanpun, menghantuiku saat aku mengingat wajahmu. Tapi untuk apa sekarang aku memikirknmu lagi, mungkin kau saja tak ingat denganku, tak peduli denganku bahkan membenciku mungkin. Mungkin pula kau sudah mempunyai tambatan hati, meskipun itu mungkin tapi aku harap tidak mungkin.
Malam ini, aku benar-benar bahagia. Kau mengucap janji suci itu di depanku dan keluargaku. Dunia serasa berpihak kepadaku, semerbak bau surga menyapaku. Terlihat jelas kesungguhan itu dari raut wajahmu.
“ Maukah kau menjadi pendamping hidupku ? menjadi ibu untuk anak-anakku kelak?,” tanya seorang pria berusia 27 tahun yang sejak ba’da magrib tadi duduk di ruang tamu rumahku.
“ Insya allah, aku bersedia. Tapi aku membutuhkan bimbinganmu dalam mengasuh anak-anak kita kelak,” Jawabku dengan suara lembut sambil memegang erat tangan halus wanita paruh baya yang duduk disampingku.
“ Tentu, aku akan membimbingmu, menjagamu, serta menyayangimu.” Jawabnya dengan tegas tanpa ragu sedikitpun.
Dialog singkat itu disaksikan oleh lantunan sunyi malam beserta para musikus yang menghiasi malam ini. Nampak sedikit ganjil dan hambar, di ruang tamu itu semua orangnya sudah sangat kukenal baik. Lucu rasanya, keluarganya adalah keluargaku. Meskipun kami belum ada ikatan. Aku tak peduli itu, tak mau tahu dengan apa kata orang tentang kami. Peduli apa mereka dengan kebahagianku.
Jangan lagi kau sesali keputusanku
Ku tak ingin kau semakin kan terluka
Tak ingin ku paksakan
Cinta ini...
Meski tiada sanggup kau terima
Dentuman lagu ini membangunkanku. “ Agh... sial, hanya mimpi,” gerutuku dalam hati. Suara alarm yang kupasang, malah mencelakaiku sendiri. Padahal sudah merasa terbang kepangkal langit, dan kini harus jatuh kembali ke ujung bumi. Sakitnya tak sesakit harus menyadari kenyataan, kenyataan bahwa kini aku adalah istri dari orang lain. Menatap raut wajah seseorang yang belum kukenal benar sosoknya, kini terlelap diranjangku, dikamarku.
Mas Setyo, pria yang menikahiku dua bulan lalu. Entah alasan apa yang membuatku menerima pinangannya. Keluargakupun dengan suka cita menerima bergabungnya Mas Setyo ke keluarga kami. Mungkin karena parasnya yang rupawan dan kekayaannya? Atau karena kelembutan dan kesopanan tutur katanya? Atau karena keputus asaanku menantimu, My Prince ?
Tapi yang penting dari semuanya Mas Setyo menyayangiku, menerimaku apa adanya, mau memahamiku. Beruntungnya aku bisa menjadi kandidat terpilih di hatimu Mas. Kau selalu romantis dan memanjakanku setiap hari, membuatku tak jemu dengan hadirmu. Menumbuhkan sedikit demi sedikit benih cinta untukmu, dan mengkaramkan cintaku untuk My Prince.
Terbesit juga akan selembar kertas yang kemarin baru kuambil dari Rumah Sakit. Aku tak pernah menyangka kalau aku akan jadi begini, sakit. Sakit yang menurutku nggak biasa. Kenapa juga harus aku? Apa aku bisa bertahan melawan penyakit ini? Apa aku sanggup ya Allah? Semua pertanyaan bertubi-tubi menusuk pikirku. Aku belum berani menceritakan hal ini pada siapapun, mas Setyo juga belum tahu. Aku belum siap mendapatkan belas kasihan dari siapapun. Aku malu kalau terlihat lemah didepannya. Meski aku tahu betul, dia takkan menertawakanku. Biarlah waktu yang akan bercerita padanya.
*****
“ Pagi sayang ! ayo bangun kita sholat berjamaah dulu,” ajak mas Setyo dengan usapan halus dirambutku, suaranya yang pelan membuatku terbangun.
“ Iya, mas.” Jawabku dengan mata masih terpejam.
Sudah menjadi rutinitas kami sholat berjamaah, dan sudah rutinitas pula kalau aku harus terbangun oleh suara lembutnya. Kini aku harus terbiasa dengan memanggilnya suamiku. Butuh proses memang untuk mengajak lidah ini kompromi mengucap kata itu. Tapi syukurnya Mas Setyo selalu bisa mengerti itu. Aku juga harus terbiasa melayaninya, menyiapkan segala keperluannya sebelum berangkat bekerja. Menanti kepulangannya setiap pukul 16.00 tiba.
“ Sayang, hari ini Mas pulang telat. Ada laporan-laporan yang harus diselesaikan,” katanya sambil membereskan sajadah.
“ Iya, Mas.” Jawabku singkat.
Tuturnya yang lembut dan tak pernah sekalipun kudengar darinya amarah terkadang membuatku merasa bersalah jika harus bersikap acuh kepadanya. Inikah saatnya aku menjadi istri yang baik, sholehah, nurut ke suaminya ? namun, dihatiku masih ada nama orang lain, bukan dirimu Mas Setyo. Salahkah aku?
Hari ini aku masuk ke dapur dengan perasaan menggantung, mengharap mimpi semalam adalah nyata. Kupanaskan air diatas kompor, ku persiapkan racikan kopi yang setiap pagi sengaja kuhidangkan untuk Mas Setyo. Setelah kopi siap, aku mulai aksiku dengan semua peralatan dapur dan sayur mayur yang kedinginan di dalam lemari es. Kupotong, kucincang, kurebus, kucampur dengan berbagai macam bumbu yang kuketahui dari ibu tercinta.

Sementara itu Mas Setyo tengah sibuk megatur kertas-kertas di ruang kerjanya. Setelah itu, ia selalu bergegas mandi. Setelah rapi dan wangi, ia sering mengejutkanku dengan tiba-tiba memelukku dari belakang sambil membisikkan I love you, sayang. Kalimat itu yang selalu berhasil membuatku membeku dibuatnya.
Nampaknya pagi ini Mas Setyo terlalu sibuk, tak sempat memelukku. Sedikit rindu dengan hal itu. Mas Setyo belum muncul.
“ Mas, sarapan sudah siap. Ayo sarapan dulu !” Seruku kepadanya dari dapur. 
Tak ada jawaban dan sahutan. Aku agak khawatir. Kuputuskan untuk mencarinya keruang kerjanya, hasilnya nihil, tak ada sosoknya. Kemanakah dia? Kakiku melangkah kekamar, mataku mencari sosoknya, dan kutemukan ia sedang duduk menatap sebuah kertas biru yang sudah lusuh dan tak beraturan lagi bentuknya.
“ Mas, ayo sarapan dulu. Nanti terlambat lho kekantornya,” Ajakku lembut tanpa menunjukkan rasa ingin tahuku dengan apa yang tengah mengusik hidupnya.
“ Oh...iya sayang, sebentar. Aku mau membereskan berkas-berkas ini. Sayang tunggu di ruang makan saja dulu,” Celetuknya sambil menatapku lembut, memegang tanganku untuk menunjukkan bahwa ia sedang baik saja, tidak memikirkan apapun.
Aku hanya mengangguk, berlalu meninggalkannya. Sudahlah, itu haknya untuk merahasiakan sesuatu dariku. Aku segera bergegas menuju ruang makan. Sepuluh menit kemudian, Mas Setyo menyusulku sarapan. Entah apa yang tengah ia rasakan, tapi nampak jelas dirautnya kalau ia sedang memikirkan sesuatu. Setelah menyelesaikan sarapannya, ia berpamitan kepadaku. Melayangkan kecupan kedahiku. Ingin menolaknya, meronta dan menghindar. Tapi, tak tega rasanya kali ini.
Kuharus menemui cintaku
Mencari tahu hubungan kita
Apa masih atau tlah berakhir
Kau menggantungkan hubungan ini
Kau diamkan aku tanpa sebab
Maunya apa, ku harus bagaimana
Kasih...
Lagu dari handphone merah jambu yang sudah setahun ini kumiliki, menghentikanku mencuci piring. Membuat jari-jariku menari diatas keypadnya, membuka pesan.

From : +6281917428872
Masih ingatkah my Princess ini denganku ?
Bisakah kamu meluangkan waktu untuk menemuiku siang ini di tempat biasa kita 
bertemu?
Otakku keluh, mataku berbinar, jantungku menghela nafas panjang. Siapakah ini? Mungkinkah, dia kembali? Tak terfikir apapun dibenakku untuk mereply pesan yang baru saja kubaca. Segera kututup handphone, kembali melanjutkan kewajibanku.
Pikirkupun melayang, membayangkan semua kenangan dengannya. Merasakan kembali getaran yang sempat lenyap oleh waktu. Sadarkupun kembali, menatap potret pernikahanku. Menatap senyum bahagia orang tuaku, begitu juga dengan Mas Setyo. Aku tak sanggup harus memilih. Aku tak mau mengkhianati kasihnya padaku. Tapi diriku yang lain meronta meminta keadilan, ingin menentukan pilihan hidupku sendiri.
Tiba-tiba sesak menghampiriku, nafasku tersangkut. Kepala mulai berputar hebat. Kenapa ini? Dadaku mendadak panas, penuh sesak. Aku segera mencari obat itu, obat yang kulupa untuk kuminum pagi ini. Sepuluh menit lebih kuhabiskan waktuku untuk hanya duduk bersandar merasakan kelegaan datang menyapa. Aku tak boleh lupa lagi minum obat ini.
***
“ Halo, assalammualaikum. Mas siang ini aku minta ijin untuk menemui teman lama di perpustakaan kota,” suaraku mengawali pembicaraan kami melalui telepon.
“ Waalaikumsalam, iya sayang. Hati-hati, jangan pulang terlalu sore dan juga jangan lupa lagi minum obatmu.” Jawab suara diujung kabel telepon ini.
“ Terima kasih, mas.” Ucapku sembari menutup telepon tanpa menunggu jawaban dari ujung sana.
Aku bergegas menuju kamar, menghampiri almari kayu dengan dua pintu kaca besar. Membukanya lalu membolak-balikkan isinya, mencari yang pas untuk menemuinya. Akhirnya kutemukan, long dress ungu dengan payet pada bagian dada. Segera kukenakan, menatap sosokku sendiri didepan cermin membuatku tertegun. Mengingat kenangan yang melekat pada baju ini. Kebahagiaan yang tertabur pada setiap helai benangnya. Setelah puas tenggelam dalam lamunan, aku mulai memoles pipiku dengan bedak. Mengenakan jilbab serapi dan seanggun mungkin, warna pink menjadi pilihanku. Setengah jam berlalu, dan aku masih berkutat di kamar. Kusempatkan menatap jam dinding di pojok kamar. “ Hha...setengah dua, aku telat.” Kataku sambil menuju garasi.
Kupacu mobil honda jazz biru milikku, menyusuri setiap jalan menuju tempat yang dijanjikannya. Dua puluh menit kemudian, jazz biru ini sudah terpakir dijajaran mobil lainnya. Ku tarik napas dalam-dalam, memulai melangkahkan kaki masuk kedalam. Mataku meraba-raba setiap pojok ruangan. Sampai akhirnya tatapanku jatuh pada seseorang dengan kemeja biru membawa sebuah bunga mawar putih kesukaanku, mulai mendekatiku. Menuju ketempatku berdiri dan termenung mengingat sosok ini. Memikirkannya lekat-lekat.
“ Syifa... Assalammualaikum, ayo ikut aku!” ajaknya sembari menyodorkan bunga yang dibawanya.
“ Mas Zaaa...ky, Waalaikumsalam... “ wajah polos dan terkejutku menyambut tawarannya, aku pasrah mengikuti kemana kakinya melangkah.
Kami tiba disebuah ruang disalah satu perpustakaan, cafetaria. Duduk berhadapan, bertukar pandang. Suasana tegang menyusup kedalam jiwaku, membuatku semakin grogi dengan tatapan matanya yang dingin. Keheningan untuk beberapa menit diantara kami membuatku sedikit lega, berharap tak ada pertanyaan yang harus kujawab. Serta alasan yang harus kubuat. Jemari sibuk memainkan sendok yang ada didepanku, menutupi perasaan gelisahku.
“Aku ... terkejut mendengar berita pernikahanmu, dek. Maafkan aku, yang membuatmu menunggu. Mengharuskanmu membuat pilihan yang sulit. Aku tidak kecewa dengan pilihanmu, aku yakin dek Syifa nggak akan salah milih,” ungkapnya membuka percakapan.
Mendengar semua ungkapannya, membuatku merasa sedikit bersalah. Mengapa aku harus tergesa-gesa? Dan membuatku ragu akan pilihanku sendiri. Jantungku berdebar tak karuan, iramanya sudah mulai tak jelas. Tanganku mulai basah akan keringat, gugupku kambuh. Tanganku juga bergetar aneh dengan tiba-tiba.
“ Iya...ya aku memang sudah menikah, tapi....” ucapku tertahan, mungkinkah aku harus mengatakan yang sebenarnya. Bagaimana dengan rumah tangga yang baru saja kubangun, Mas Setyo dan kasihnya untukku. Tapi, inilah saatnya Syifa.
“ Suamiku adalah orang yang baik, dia selalu bisa mengerti aku dan selalu ada untukku kapanpun aku butuh. Dia bagaikan malaikat, merawatku saat aku tak berdaya” lanjutku, entah kata-kata ini keluar begitu saja.
Rautnya berubah sedikit masam, “Bolehkah aku mengenalnya? Aku ingin mengucapkan selamat kepadanya karena mendapatkan gadis sesempurna dirimu”.
Aku terkejut,” Mengenalnya...mengenal suamiku, tentu saja...boooleh”. jawabku seadanya.
Kamipun terbenam dalam percakapan panjang, mulai dari kesibukkan kami selama lama tidak berjumpa sampai keadaan orang tua masing-masing. Aku takut sekali kembali harus teracuni dalam cintanya, tenggelam di laut kasihnya. Senyum dan tuturya terekam dibenakku, dan masih tetap seperti dulu. Menawan.
****
Pukul 05.00 ditunjukkan oleh jam tangan yang melekat dipergelangan tanganku. Aku bergegas pulang. Menikmati suasana senja di jalan raya, entah mengapa macet sore ini sangat indah. Dan ingin rasanya aku berlama-lama di jalan. Apa karena ada Mas Zaky disampingku, duduk menyetir mobil untukku. Memandangnya adalah sebuah kenikmatan tak terbayarkan dengan apapun. Kebersamaan kami berakhir saat kami tiba didepan sebuah apartemen di ujung jalan tol. Kata perpisahannya menyahat jantungku, tapi kami memang harus berpisah untuk berjumpa lagi. Kebahagiaan hari ini adalah polis yang harus kudapat setelah tiga tahun lebih menanti berjumpa lagi dengannya.
Lima belas menitpun kulalui menuju rumah. Dengan perasaan berbunga, aku menuju kamar mandi. Senandung kecilpun tak kusangka keluar dari muluku. Handuk dan pakaian ganti sudah kusiapkan.
“ Sayang...kenapa baru pulang ? “ suara yang muncul dari balik pintu kamar mandi.
Aku hanya terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Aku hanya berputar-putar didepan pintu kamar mandi sambil menggigit bibir. Mencari alasan yang pas untuk mas Setyo.
Klek...pintu kamar mandi terbuka. “Ayo cepat mandi dulu sayang, pasti capek ya.” Katanya sambil mendorong lembut tubuhku kedalam kamar mandi.
Senyum terpaksapun kulempar kepadanya. Mengharap pengertiannya untuk kesekian kali. Dinginnya shower membasahi otakku yang memanas sore ini. Setiap kali mata memejam, terlintas rautnya yang berbunga menggoreskan senyum misterius. Mendadak aku teringat akan mawar putih yang diberikanya sore ini, dan bunga itu masih tergeletak di kursi belakang mobil. Aku berharap Mas Setyo tak menemukannya.  Dan disaat itu pula nampak bayangan Mas Setyo menghalaunya. Segera aku mengakhiri acara bersih-bersih diri, berharap hilang pula pikiran yang mengganggu hanyut bersama air.
“Sayang, aku ingin bicara sesuatu denganmu. Kemarilah !”
Aku menurut saja, menghampiri tempatnya duduk. Duduk disampingnya dengan perasaan was-was kalau-kalau Mas Setyo tahu siapa yang aku temui sore ini atau menanyakan tentang bunga itu yang ternyata sudah duduk manis dimeja kamar tidur.
“Aku dipindah tugaskan ke Singapura, dan minggu ini kita harus bergegas pindah karena selasa depan, aku sudah harus menangani proyek baru disana. Aku tahu ini sulit untukmu. Apalagi... orang yang telah lama kau tunggu baru saja datang.”
Kalimat terakhirnya mengejutkan seluruh jiwaku, hatiku bergetar hebat. Aku mengeryitkan dahi, menghela napas panjang. Bagaimana Mas Setyo tahu hal ini. Mataku segera menatap mawar putih itu yang ternyata ada nama pengirimnya. Aku memang berusaha untuk terbuka kepadanya, termasuk tentang cintaku pada cinta masa laluku.
“Aku tidak ingin memaksamu untuk ikut pindah denganku, tapi bagaimana kata orangtua kita kalau aku pindah ke luar negeri tanpamu untuk waktu yang lama? Mereka akan berpikir negatif. Sayang...aku tahu betul, hatimu masih belum seutuhnya untukku, suamimu. Tapi aku yakin suatu saat cintamu akan sebesar cintaku kepadamu.” Mas Setyo menepuk bahuku dengan senyum khasnya.
“Aku juga ingin agar sayang mendapatkan pengobatan terbaik disana, aku tahu kamu belum siap untuk bercerita tentang penyakitmu padaku. Tapi, tanpa sengaja kutemukan hasil pemeriksaanmu itu.”
“Maafkan aku, mass..., aku mungkin bukan istri yang baik untukmu. Karena aku belum bisa membalas semua kasihmu untukku. Tapi, aku akan berusaha untuk itu. Aku ingin memulainya lagi dari awal mas, dan itu denganmu. Aku hanya tak ingin membebani pikiranmu dengan masalahku. Dan ...”.
Tak kusangka dan duga, Mas Setyo meraih tubuhku. Memelukku erat, perasaan hangat menyelimuti ruang itu. Sekejap bayangan Mas Zaky kabur dari benakku. Kurasakan sebulir air mata membasahi bahuku, Oh...mungkinkah air matanya?.
“Terima kasih sayang, aku hargai usahamu ini. Aku juga akan terus berusaha meyakinkanmu, bahwa aku adalah imammu yang tepat.”
Malam yang sungguh indah untuk kami, yang kami tutup dengan sholat isya’ berjama’ah. Menutup kelamnya pernikahan yang berjalan tanpa nyawa selama dua bulan. Aku harap besok adalah awal baru, saat untuk membangun pondasi bangunan cinta baruku. Maafkan aku cinta lama, mungkin memang tak seharusnya kau masih dihatiku. Kini, aku adalah istri, dan calon ibu dari anak-anak suamiku.
**
Semua baju dan berkas-berkas penting sudah kami pack. Tiket sudah ditangan, restu orang tua juga sudah dikantongi. Kami bersiap menuju airport. Menuju hari yang lebih indah.
“ Sudah?... tidak adakah lagi orang yang ingin kau pamiti. Atau hal lain yang ingin kamu lakukan ?”.
“ Mas, ijinkan aku untuk mengabari Mas Zaky. Aku rasa ia harus tahu. Bolehkah?” Sambil menunjukkan ponsel ke arahnya.
“ Tentu saja sayang... aku tidak keberatan jika itu membuatmu rela meninggalkan tempat kelahiran kita.”
Telunjukku mulai menari diatas keypad, menulis sesuatu yang sungguh aku bingung harus memulai menyampaikan apa dulu. Banyak kata yang harus kusampaikan kepadanya. Tapi yang dapat kutulis hanya ini. Masih berat agaknya untukku melakukan ini.
Sent to : +6281917428872 (Mas Zakky)
Mas Zaky, suamiku dipindah tugaskan ke luar negeri. Hari ini kami berangkat. 
Maafkan aku baru bisa memberi kabar. Mungkin kami akan tinggal lama disana.
Sampai jumpa lagi.
Perasaan lega bercampur kalut kembali menghampiriku. Menyadari perubahan raut mukaku, Mas Setyo memegang tanganku. Seperti ingin membagikan ketenangan kepadaku, memberi kekuatan kepada jiwaku yang rapuh. Perjalanan kami pun terhenti di parkiran airport. Mas Setyo menggenggam erat jemariku, memberi rasa aman padaku. Sepuluh menit kemudian kami menuju pesawat, mencari tempat duduk yang sudah dipesan. Setelah sampai ditempat duduk, kami berbincang.
“Sayang...lihat gadis kecil itu ! cantik ya...”
Ucapan Mas Setyo seakan menyindirku, semenjak kami menikah memang Mas Setyo belum pernah menyentuhku. Karena ia tak ingin aku melakukannya karena terpaksa. Aku tahu bahwa Mas Setyo ingin segera mendapat keturunan dariku, dan hal itu tak salah. Banyak dari rekan kerja yang seusianya sudah memiliki anak. Maaf mas, mungkin tidak dalam waktu dekat kita bisa memilki anak.
“ Iya... apakah Mas ingin punya anak perempuan?” tanyaku sambil menatap dalam wajahnya. Sudah dapat kupastikan jawabannya adalah tentu saja. Dari pernyataannya yang menggebu-gebu.
“ Tidak juga, perempuan ataupun laki-laki tidak jadi masalah. Asalkan ia bisa jadi anak yang berbakti dan cerdas.” Suara lembutnya menentramkan hatiku. Menyibak kalut yang semakin merobek nurani.
***
Suasana yang tenang dan damai menyelimuti hatiku, tak kusangka, kami sudah sampai di depan rumah baru kami. Tidak terlalu besar memang. Tapi, aku suka. Halaman yang cukup luas dengan tiga pohon cemara besar di pojok halaman menambah kesan asri. Satu hal yang membuatku kurang nyaman, yap... suara bising kendaraan. Tapi mau bagaimana lagi, ini konsekuensi tinggal di kota.
Aku dan Mas Setyo berkeliling dan mengamati setiap ruang, memulai membereskan dan membersihkan. Lelah, penat, letih mulai menggerayangi badanku. Sesak dan gemetaran merasukiku. Tanganku mulai dingin oleh peluh. Aku coba untuk menyembunyikan rasa ini, tak ingin membuat suamiku cemas. Segelas sirop kusodorkan padanya.
“ Ayo... mas, minum dulu. Pasti capek kan?” kataku sambil meraih tangannya, mengajaknya duduk di balkon kamar utama. Suasana senja Singapura memanjakan mata. Kuning keemasan langit serta lambaian lembut angin menambah damai suasana sore itu.
“ Sayang, wajahmu tampak pucat? Tanganmu juga dingin, kamu kenapa?” tanyanya disela hening senja itu.
“ Akupun tak tahu Mas... beberapa hari ini aku mengalami hal yang serupa. Mungkin karena penyakit itu.” Jawabku sesuai dengan apa yang sedang melintas dibenakku.
Mas Setyo menggenggam tanganku lembut, menggosoknya perlahan. Aku tertegun. Aku merasa bersalah betul karena gagal menjaga diri. Setengah jam kami lalui dengan menatap mentari senja.
Malam yang dingin menyapa. Mas Setyo tengah sibuk dengan lembaran-lembaran kertas yang memenuhi meja kerjanya. Kerut keningnya, peluhnya, sorot matanya, semuanya adalah saksi keseriusannya dalam pekerjaanya. Aku tahu betul betapa Mas Setyo sangat menyukai pekerjaannya. Tangannya tak berhenti menggoreskan garis disebuah kertas, menciptakan desain bangun yang elok, meski aku tak tahu sedikitpun tentang dunianya tapi perlahan aku mulai menyukai itu. Yah...arsitek, itulah pekerjaannya.
“ Mas, aku tidur dulu ya. Mas... jangan terlalu malam kalau tidur, besok kan hari pertama Mas kerja.” Aku menghampirinya. Memeluknya dengan hangat, berharap kekhawatiranku sampai di hatinya.
“Tentu...sayang, besok adalah hari yang penting untukku. Aku sudahi saja mengecek data-data ini, aku ingin segera tidur juga.” Dengan cekatan tangannya membereskan semua kertas dan memasukkannya ke sebuah tas. Tangannya segera meraih tanganku, menarikku dengan lembut menuju tempat tidur.
Meskipun aku sudah merasa ngantuk berat, tapi mataku belum dapat terpejam. Anganku melambung, menembus dinding batas waktu. Meneropong masa lalu, menuju pada sesosok bayangan pria, Mas Zaky. Memutar ulang keindahan perjalanan kasihku bersamanya.
“ Kamu belum tidur sayang?” memutar badan menghadapku. Membelai lembut rambutku. Menatapku dengan penuh kasih. Aku terkejut. Aku kira Mas Setyo sudah tidur, tapi tanpa kusadari, ia memperhatikanku sejak tadi.
“ Aku sebenarnya ngantuk, tapi mata ini sulit terpejam Mas. Maaf kalau membuat Mas menjadi terganggu.” Membalikkan badan menghadap arah yang berlawanan dengannya. Aku tak ingin membuatnya khawatir dan cemas dengan sikapku. “Mas...tidur saja.”
***
Pagi cerah membangunkanku, sinar mentari menerobos kesela-sela jendela kamarku. Suara nyanyian burung yang bersandar di pohon yang berdiri gagah disebelah kamarpun terdengar ramai bersahutan. Aku terkejut mendapati sebelahku sudah kosong, wah... Mas Setyo sudah bangun. Aku bergegas merapikan tempat tidur lalu beranjak ke ruang makan.
“ Pagi sayang... baru bangun ya, ayo sini bantu siapkan sarapan dong.” Aku malu sekali kalau kalah cepat seperti ini, dengan muka merah aku mulai membantu membereskan kekacauan yang dibuat suamiku.
“ Mas kenapa nggak bangunin aku ? aku kan jadi nggak enak kalau mas yang harus menyiapkan sarapan untukku, selain itu ini bukan yang pertama, sudah sering kan?” aku memeluk tubuhnya dari belakang saat ia tengah sibuk memotongi sayuran. Kusandarkan kepalaku dipunggungnya. Kusadari ia menghentikan pekerjaannya, memeluk tanganku.
“ Tahu kenapa? Karena aku begitu sayang padamu. Aku tak ingin membuatmu susah dengan menyiapkan sarapan dipagi hari. Dan karena aku ingin menunjukkan rasa sayangku padamu sayang. Kamu mandi dulu saja sana !”
“ Oh....terima kasih suamiku sayang. Hari ini kan Mas libur, bagaimana kalau kita jalan-jalan? Terserah kemana asalkan nggak jauh-jauh. Gimana Mas?”
“ Ehm...aku sebenarnya ingin sekali sayang, tapi nanti siang aku harus menemui seseorang untuk proyek baru ini. Maaf ya lain kali saja.”
Setelah selesai menyantap hidangan pagi ini, aku merapikan rumah. Mengelap setiap perabot. Mencuci yang kuanggap kotor, termasuk hatiku. Tiba-tiba saja aku ingin mengejutkan Mas setyo. Meskipun aku belum hafal betul jalan menuju kantornya tapi Mas Setyo sudah pernah mengajakku kesana sekali sebulan yang lalu. Jadi, mungkin aku bisa sampai disana tanpa harus memintanya menunjukkan jalan dan yang pasti aku tak akan tersesat lagi seperti saat aku pergi ke taman kota sendiri.
Ku rapikan diri, memoles wajahku dengan bedak serta pelengkap lainnya. Setelah itu, aku berputar-putar didepan kaca selama beberapa menit sampai aku merasa sudah pas. Setelah kupastikan rumah sudah terkunci, aku langsung menuju halte bis terdekat. Kudapati halte yang tengah lengang mungkin karena jam-jam segini orang-orang sudah ada ditempatnya kerja masing-masing.
*Bersambung

Label:
0 Responses

Posting Komentar


widgets