Unknown
ILMU EKONOMI 

A. Pengertian Ilmu Ekonomi  dan Ruang Lingkupnya 
Istilah ‘ekonomi’ berasal dari bahasa Yunani asal kata ‘oikosnamos’ atau 
oikonomia’ yang artinya ‘manajemen urusan rumah-tangga’, khususnya 
penyediaan dan administrasi pendapatan. (Sastradipoera, 2001: 4). Namun  sejak 
perolehan  maupun penggunaan kekayaan sumberdaya secara fundamental perlu 
diadakan  efesiensi termasuk pekerja dan produksinya, maka dalam bahasa 
modern istilah ‘ekonomi’ tersebut menunjuk terhadap prinsip usaha maupun 
metode  untuk mencapai tujuan dengan alat=alat sesedikit mungkin. Di bawah ini 
akan dijelaskan beberapa definisi tentang ilmu ekonomi.  
Menurut Albert L. Meyers (Abdullah, 1992: 5) ilmu ekonomi adalah ilmu 
yang mempersoalkan kebutuhan dan pemuasan kebutuhan manusia. Kata kunci 
dari definisi ini adalah;  pertama, tentang “kebutuhan” ⎯ yaitu suatu keperluan 
manusia terhadap barang-barang dan jasa-jasa yang sifat dan jenisnya sangat 
bermacam-macam dalam jumlah yang tidak terbatas.   Kedua, tentang” pemuas 
kebutuhan” yang memiliki ciri-ciri “terbatas” adanya. Aspek yang kedua inilah 
menurut Lipsey (1981: 5) yang menimbulkan masalah dalam ekonomi, yaitu 
karena adanya suatu kenyataan yang senjang, karena kebutuhan manusia terhadap 
barang dan jasa jumlahnya tak terbatas, sedangkan  di lain pihak barang-barang 
dan jasa-jasa sebagai alat pemuas kebutuhan sifatnya langka ataupun terbatas. 
Itulah sebabnya maka manusia di dalam hidupnya selalu berhadapan dengan 
kekecewaan maupun ketidakpastian. Definisi ini nampaknya begitu luas sehingga 
kita sulit memahami secara spesifik.  
Ahli ekonomi lainnya yaitu J.L. Meij (Abdullah, 1992: 6) mengemukakan 
bahwa ilmu ekonomi adalah  ilmu tentang usaha manusia ke arah kemakmuran. 
Pendapat tersebut sangat realistis, karena ditinjau  dari aspek ekonomi di mana 
manusia sebagai mahluk ekonomi (Homo Economicus) pada hakekatnya 
mengarah kepada pencapaian kemakmuran. Kemakmuran menjadi tujuan sentral 
dalam kehidupan manusia secara ekonomi, sesuai yang dituliskan pelopor 
“liberalisme ekonomi” oleh Adam Smith dalam buku “An Inquiry into the Nature 
and Cause of the Wealth of Nations”  tahun 1976.  Namun dengan cara bagaiman 
manusia itu berusaha mencapai kemakmurannya  ?  Dalam definisi yang 
dikemukakan Meij memang tidak  dijelaskan. 
Kemudian Samuelson dan Nordhaus (1990: 5) mengemukakan “Ilmu 
ekonomi merupakan studi tentang perilaku orang dan masyarakat dalam memilih 
cara menggunakan sumber daya yang langka dan memiliki beberapa  alternatif 
penggunaan, dalam rangka memproduksi berbagai komoditi, untuk kemudian 
menyalurkannya ⎯ baik saat ini maupun  di masa depan ⎯ kepada berbagai 
individu dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat. Menurut Samuelson 2 

bahwa ilmu ekonomi itu merupakan ilmu pilihan. Ilmu  yang  mempelajari 
bagaimana orang memilih penggunaan sumber-sumber daya produksi yang langka 
atau terbatas untuk memproduksi berbagai komoditi, dan menyalurkannya ke 
berbagai anggota masyarakat untuk segera dikonsumsi. Jika disimpulkan dari tiga 
pendapat di atas walaupun kalimatnya berbeda, namun tersirat bahwa  pada 
hakikatnya ilmu ekonomi itu merupakan  usaha  manusia untuk memenuhi 
kebutuhannya dalam mencapai kemakmuran yang diharapkan, dengan memilih 
penggunaan sumber daya produksi yang sifatnya langka/terbatas itu.  Dengan kata 
lain yang sederhana bahwa ilmu ekonomi  itu merupakan suatu disiplin tentang 
aspek-aspek ekonomi dan tingkah laku manusia. 
Secara fundamental dan historis, ilmu ekonomi dapat dibedakan menjadi 
dua, yakni ilmu ekonomi positif dan normatif (Samuelson dan Nordhaus, 1990: 
9). Jika ilmu ekonomi positif hanya membahas deskripsi mengenai fakta, situasi 
dan hubungan yang terjadi dalam ekonomi. Sedangkan ilmu ekonomi normatif 
membahas pertimbangan-pertimbangan nilai  dan etika, seperti haruskan sistem 
perpajakan diarahkan pada kaidah mengambil dari yang kaya untuk menolong 
yang miskin? Lebih jelasnya  Sastradipoera, 2001: 4, mengemukakan.  
Ilmu konomi positif merupakan ilmu yang hanya melibatkan diri 
dalam masalah ‘apakah yang terjadi’ Oleh karena itu ilmu 
ekonomi positif itu netral terhadap nilai-nilai. Artinya ilmu 
ekonomi positif itu ‘bebas nilai’ (value free atau wetfrei)…hanya 
menjelaskan ‘apakah harga itu’ dan ‘apakah yang akan terjadi 
jika harga itu naik atau turun’ bukan ‘apakah harga itu adil atau 
tidak’…Ilmu ekonomi normative, bertentangan dengan ilmu 
positif, ilmu ekonomi normatif beranggapan bahwa ilmu 
ekonomi harus melibatkan diri dalam mencari jawaban atas 
masalah ‘apakah yang seharusnya  terjadi’. Esensi dasar ilmu 
ekonomi adalah pertimbangan nilai (value judgment). Seorang 
ekonom penganut etika puritan  egalitarianisme, Gunnar Myrdal 
(1898-1987) lebih suka menyebutnya  ‘ilmu ekonomi 
institusional’. 

Ilmu ekonomi sebagai bagian dari  ilmu sosial, tentu berkaitan dengan 
bidang-bidang disiplin akademis lainnya, seperti ilmu politik, psikologi, 
antropologi, sosiologi,  sejarah, geografi, dan sebagainya. Sebagai contoh 
kegiatan-kegitan politik seringkali dipenuhi  dengan masalah-masalah  ekonomi, 
seperti kebijaksanaan proteksi terhadap industri kecil, undang-undang  
perapajakan, dan sanksi-sanksi ekonomi. Ini artinya  bahwa kegiatan ekonomi 
tidak dapat dipisahkan dari kegitan-kegiatan plitik (Abdulah, 1992: 6).  
Sebagai disiplin yang mengkaji tentang aspek ekonomi dan tingkah laku 
manusia, artinya juga  mengkaji peristiwa-peristiwa ekonomi yang terjadi di 
dalam masyarakat. Dan perlu diketahui, bahwa mengkaji peristiwa-peristiwa 
ekonomi, tujuannya adalah  berusaha  untuk mengerti hakikat dari peristiwa-
peristiwa tersebut yang selanjutnya  untuk dipahaminya. Dengan demikian dapat 
dikemukakan bahwa tujuan ilmu ekonomi itu untuk:  (1) mencari pengertian 
tentang hubungan peristiwa-peristiwa  ekonomi, baik yang berupa hubungan 3 

kausal maupun fungsional. (2) untuk  dapat menguasai masalah-masalah ekonomi 
yang dihadapi  oleh masyarakat. (Abdullah, 1992:7). 
Ilmu ekonomi juga memiliki keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya.  
Walaupun kita ketahui dalam ilmu ini  telah digunakan pendekatan-pendekatan 
kuantitatif-matematis,  tetapi pendekatan-pendekatan tersebut tidak dapat 
menghilangkan keterbatasan-keterbatasannya yang melekat pada ilmu ekonomi 
sebagai salah satu cabang ilmu sosial. Menurut Abdullah, (1992: 8), keterbatasan-
keterbatasan tersebut mencakup:  
(1) Objek penyelidikan ilmu ekonomi tidak dapat dilokalisasikan. Sebagai 
akibatnya kesimpulan atau generalisasi yang diambilnya bersifat 
kontekstual (akan terikat oleh ruang dan waktu). 
(2) Dalam ilmu ekonomi manusia selain berkedudukan sebagai subjek 
yang menyelidiki, juga objek yang diselidiki. Oleh karena itu hasil 
penyelidikannya  yang berupa kesimpulan ataupun generalisasi, tidak 
dapat bersifat mutlak, di mana unsure-unsur subjeknya akan mewarnai 
kesimpulan tersebut. 
(3) Tidak ada laboratorium untuk mengadakan percobaan-percobaan. 
Sebagai akibatnya ramalan-ramalan ekonomi sering kurang tepat. 
(4) Ekonomi hanya merupakan salah satu bagian saja dari seluruh program 
aktivitas di suatu negara. Oleh karena itu apa yang direncanakan (ex-
ante) dan kenyataannya (ex-post) sering tidak sejalan. 
Sehubungan dengan keterbatasan-keterbatasannya tersebut, maka sebagai 
akibatnya sifat keberlakuan generalisasinya yang berupa dalil-dalil atau hukum-
hukum dan teori-teorinya akan tergantung kepada konteks ruang dan waktu serta 
tidak mutlak. Jadi sifat keberlakuan  dalil-dalil  atau hokum-hukumnya adalah 
bersyarat. Yaitu bila yang lainnya tidak  berubah Syarat ini bisa disebut juga 
dengan “Cateris Paribus”. Hal ini  disebabkan oleh hukum-hukum ekonomi 
merupakan pernyataan-pernyataan tentang  tendensi-tendensi ekonomi. Ia 
merupakan hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku sosial 
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, di mana tingkah laku tersebut 
juga dipengaruhi atau tergantung kepada situasi dan  kondisi yang berlaku pada 
suatu saat. Jadi ilmu ekonomi sebagai bagian dari ilmu sosial tetap tidak dapat 
melepaskan dirinya dari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh ilmu sosial. 
Ditinjau dari ruang-lingkup/cakupannya, ilmu ekonomi juga dapat 
dibedakan atas makroekonomi dan mikroekonomi (Samuelson dan Nordhaus, 
1990: 99). Istilah ”makroekonomi” itu sendiri untuk pertama kali diperkenalkan 
oleh Ragnar Frisch pada tahun 1933,  untuk diterapkan pada studi mengenai 
hubungan antar agregat ekonomi yang bersifat luas, seperti; pendapatan nasional, 
inflasi, pengangguran agregat, neraca  pembayaaran (Taylor, 2000: 597). Perlu 
diketahui bahwa pada masa sebelumnya, sasaran kebijakan kamroekonomi adalah 
kesempatan kerja  full employment (kondisi di mana seluruh sumber daya, 
khususnya tenaga kerja, bisa terserap sepenuhnya) dan stabilitas harga. Stabilitas 
ouput dari dari tahun ke tahun ⎯ untuk menghindari ledakan pertumbuhan atau 
resesi yang sangat parah  ⎯ merupakan sasaran tambahan. Tetapi, tingkat 
pertumbuhan  output  pada jangka waktu yang lebih panjang, tergantung pada 
banyak faktor ⎯ seperti teknologi, pelatihan, dan insentif ⎯ yang cenderung 4 

termasuk dalam ”sisi penawaran” atau kebijakan mikroekonomi. Dalam 
perekonomian yang terbuka, baik posisi neraca pembayaran (balance of payment) 
atau pola tingkat pertukaran di pasar pertukaran valuta asing dapat dipandang 
sebagai tujuan yang terpisah dari kebijakan makroekonomi atau sebagai suatu 
halangan terhadap operasional makroekonomi (Britton, 2000: 596). 
Dalam hal ini instrumen kebijakan  makroekonomi adalah moneter dan 
fiskal. Kebijakan moneter dilaksanakan oleh bank sentral, sebagai contoh oleh 
Bank Indonesia. Ketat/tidaknya kebijakan ini dapat diukur dari tingkat suku bunga 
riil (yaotu suku bunga nominal dikurangi tingkat inflasi) atau melalui pertunbuhan 
penawaran uang (yang didefinisikan secara berbeda-beda)> Salah satu keuntungan 
kebijakan moneter sebagai alat untuk mempengaruhi perekonomian adalah 
berbeda dari kebijakan fiskal., kebijakan  ini bisa dikaji ulang dan diubah secara 
kontinu berdasarkan informasi baru (Britton, 2000: 596). 
Sedangkan kebijakan fiskal adalah perpajakan dan pembelanjaan 
masyarakat yang dikontrol oleh pemerintah yang tunduk pada ketentuan-
ketentuan yang telah mendapat engesahan dari badan legislatif. Pajak dan 
pembelanjaan mempengaruhi perekonomian melalui cara yang berbeda-beda, 
tetapi ’kebijakan fiskal’ dalam konteks saat ini adalah efek bujet sebagai suatu 
keseluruhan terhadap tingkat agregat permintaan dalam perekonomian. Kecuali 
dalam situasi darurat, kebijakan fiskal biasanya diubah sekali setahun. 
Kegunaannya dalam mengatur perekonomian  juga ditentukan oleh kemampuan 
dalam menangani anggaran publik itu  sendirisecara bijaksana (Britton, 2000: 
596). 
Penggunaan pinjaman publik dan tingkat suku bunga untuk menstabilkan 
perekonomian diterima sebagai suatu prinsip kebijakan pada tahun 1950-an dan 
1960-an, seiring dengan gagasan Maynard Keynes yang telah mengubah banyak 
prinsip ekonomi. Selanjutnya, di tahun 1970-an dan 1980-an muncullah neo klasik 
atau kontra revolusi monetaris yang berasal dari Chicago dan dipimpin Milton 
Frriedman. Isu yang mendasar dalam perdebatan ini berkaitan dengan hubungan 
antara dua tujuan dari full employment dan stabilitas harga. Hal ini dimungkinkan 
(melalui pemotongan pajak atau pemotongan tingkat suku bunga), untuk 
meningkatkan ketenagakerjaan dalam jangka pendek tanpa harus membuat inflasi  
meningkat cepat. Namun, dalam jangka  apanjang argumentasi neo klasik 
menyatakan bahwa situasi ini tidak bisa berbalik (dengan tingkat pengangguran 
kembali pada level  ”alamiah” dan  tidak ada yang bisa ditunjukkan untuk 
kebijakan perluasan kecuali terjadinya inflasi yang lebih tinggi. 
Menurut Britton (2000: 597), tidak bisa dipungkiri, dalam praktiknya 
catatan kebijakan makroekonmi sejak  tahun 1970-an lebih banyak mengalami 
kegagalan dibandingkan keberhasilan. Inflasi meningkat tajam di sebagian besar 
negara, terutama pada periode kenaikan harga minyak dunia yang paling dramatis, 
1974 dan 1979. Sejak tahun 1980-an inflasi  lebih rendah, tetapi pada saat 
bersamaan pengangguran di banyak negara jauh lebih tinggi. Respons terhadap 
berbagai kekecewaan ini telah mengarahkan pada tindakan memperkenalkan 
desain kebijakan baru untuk meningkatkan ”saling tukar” (trade off) antara dua 
sasaran. Di tahun 1970-an, khususnya di Inggeris, penekanannya yang utama 
adalah kebijakan harga dan penghasilan. Pendekatan lain, yang berlanjut hingga 5 

tahun 1990-an, melibatkan tindakan-tindakan ketenagakerjaan khusus yang 
dirancang untuk membantu pengaturan secara langsung dengan cara memberikan 
pelatihan atau mencarikan lowongan pekerjaan yang sesuai untuk mereka. 
Ini sangat berbeda dengan studimengenai unit-unit pengambilan keputusan 
individual dalam perekonomian seperti rumah tangga, pekerja dan perusahaan, 
yang secara umum dikenal  dengan  sebutan mikroekonomi. Sebagai contoh 
ekonomi mikro meneliti determinasi harga terhadap beras, atau harga relatif beras 
dan baja atau  employment  dalam industri baja, sementara ekonomi makro 
berurusan dengan determinasi tingkat  employment dalam suatu perekonomian 
khusus, atau dengan tingkat harga dari  seluruh komoditas. Kendati perbedaan 
antara dua bidang analisis ekonomi ini berguna untuk berbagai tujuan. 
Perkembangan ekonomi mikro sebagai suatu bidang tersendiri, merupakan 
bagian dari pendekatan marjinal atau neo klasik yang mulai mendominasi teori 
ekonomi setelah tahun 1970-an. Berbeda dengan ekonomo klasik, yang menyoroti 
pertumbuhan ekonomi  negara akibat  pertumbuhan sunber daya produktif 
mereka, serta menjelaskan harga relatif barang berdasarkan kondisi-kondisi 
obyektif dari biaya-biaya produksinya.  Dalam teori neo klasik mengarahkan 
perhatiannya pada alokasi sumber daya  yang tersedia secara efektif (dengan 
asumsi implisit mengenai  fullemployment) dan pada determinasi ’subyektif’ 
terhadap harga-harga individual yang berdasarkan  pada kegunaan marjinal 
(Asimakopulos, 2000: 660). 
Terdapat enam topik yang sering dipresentasikan dalam ekonomi mikro, 
yakni; (1) teori perilaku konsumen, (2)  teori pertukaran, (3) teori produksi dan 
biaya, (4) teori perusahaan, (5) teori distribusi, dan (6) teori ekonomi 
kesejahteraan (Asimakopulos, 2000: 661). Tema umum yang mendasari semua 
topik tersebut adalah upaya dari para aktor individual untuk meraih suatu posisi 
yang optimal, dengan nilai-nilai parameter yang membatasi pilihan mereka. Para 
konsumen  berusaha untuk memaksimalkan kepuasan (atau kegunaan), sesuai 
dengan selera, pendapatan mereka dan harga barang-barang; perusahaan berusaha 
memaksimalkan laba mereka, dan ini berarti bahwa dengan tingkat output berapa-
pun diproduksi dengan biaya terendah. Syarat-syarat maksimalisasi  tersirat dalam 
istilah ekualitas marjinal (marginal revenue) sama dengan biaya mrginal 
(marginal cost). 
Dewasa ini ilmu ekonomi telah berkembang jauh melebihi ilmu-ilmu 
sosial lainnya yang terbagi-bagi dalam beberapa bidang kajian seperti;  
Ekonomi Lingkungan. Bidang kajian ’ekonomi lingkungan’ 
(environmental economics) ini bermula dari tulisan Gray (1900-an), Pigou (1920-
an), dan Hotelling (1930-an), akan tetapi baru mncul sebagai  studi koheren pada 
tahun 1970-an, yakni ketika revolusi lingkungan mulai terjadi di berbagai negara 
(Pearce, 2000: 300). Selanjutnya, jika ditinjau dari substansinya, terdapat tiga 
unsur pokok dalam ekonomi lingkungan, yakni; Pertama, kesejahteraan manusia 
sedang terancam oleh degradasi lingkungan dan penyusutan sumber daya alam. 
Dalam hal ini sangat mudah untuk menunjukkan bukti konkret dari timbulnya 
bencana banjir yang disebabkan oelh penggundulan hutan, pembukaan lahan 
untuk perumahan dan industri, terjadinya  erosi, dan sebagainya. Semuanya ini 6 

memiliki dampak bukan saja pada kesehatan, tetapi juga secara ekonomis 
merugikan kehidupan manusia.  
Kedua, kerusakan lingkungan disebabkan  oleh penyimpangan/kegagalan 
ekonomi, terutama yang bersumber dari pasar. Hal ini dapat diambil contoh, 
bahwa karena orientasi produk dan profit,  tidak sedikit beberapa industri yang 
mengabaikan analisis dampak lingkungan yang merugikan (externality) bagi 
masyarakat luas. Begitu juga banyak  industri-industri global yang menempatkan 
pabrik-pabrik dari negara maju ke  hutanhutan dan persawahan di negara 
berkembang. Ketiga, solusi kerusakan lingkungan harus mengoreksi unsur-unsur 
ekonomi sebagai penyebabnya. Seperti halnya dengan kebijakan subsidi, relokasi 
industri, dan sebagainya, yang kiranya merusak lingkungan, harus segera 
dihentikan. Selain itu, jika ativitas  ’destruktif’ terselubung yang merugikan itu 
sulit dihentikan, perlu ada penerapan pajak ekstra atau penerbitan lisensi khusus 
demi merendam kegiatan tersebut. Langkah ini pernah dilakukan di Amerika 
Serikat yang menerbitkan lisensi polusi dan lisensi memancing, yang ternyata 
cukup efektif mengatasi masalah tersebut (Pearce, 2000:300). 
Ekonomi Evolusioner  :  Merupakan  bidang kajian ekonomi yang 
menjelaskan  naik turunnya pertumbuhan ekonomi dan jatuh bangunnya 
perusahaan-perusahaan, kota-kota, kawasan dan negara, yang mencerminkan 
bahwa evolusi selalu beroperasi pada tingkat yang berlainan dengan tingkat 
kecpatan yang berbeda-beda. Dan, hal inilah  yang menjadi latar belakang 
munculnya bidang-bidang baru kegiatan ekonomi (Metcalfe, 2000: 324). Dengan 
demikian selalu dipertanyakan mengapa dan bagaimana perekonomian dunia 
berbah, sehingga tinjauannya bersifat dinamis, untuk menangkap keragaman 
perilaku yang memperkaya perubahan sejarah. Tema-tema inilah yang sering 
dibicarakan dalam sejarah (Landes, 1968; Mokyr, 1991), yang semuanya bertolak 
dari suatu mekanisme yang sama, namun menentukan pula keragaman perilaku 
ekonomi. 
Ekonomi evolusioner, juga merupakan entitas-entitas yang memiliki 
berbagai karakteristik atau ciri perilaku, yakni;  stabilitas kelangsunan perlaku 
dari waktu ke waktu, sehingga kita dapat mengaitkan  ciri-ciri perilaku di masa 
mendatang dengan yang ada pada saat ini. Dengan dengan demikian inersia 
(inertia) merupakan elemen pengikat penting   serta tampak jelas bahwa evolusi 
tidak dapat berlangsung  di dunia di mana individu-individu  atau organisasinya 
berperilaku secara acak/random. Begitu juga dalam kajian mengenai sumber 
keragaman perilaku ekonomi, para ahli lebih menaruh perhtian pada pengaruh 
teknologi, organisasi, dan manajemen berdasarkan pemahaman bagaimana suatu 
tindakan dilangsungkan sehingga memunculkan ciri-ciri perilaku yang 
menguntungkan. Kemudian timbul pertanyaan; apakah evolusi itu mengandung 
rasinalitas?. Di sini nampaknya tidak. Sebab dalam dunia manapun, di mana 
pengetahuan dihargai cukup mahal sertakapasitas komputasional senaniasa 
terbatas, maka kita tidak memiliki  ijakan yang layak untukk mengupayakan 
optimistisasi secara pasti, sebagai pedoman guna menilai perilaku.
Walaupun 
tidak disangkal lagi bahwabahwa ndividu senantiasa  mencari hasil yang 
terbaikdari serangkaian pilihan yang  ada, akan tetapi kalkulasi yang 7 

dipergunakannya mungkin saja  bersifat lokal, dan tidak bersifat global. Hal nilah 
yang merupakan sumber keragaman perilaku tersebut (Metcalfe, 2000: 324).  
Ekonomi Eksperimental: Bidang ekonomi eksperimental pada mulanya 
merupakan hasil-hasl studi perilaku pilihan individu, terutama ketika para ekonom 
memusatkan perhatiannya pada teori-tori mikroekonomi. Teori tersebut bertumpu 
pada preferensi-preferensi  individu, di mana mereka menyadari bahwa bidang 
tersebut sulit dipelajari dalam lingkungan alamiah, sehingga dirasakan perlunya 
merumuskan sarana  laboratorium. Sebagai pengujian awal formal atas teori-teori 
pilihan individu (individual choice), dapat dtemukan pada tulisan Thurstone 
dalam  The Indifference Function (1931) yang menggunakan teknik-teknik 
eksperimental. Kemudian didukung pula oleh teori harapan kepuasan (expected 
utility theory) mengajukan prediksi-prediksi   lebih gamblang, maka pada tahun 
1950 Melvin Dresher dan  Merrill Flood melakukan eksperimen awal secara 
formal dilaksanakan. Ternyata teori ini memang cocok untuk mempelajari 
perilaku, kendati masih ada penyimpangan. Selain itu, teori ini juga diterapkan 
pula pada studi tentang pengadaan barang publik, yang dilakukan secara survey 
oleh Ledyard dalam Publik Goods: a survey of experimental research tahun 1995 
(Roth, 2000: 332). 
Sebagai eksperimen awal tentang hal  ini dilaukan oleh Thomas Schelling 
dalam karyanya The Strategy of Conflict  (1960).  Eksperimen in sangat berguna 
untuk mengisolasikan dampak-dampak aturan main tertentu yang harus 
diorganisir pasar. Tentang kajian umum mengenai ilmu ekonomi eksperimental 
dan ulasannya tentang sejarah dan perkembangannya, telah dimuat dalam karya 
Roth ”Introduction to experimental ecomics” (1950). Begitu juga Sunder dalam 
Experimental asset markets: a  survey  (1995), yang menyoroti pasar-pasar 
komoditi, seperti; pasar ang dan asar modal, di mana informasi memegang 
peranan sedemikan penting. Pendeknya, ’ilmu ekonomi eksperimental’ kini telah 
menjadi perangkat riset yang mapan bagi perkembangan ekonomi secara umum 
(Roth, 2000: 334). 
Ekonomi Kesehatan: Ilmu ekonomi (health economics)  kesehatan 
berusaha melakukan analisis  terhadap input-input perawatan kesehatan, seperti 
pembelanjaan dan tenaga kerja, memperkerikan dampak-adampaknya pada hasil 
akhir yang diinginkan, yakni kesehatan masyarakat. Sedangkan tujuannya ilmu 
ekonomi kesehatan tersebut adalah  menggeneralisasikan aneka informasi 
mengenai biaya dan keuntungan dari cara-cara alternatif mencapai kesehatan dan 
tujuan-tujuan kesehatan (Maynard, 2000: 427).   
Dalam relaitasnya, evaluasi mengenai perawatan kesehatan itu jarang 
dilakukan baik yang bersifat publik (pemerintah) maupun pribadi (misalnya 
individu pembuat keputusan dan anggota keluarganya).  Bahkan Cochrane dalam 
tulisannya yang berjudul  Effectiveness and Efficiency (1971) mengeluhkan 
kebiasaan buruk tersebut dengan mengemukakan: ”hampir semua terapi 
perawatan kesehatan, tidak pernah dievaluasi secara ’ilmiah’. Maksud ’ilmiah’ di 
sini adalah bahwa aplikasi ujicoba terkontrol yang sifatnya random oleh pelaksana 
terapi terhadap kelompok eksperimental pasienyang diambil secara acak. Serta 
sebuah konsep terapi alternatif sebagai pembandingnya. Jika ada perbedaan 8 

signifikan antara hasil terapi pada kelompok kontrol, berarti dampak relatif dari 
terapi tersebut benar-benar berpengaruh maupun bermakna.    
Ekonomi Institusional. Ekonomi institusional (institutional economics) 
merupakan studi tentang sistem-sistem  sosial yang membatasi penggunaan dan 
pertukaran sumber daya langka, serta upaya-upaya untuk menjelaskan munculnya 
berbagai bentuk pengaturan institusional yang masing-masing mengandung 
konsekuensi tersendiri terhadap kinerja ekonomi (Eggertsson, 2000: 501). 
Lahirnya ilmu ekonomi institusional ini bertolak dari asumsi-asumsi 
1.  Kontrol yang lemah akan  mendorong pemborosan dan 
pemanfaatn sumber daya secara semberono. 
2.  Kontrol yang tertib akan menurunkan niat curang dan 
memperkecil biaya transaksi yang selanjutnya memacu 
spesialisasi produksi dan investasi jangka panjang. 
3.  Pemilahan kontrol sosial mempengaruhi distribusi kekayaan. 
4.  Kontrol organisaional mempengaruhi pilihan organisasi 
ekonomi. 
5.  Kontrol bisa secara langsung mengatur pemakaian sumber 
daya ke sektor-sektor yang dianggap paling tepat. 
6.  Struktur kontrol mempengaruhi pengembangan jangka 
panjang sistem ekonomi karena strukturitu mempengaruhi 
nilai relatif investasi dan jenis-jenis proyek yang akan 
diutamakan (Eggertsson, 2000: 501). 

Ditinjau dari usianya, ilmu ekonomi institusional tersebut relatif baru, 
karena secara formal baru berdiri sejak tahun 1980, kendati perintisannya jauh 
dilakukan pada masa-masa sebelumnya. Coase dalam  The Nature of the Firm  
(1937), dan The Problem of Social Cost (1960), tentang biaya transaksi;  Alchian 
dalam  Some economics of property (1961) tentang hak cipta. Padatahun 1980-an 
inilah upaya-upaya pengembangan teori ekonomi umum yang baku tentang 
institusi memperoleh momentumnya. Penyempurnaan-penyempurnaan 
pendekatan standar dalam ilmu ekonomi  telah berhasil dilakukan, bersamaan 
dengan munculnya ekonomi neo-institusdional yang mencakup berbagai al 
penting yang semula tidak termasuk dalam endekatan konvensioanl. Beberapa 
modifikasi tersebut telah diterima  sebagai bagian dari aliran utama ilmu ekonomi 
serta cabang-cabangnya seperti; studi organisasi industri seperti yang ditulis 
Milgram dan Roberts, 1992; dan ekonomi hukum yang ditulis Posner, 1992, 
(Eggerstsson, 2000: 503). 
Ekonomi Matematik.  Ilmu ’ekonomi matematik’  (mathematical 
economics) mulai berkembang sejak tahun 1950-an. Sebelum terjadi formalisasi 
ekonomi matematika dan sebelum dikenal  teknik-teknik canggih dalam analisis 
matematika ekonomi tersebut  terutama bertumpu pada teknik-teknik analisis 
grafik dan presentasi. Memang pada tingkat tertentu sangat efektif, tetapi teknik-
teknik tersebut juga dibatasi leh karakter dua dimensional dari selembar kertas. 
Selain itu juga, teknik-teknik grafik dapat mengemukakan asumsi-asumsi implisit 
yang signifikansinya mungkin tidak kentara atau sangat sulit dimengerti (Hughes, 
2000: 630). Tetapi setelah  tahun 1950-an, terutama yang  ditandai oleh arus 9 

perpindahan ahli-ahli matematika menjadi akademisi ekonomi (seperti Kenneth 
Arrow, Gerard Debreu, Frank Hahn, Werner Hildenbrant), maka ilmu ekonomi 
matematik-pun menjadi berkembang dengan pesat sebagai suatu disiplin ilmiah. 
Ditinjau dari substansinya dalam ekonomi matematik tersebut, mula-mula 
digunakannya teori ekuasi simultan (simultaneous equations) oleh Leon Walras, 
untuk membahas problem ekuilibrium dalam beberapa pasar yang saling 
berhubungan dengan dignakannya kalkulus oleh  Edgeworth untuk menganalisis 
perilaku konsumen. Beberbagai permasalahan ini tetap berada pada inti ekonomi 
matematika modern, kendati teknik-teknik matematematika yang diterapkan telah 
berubah seluruhnya. Analisis ekuilibrium umum telah menjadi sangat bergantung 
pada perkembangan modern dalam tipologi dan analisis fungsional, sehingga 
pembagian bidang antara  tipe ekonomi matematika yang cukup abstrak dengan 
matematika murni, hampir tidak jelas sama sekali. Kemudian substansi lainnya 
adalah teori perilaku konsumen atau  produsen, individual mendapatkan manfaat 
dan kemajuan melalui teori program matematika dan teori analisis cembung atau 
covex analysis (Hughes, 2000: 631). Sebagai implikasinya hasil ari penerapan 
kalkulus digolongkan pada suatu teori umum yang didasarkan pada konsep fungsi 
nilai maksimum/minimum, yaitu suatu fungsi laba maupun biaya untuk produsen. 
Hal ini merupakan suatu fungsi kegunaan atau pembelanjaan tidak langsung bagi 
konsumen. Dengan demikian teori ini menggali hasil dualitas yang menandai 
berbagai masalah maksimalisasi dan minimalisasi yang saling berhubungan, yang 
dapat diberi nterpretasi ekonom langsung. Seperti halnya kumpulan ’harga-harga 
bayangan’ dengan berbagai hambatan yang membatasi berbagai berbagai pilihan 
yang layak. Pendekatan terhadap teori konsumen dan produsen tersebut 
mempunyai implikasi–implikasi empiris g penting dan dapat diuji (Hughes, 2000: 
631). 
Ekonomi Sumber Daya Alam; Ilmu ekonomi sumber daya alam (natural 
resource economics), merupakan  bidang ekonomi yang mencakup kajian 
deskriptif dan normatif terhadap alokasi berbagai sumber daya alam (yaitu sumber 
daya yang tidak diciptakan melalui kegiatan manusia, melainkan disediakan oleh 
alam). Beberapa masalah penting dalam hal ini berkaitan dengan jumlah sumber 
tertentu yang bisa atau harus ditransformasikan dalam proses-proses ekonomi,  
dan keseimbangan dalam pemanfaatan sumber daya antara generasi sekarang dan 
yang akan datang (Sweeney, 2000: 697). 
Ekonomi Pertahanan. Ekonomi pertahanan (defence economic), 
merupakan   studi tentang biaya-biya pertahanan yang mengkaji  masalah 
pertahanan dan erdamaian dengan menggunakan analisis dan metode ekonomi 
yang meliputi kajian mikroekonomi dan makroekonomi seperti optimiasi statis 
dan dinamis, teori-teori pertumbuhan, distribusi, perbandingan data  statistik dan 
ekonometrik (penggnaan statistika model  ekonomi). Sedangkan pelaku-pelaku 
dalam studi ini antara lain, Menteri Pertahanan, birokrat, kontraktor pertahanan, 
anggota parlemen, bangsa-bangsa yang bersekutu, para gerilyawan, teroris dan 
pemberontak (Sandler, 2000: 208). 
Bidang ini berkembang pesat setelah Perang Dunia II, yang topik-topiknya  
mencakup; perlombaan senjata, studi aliansi dan pembagian beban, kesejahteraan, 
penjualan senjata, kebijakan pembelian senjata, pertahanan dan pembangunan, 10 

industri senjata, persetujuan embatasan  senjata, dampak ekonomis dari suatu 
erjanjian, evaluasi usulan perlucutan senjata, pengalihan industri pertahanan, dan 
sebagainya. Ketka terjadi Perang Dingin Blok barat dan Timur, pehatian ekonomi 
pertahanan umumnya tertuju pada masalah-masalah beban pertahanan dan 
dampaknya terhadap pertumbhan ekonomi. Sedangkan pada pasca Perang Dingin, 
para ekonom pertahanan memusatkan  perhatian pada konversi perindustrian 
militer, aspek sumber daya persenjataan, biaya pemeliharaan pasukan penjaga 
perdamaian, dan pengukuran keuntungan perdamaian (Sandler, 2000: 209).  


B. Metode Ilmu Ekonmi 
  Seperti yang telah dikemukakan di  atas bahwa  ilmu ekonomi secara 
sedehana merupakan  uapaya manusia untuk pemenuhan kebutuhannya yang 
bersifat tak terbatas dengan alat pemenuhan kebutuhan  berupa barang  dan jasa 
yang bersifat langka serta mempunyai kegunaan altrnatif. Untuk  dalam cara 
pemenuhan kebutuhan itulah berkaitan dengan  metode-metode dalam ilmu 
ekonomi tersebut. 
 Adapun metode-metode yang digunakan dalam ilmu ekonmi,menurut 
Chaurmain dan Prihatin (1994: 14-16) meliputi:
1.  Meode Induktif; yaitu metode di mana suatu keputusan dilakukan  dengan 
mengumpulkan semua data iformasi yang ada di dalam realitas kehidupan. 
Realita tersebut dalam setiap unsur kehidupan yang dialami individu, 
keluarga, masyarakat local dan sebagainya mencoba dicari jalan pemecahan 
sehingga upaya pemenuhan kebutuhannya tersebut dapat dikaji secara 
secermat mungkin. Sebagai contoh upaya menghasilkan dan menyalurkan 
sumber daya ekonomi. Upaya tersebut  dilakukan sedemikian rupa sehingga 
sampai diperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang dapat  tersedia pada 
jumlah, harga, dan waktu  yang tepat bagi pemenuhan kebutuhan tersebut. 
Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan perencanaan yang dalam 
ilmu ekonomi berfungsi sebagai cara ataupun metode untuk menyusun daftar 
kebutuhan terhadap sejumlah barang dan jasa yang diperlukan masyarakat. 
2.  Metode Deduktif; adalah suatu metode ilmu ekonomi yang bekerja atas dasar 
hukum, ketentuan atau prinsip umum yang sudah diuji kebenarannya. Dengan 
metode ini ilmu ekonomi mencoba menetapkan  cara pemecahan masalah, 
sesuai dengan acuan, prinsip, hukum dan ketentuan yang ada dalam ilmu 
ekonomi. Misalnya, dalam ilmu ekonomi terdapat hukum yang 
mengemukakan bahwa “jika persediaan  barang-barang dan jasa berkurang 
dalam masyarakat, sementara permintaannya  tetap, maka maka barang-barang 
dan jasa-jasa  akan naik harganya”. Bertolak dari hukum ekonomi tersebut, 
para ahli ekonomi secara deduktif sudah dapat menentukan  bahwa harus 
dijaga agar pesrsediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat tersebut 
selalu dapat mencukupi dalam kuantitas dan kualitasnya. Boulding (1955: 12) 
menyebutnya sebagai metode eksperimen intelektual (the method of 
intellectual experiment). 
3.  Meode Matematika; adalah metode yang digunakan untuk memecahkan 
masalah-masalah ekonomi dengan cara pemecahan soal-soal secara 11 

matematis. Hal ini maksudnya bahwa dalam matematika terdapat kebiasaan-
kebiasaan  yang dimulai dengan pembahasan dalil-dalil. Melaui pembahasan 
dalil-dalil tersebut dapat dipastikan  bahwa kajiannya itu  dapat diterima 
secara umum.  
4.  Meode Statistika; adalah suatu metode pemecahan masalah ekonomi dengan 
cara-cara  pengumpulan  data, pengolahan data, analisis data, penafsiran data, 
dan penyajian data dalam bentuk  angka-angka secara statistik. Dari angka-
angka yang  yang disajikan, kemudian  dapat diketahui permasalahan yang 
sesungguhnya untuk kemudian dicarikan cara pemecahannya. Sebagai contoh, 
pembahasan mengenai  masalah pengangguran. Dalam hal ini bisa terlebih 
dahulu diidentifikasi unsur-unsur yang berkaitan dengan pengangguran, 
misalnya; data-data perusahaan, data-data tenaga kerja yang yang 
terdidik/kurang terdidik, jenis dan   jumlah lapangan kerja yang  trsedia, 
jumlah dan tingkat upah  yang ditawarkan perusahaan, temapat perusahaan 
beroperasi, maupun rata-ratempat tinggal para calon pekerja. Dari data yag 
tekumpul tersebut, seorang ahli ekonomi akan dapat menyusun 
pengolahan/analisis dan penafsiran data secara statistik yang berhubungan 
dengan pemecahan masalah pengangguran tersebut. Dari angka-angka statistik 
tersebut kemudian ia dapat menentukan cara-cara yang tepat untuk membantu 
mengatasi masalahmasalah pengangguran  secara akurat berdasarkan tafsiran 
peneliti terhadap angka-angka yang disajian secara statistik.  

B.  Sejarah Lahir dan Perkembangan Ilmu Ekonomi 
Menurut  Irving Kristol, ilmu ekonomi sebagai sebuah disiplin akademis, 
dalam perjalanan sejarah, muncul pada  abad ke-17 dan 18 sebagai suatu aspek  
“revolusi” filosofis yang menciptakan dunia “modern” (Kristol, 1981: 203).  
Dalam hal ini “manusia ekonomi” yang diciptakan ilmu ekonomi tampil sebagai 
manusia yang ingin  mencapai kepuasan yang tertinggi. 
Jika ditelusuri lebih jauh kisah, konsep “manusia ekonomi” itu dapat 
ditelusuri dalam falsafah  Psikologi Asosiatif khususnya “hedonisme” serta 
falsafah “utilitarianisme” yang banyak merambah  pengikutnya sejak abad 18 dan 
19. Dan kalau ingin ditelusuri lebih jauh lagi “hedonisme”  sudah ada sejak zaman 
Yunani kuno, salah seorang tokohnya yang  terkenal adalah Epikurus (341-271 
s.M.)  Paham ini  berpendapat bahwa  kepuasan merupakan satu-satunya alasan 
dalam tindak susila. Hal ini sesuai dengan pendapat Joseph Schumpeter (1954) 
menulis sebagai berikut: 
Buku ini  akan memaparkan  perkembangan dan nasib baik 
analisis ilmiah di bidang ilmu ekonomi, mulai dari zaman 
Greaco-Roman hingga sekarang, dalam suatu kerangka  sosial 
dan politik yang memadai dengan tetap memberi perhatian pada 
perkembangan-perkembangan di berbagai bidang ilmu sosial 
lainnya dan juga filsafat. 

Sedikit sekali para ekonom kontemporer yang mau melacak ilmunya dari 
peradaban  Greaco-Roman (Yunani-Romawi) dan tidak banyak pula yang 
menonjolkan keeratan hubungan  antara ilmu ekonomi dengan ilmu-ilmu lainnya 12 

seperti dengan sejarah maupun filsafat (Bills, 2002: 273). Namun dengan 
menyediakan tulisan 200 halaman, Schumpeter sengaja melacak hal itu sebelum 
Adam Smith tahun 1776 menulis The  Wealth of Nations, yang menandai 
munculnya ilmu ekonomi yang sepenuhnya berdiri sendiri (Bill, 2002: 273). 
Pertama, ide-de yang berkembang  pada jaman Renaissance yang 
menyatakan bahwa manusia adalah bagian dari alam yang berdaulat. Gagasan ini 
membebaskan para analis ekonomi untuk menerapkan metode-metode rasional 
dan reduksionis guna mengikis anggapan-anggapan ekonomi yang tidak 
didasarkan pada fakta atau kajian ilmiah (misalnya, anggapan orang hanya bisa 
disebut kaya jika ia punya banyak emas). 
Kedua, ilmu ekonomi terbebaskan dari ikatan moral, namun tidak lantas 
menjadi sosok negara yang penuh kekuasaan yang politik ekonominya amoral 
seperti yang diperkirakan para merkantilis dan teoretisi lainnya, yang di mata 
Adam Smith dan kawan-kawan tidak realistis. Ilmu ekonomi sekedar lebih 
“dingin” dalam menanggapi soal-soal moral, dan membuka diri terhadap kajian 
kritis. 
Ketiga, tujuan analisis ekonomi meluas, bukan sekedar pada pemilihan 
kebijakan dagang demi memperbesar  kekuatan negara, melainkan juga 
menyangkut kehidupan dan kesejahteraan sehari-hari. Perkembangan 
individualisme libelar di abad 17 dan 18 menggarisbawahi pergeseran itu. Mulai 
banyak analisis yang dicurahkan pada pengerjaan kesejahteraan individu yang 
telah dipandang sebagai sesuatu yang wajar, dan tidak lagi dianggap sebagai 
wujud keserakahan (Bliss, 2000: 273). 
Pernyataan yang terakhir inilah nampak adanya titik temu dua aliran besar, 
yakni aliran yang menghendaki kiprah aktif negara, dan aliran  laissez faire. 
Kedua-duanya sama-sama menganggap penting peran negara/pemerintah dalam 
perekonomian. Hanya saja mereka masih berbeda pendapat secara mendasar 
tentang sejauh mana peran itu dilakukan? Kebijakan menjadi topik kajian yang 
sangat diminati, dan sampai sekarang aneka model dan rumusannya terus 
dikembangkan demi memudahkan berlangsungnya perumusan kebijakan ekonomi 
yang sebaik-baiknya.  
Ilmu ekonomi sendiri terus bergulat dengan persoalan-persoalan 
epistemologi dan aksiologinya. Ilmu ekonomi memang bukan ilmu pasti seperti 
fisika, biologi, maupun kimia yang serba eksak. Ilmu ekonomi memiliki model-
model data dan asumsi-asumsinya sendiri yang bersifat menyederhanakan atau 
simplistik. Di dalamnya juga terkandung  nilai-nilai, tentang apa yang dianggap 
baik atau buruk. Padahal ilmu pada umumnya bebas nilai (bukan dalam 
penegrtian acak, namun bebas dari penilaian si ilmuwan). 
Secara umum, asumsi kedaulatan selera individu tidak dipersoalkan oleh 
para ekonom. Sejak  Vilfredo Pareto sampai sekarang, dukungan bagi pengajaran 
kepentingan individu merupakan inti  ekonomi kesejahteraan. Namun Hicks 
(1969) menentang pandangan itu dengan mengungkapkan adanya  tiga kelemahan 
dalam evaluasinya. Hal ini didukung oleh Arrow (1973) yang secara meyakinkan 
dapat menunjukkan melui sebuah fungsi kesejahteraan yang diderivasikan dari 
preferensi individu bahwa prinsip kedaulatan konsumen akan memunculkan 
pemaksaan atau kediktatoran satu individu kepada  individu lainnya. Meskipun 13 

rumusan Arrow itu controversial (lihat misalnya Sen, 1979), namun pendapatnya 
telah mengubah  keyakinan mutlak tentang kedaulatan konsumen yang semula 
diagungkan. 
Memang sejumlah ekonom lebih suka  menanggalkan  sikap netral dan 
melacak implikasi dari suatu kebijakan  berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri, 
meskipun ekonom lain mempertahankannya. Hal ini antara lain terwujud berupa 
teori kebijakan keuangan publik yang mementingkan kepentingan umum; 
misalnya mereka menegaskan  bahwa pajak rata-rata (lump taxation) adalah yang 
paling baik karena tagihan  yang dibebankannya terhadap setiap wajib pajak 
relatif paling kecil, meskipun distribusinya tidak merata (pajak yang dibayarkan  
oleh orang kaya dan miskin tidak banyak berbeda (Atkinson dan Stiglitz, 1980). 
Perdebatan ini tidaklah berarti bahwa   ilmu ekonomi sejak awal suddah 
demikian sarat dengan nilai. Usulan pajak rata-rata  itu  lebih bertolak  dari sikap 
yang tidak terlalu mementingkan kaitan antara efisiensi dan distribusi pungutan 
pajak, serta sikap itu sendiri diwarnai  oleh angan-angan akan adanya lembaga-
lembaga ekonomi yang sempurna dan mampu menjangkau batas kemungkinan 
kepuasan (utility possibility frontier) melui kebijakan tertentu. Ilmu ekonomi 
modern berusaha  mencapai “kompatibilitas intensif” atau pengutamaan disain 
dan fungsi lembaga-lembaga ekonomi, termasuk perpajakan, di mana setiap  
individu  dimudahkan oleh negara dalam mengejar kepentingannya (Fudenberg 
dan Tirole, 1991). 
Dalam ekonomi modern, disain kebijakannya jauh lebih rumit dan 
canggih, dan begitu juga asumsi pembatasannya lebih banyak daripada 
perekonomian pada abad sebelumnya khususnya aabad ke-18.  Bentuk dan sejauh 
mana peran negara dalam ekonomi dimodelkan dalam konteks disain sistem 
perpajakan dan regulasi. Harus diakui bahwa kajian tentang desain kebijakan ini 
kian lama kian lengkap. 
Lalu seberapa jauh  keberhasilan ilmu ekonomi di akhir abad 20 atau awal 
21? Ditinjau sekilas secara ekologis,  ilmu ekonomi memang cukup berhasil. Ia 
mampu mereproduksi diri secara efisien. Namun  kemampuannya dalam 
memecahkan masalah masih perlu dipertanyakan. Bahkan  sejak pertengahan 
tahun 1970-an, para ekonom sering mempertanyakan relevansi ilmu mereka 
dengan kebijakan, khususnya dalam ekonomi makro yang teori-teorinya masih 
jauf dari efektif, meskipun mereka sendiri ⎯ termasuk Adam Smith dahulu ⎯ 
menyadari bahwa teori tidak akan dapat memperbaiki kondisi pasar. Betapa-pun, 
ilmu ekonomi akan tetap mmenarik karena dapat menawarkan  perspektif guna 
memahami apa yang terjadi di pasar. 
Hampir setiap kekeliruan kebijakan  selalu ditimpakan pada pemikiran 
intelektual yang melandasinya. Hal ini tidak selalu benar, karena ada kalanya 
kegagaln kebijakan disebabkan oleh faktor-faktor non-ekonomi ataupun yang lain. 
Sebaliknya kegagalan ekonomi bisa ikut menyebabkan hancurnya suatu sistem 
negara seperti yang dialami sistem komunisme di Uni Soviet dan Eropa Timur 
lainnya. Namun tentu saja pasar atau ekonomi dan langkah-langkah 
pembinaannya (misalnya liberalisasi) bukan satu-satunya solusi. Hal ini terbukti 
dengan gagalnya serangkaian reformasi ekonomi di bekas negara-negara komunis 14 

Eropa Timur itu. Kondisi ekonomi di setiap masyarakat terbukti tidak bisa 
dilepaskan dari pengalaman dan presumsi sejarahnya (Bliss, 2000: 277).  

C.  Mazhab-mazhab dalam Ekonomi 
Ilmu ekonomi mengenal berbagai mazhab, menurut Sastradipoera (2001: 
12-82) terdapat delapan mazhab ilmu ekonomi, yaitu mazhab:(1) merkantilis; (2) 
fisiokrat; (3) klasik; (4) sosialis; (5) hitoris; (6) marjinalis; (7) institusionalis; (8) 
kesejahteraan. 
Mazhab merkantilisme muncul antara Abad Pertengahan dengan kejayaan 
Laissez-Faire (1500-1776 atau 1800). Menurut Eatwell (1987: 445), 
merkantilisme merupakan babak panjang pertalian  sederhana dalam sejarah 
pemikiran ekonomi Eropa da kebijaksanaan ekonomi nasional, yang membentang 
sekitar tahun 1500 sampai tahun 1800. Adanya ‘penemuan-penemuan’  daerah 
baru yang  luas memiliki implikasi bahwa institusi ‘gilda’ tidak memadai lagi, 
bahkan dianggap sebagai penghambat berkembangnya perdagangan antar negara 
waktu iru. Akibatnya, mereka melakukan  perdagangan dengan  berbagai negara 
hasil temuan mereka, dan  semua ini  menimbulkan persaingan dagang yang 
makin menajam antar bangsa penjelajah.  Para ‘kapitalis pedagang’ (marchant 
capitalists) memegang peranan penting   dalam dunia bisnis. Emas, rempah-
rempah, perak yang memberikan kemudahan bagi pesatnya perdagangan dan 
mendorong tumbuhnya teori menenai logam mulia (Sastradipoera, 2001: 14). 
Pada masa tersebut peran tokoh Thomas Mun (1571-1641) saudagar kaya 
raya dari Inggris dan Jean Baptist Colbert (1619-1683) adalah seorang menteri 
utama ekonomi dan keuangan dari Prancis pada zaman raja Louis XIV, meupakan 
dua tokoh penting yang mewakili kaum ‘skolar’ dan saudagar pada waktu itu, 
sehingga ekonomi merkalitisme ini sering disebut ‘Colbertisme’. 
Inti ajaran/mazhab ini bahwa;  Pertama, emas dan perak khususnya  
merupakan bentuk kekayaan yang paling banyak disukai, oleh karena itu merka 
melarang ekspor logam mulia.  Kedua, negara harus mendorong  ekspor dan 
memupuk kekayaan dengan merugikan negara lainnya (tetangga). Ketiga, dalam 
kebijaksanaan ekspor-impor, berkeyakinan bahwa perkembangan harus dapat 
diraih dan dikelola dengan jalan meraih surplus sebesar-besarnya dari penerimaan 
ekspor barang  yang melebihi belanja untuk impor barang. Keempat,  kolonisasi 
dan monopolisasi perdagangan harus benar-benar dapat dilaksanakan secara ketat 
untuk memelihara keabadian kaum koloni  tunduk dan tergantung kepada negara 
induk.  Kelima, penentangan atas bea, pajak,  dan restriksi  intern terhadap 
mobilitas barang,  Keenam, harus dibangun pemerintah pusat yang kuat, guna 
menjamin kebijaksanaan merkantilisme tersebut, dan.  Ketujuh, pentingnya 
pertumbuhan penduduk yang tinggi namun disertai dengan sumberdaya manusia 
yang tinggi pula untuk memenuhi kepentingan pemasokan kepentingan militer 
serta pengelolaan merkentilisme yang kuat pula (Sastradipoera, 2001: 12-18).  
Mazhab Fisiokrat, muncul pertama kali di Prancis menjelang berakhirnya 
zaman merkantilis yang diawali tahun 1756. Isitah ”fisiokrat” berasal dari bahasa 
Yunani, dari kata ”physia” berarti alam, dan ”kratos” berarti kekuasaan. Secara 
harfiah beararti ”supremasi alam”. Tokohnya adalah Frncois Quesnay (1654-
1774), seorang  dokter ilmu bedah Prancis yang pernah menjadi dokter pribadi 15 

Raja Louis XV, juga dokter kepercayaan  selir raja, Madame de Pompadour. Di 
samping profesinya sebagai dokter, ia seorang ahli ekonomi yang menulis 
artikelnya ”ilmu ekonomi” dalam  Grande Encyclopedie. Quesnay mengecam 
kebijaksanaan ekonomi Colbert, dengan  mengatakan bawa seorang menteri 
tidaklah pantas mengeluarkan kebijaksanaan hanya didorong oleh kecemburuan 
terhadap keberhasilan perdagangan Belanda dan keindahan industri barang-barang 
mewah. Hal ini hanya akan menjebloskan negara Prancis dalam kebodohan yang 
amat dalam, di mana rakyat hanya bisa bicara mengenai ”dagang” dan ”uang”. 
Semuanya ini tidak lain hanya karena  ulah Colbert yang telah menghancurkan 
sendi-sendi ekonomi rakyat Prancis. 
Inti ajaran fisiokrat ini pada hakikatnya berlandaskan hukum alam. 
Sebagaimana Isaac Newton (1643-1727) yang telah menemukan hukum dunia 
fisik, maka Quesnay percaya bahwa seluruh kegiatan manusia harus dibawa ke ke 
dalam harmoni dengan hukum alam. Intinya,  pertama, Semboyan  laissez-faire, 
laissez-passer yang berasal dari Vincent  de Gournay (1712-1759) yang arti 
konotatifnya ”biarkan orang berbuat seperti yang mereka sukai tanpa campur-
tangan pemerintah” mengisaratkan betapa pemerintah harus membatasi diri dalam 
intervensinya dalam perekonomian jelas bertentangan dengan kaum merkantilis, 
maupun feodalis.  Kedua, tekanan pada sektor pertanian yang produktif yang 
memungkinkan terjadinya surplus atau produk neto di atas nilai sumber daya yang 
digunakan. Ketiga, pemilik tanah harus dibebani pajak yaitu dalam bentuk satu 
macam pajak  Sekalipun perekonomian Prancis tidak menjadi lebih baik, namun 
fisiokrat telah memberikan sumbangan yang bermakna bagi perkembangan ilmu 
ekonomi, terutama dalam semboyan  laissez-faire, fisiokrat mengubah perhatian 
para ekonom kepada masalah peranan  pemerintah dalam perekonomian yang 
didasarkan pada persaingan bebas dan kebebasan memilih serta membuat 
keputusan (Sastradipoera, 2001: 21-27).. 
Mazhab Klasik; mazhab ini secara umum mengacu kepada sekumpulan 
gagasan ekonomi yang bersumber dari formulasi David Hume, yang karya 
terpentingnya diterbitkan pada tahun 1752 dan munculnya seorang ekonom besar 
yang pernah menjadi Guru Besar Falsafah Moral di Universitas Glasgow, Adam 
Smith dengan karyanya An Inquiry into the Nature and causes of the Wealth of 
Nations tahun 1776 sampai Ricardo, McCulloch John.Stuart. Mill, dan Lord 
Overstone (1837). Gagasan-gagasan kedua tokoh tersebut mendominasi ilmu 
ekonomi, khususnya yang mekar di Inggeris, selama seperempat terakhir abad 18 
dan tigaperempat pertama abad 19 (O’Brien, 2000: 120). 
Inti mazhab klasik tersebut pada hakikatnya terletak pada gagasan bahwa 
pertumbuhan ekonomi berlangsung melalui interaksi antara akumulasi modal dan 
pembagian kerja. Akumulasi modal  dapat dilakukan dengan menunda atau 
mengurangi penjualan out-put dan hal ini  baru akan bermanfaat  jika dibarengi 
pengembangan spesialisasi dan pembagian kerja. Pembagian kerja iu sendiri 
nantinya akan dapat meningkatkan  total out-put sehingga memudahkan 
dilakukannya akumulasi modal lebih lanjut. Jadi jelaslah bahwa antara kedua hal 
tersebut terdapat hubungan timbal-balik yang sangat penting. Pertumbuhan 
ekonomi hanya dapat ditingkatkan jika modal bisa ditambah, dan atau jika alokasi 
sumber daya (pembagian kerja) dapat disempurnakan. Namun pembagian kerja itu 16 

sendiri dibatasi oleh ukuran atau skala pasar, yang pada gilirannya ditentukan oleh 
jumlah penduduk dan pendapatan perkapita yang ada. Tatkala modal 
terakumulasi, tenaga kerja akan kian dibutuhkan sehingga tingkat upah-pun 
meningkat untuk memenuhi kebutuhan ”subsisten” baik secara psikologis maupun 
fisiologis (O’Brien, 2000: 121). Ilmu ekonomi klasik tersebut merupakan prestasi 
intelektual yang mengesankan. Landasan-landasan teoretis yang 
dikembangkannya menjadi pijakan bagi  teori-teori perdagangan dan moneter 
sampai sekarang ini. 
Mazhab Sosialisme. Dalam mazhab sosialisme ini sistem pemilikan dan 
pelaksanaan kolektif atas faktor-faktor produksi (khususnya barang-barang 
modal), biasanya oleh pemerintah. Ide-ide sosialis dan gerakan politik mulai 
berkembang pada awal abad ke-19 di Inggeris dan Prancis. Periode antara tahun 
1820-an sampai 1850-an ditandai dengan pletoria beragam sistem sosialis yang 
diusulkan oleh Saint-Simon, Fourier, Owen, Blanc, Proudhon, Marx dan Engels, 
serta banyak lagi pemikir sosialis lainnya. Kebanyakan sistem/mazhab ini bersifat 
utopia dan sebagian besar pendukungnya adalah para ’filantropis’ (cinta kasih 
sesama umat manusia) kelas menengah yang memiliki komitmen untuk 
memperbaiki kehidupan para pekerja/burh serta kaum miskin lainnya. Selain itu 
kebanyakan penganut sosialis mendambakan masyarakat yang lebih terorganisir 
yang akan menggantikan anarki akibat dari pasar dan kemiskinan masal 
masyarakat perkotaan (Hirst, 2000: 1012). 
Inti ajaran atau mazhab sosialis sebenarnya sulit dijelaskan karena luasnya 
cakupan sosialisme (sosialisme utopis,  sosialisme ilmiah, sosialisme negara, 
sosialisme anarkis, sosialisme revisionis, sosialisme serikat sekerja, dan 
sebagainya). 
Mereka yang membela sosialisme acapkali berbeda mengenai 
jenis sosialisme yang mereka cari. Hanya dalam beberapa hal 
mereka  mempunyai kesamaan, selebihnya berbeda bahkan 
bertentangan. Ada yang menghendaki hapusnya pemerintah, 
sementara yang lainnya ingin  mempertahankan agar dapat 
melindungi kepentingan bruh; ada pula yang menganggap semua 
lambang kapitalisme harus dilenyapkan, termasuk mekanisme 
pasar, harga, dan  invisible hand, sedangkan yang lainnya 
menganggap mekanisme pasar dan harga masih diperlukan dalam 
saat-saat awal soialisme disebabkan sulitnya mengukur  efisiensi 
ketika dewan perencanaan  pusat menyusun prioritas 
(Sastradipoera, 2001: 40). 
Sedangkan mazhab historis, yang lahir di Jerman tahun 1840-an melalui 
karya ilmiah yang ditulis oleh Friederich List (1789-1846) dalam  Nationales 
System der politischen Oekonomie (1840), dan Wilhelm Roscher (1817-1894) 
dalam  Grundriss zu Vorlesungen ueber die Staatswissenchaft nach 
geschichtilicher Methode (1843), menyerang mazhab klasik Inggeris. Mereka 
beranggapan bahwa konsep-konsep ekonomi sesungguhnya merupakan produk 
perkembangan menurut sejarah kehidupan ekonomi yang khusus tumbuh di sautu 
negara. Oleh karena itu hukum-hukum ekonomi tidaklah mutlak, tetapi bersifat 17 

relatif atau nisbi berhubungan dengan perkembangan sosial menurut dimensi 
waktu dan tempat. 
Kemudia mazhab marjinalis. Mazhab ini pelopornya adalah Karl Menger 
(1840-1921) dari Jerman dalam karyanaya Grundsaetze der Volkswirtschaftlehre 
(1871). Selanjutnya seorang ekonom Inggeris William Staley Jevons (1835-1882) 
dalam karyanya Theory of Political Economy (1871), dan seorang Prancis Leon 
Walras (1834-1910) dalam karyanya Elements d’economie politique pure (1874). 
Mereka memberikan analisis yang telak mengenai hubungan antara kebutuhan dan 
harga dengan mengacu kepada konsep  ”guna marjinal”. Mereka menegaskan 
bahwa dalam hal seseorang individu,  setiap tambahan suatu barang yang 
dilakukan secara berturut-turut akan memperkecil nilai obyektif setiap tambahan 
yang dimiliki oleh individu itu. Oleh karena itu gagasan yang tidak sistematik 
mengenai nilai pakai dan permintaan serta penawaran sebagai penentu  nilai tukar 
barang (yang dikembangkan bersamaan dan bertentangan dengan teori Klasik), 
menemukan penanganansistematik pada awal tahun 1970-an oleh ketiga penulis di 
atas (Sastradipoera, 2001: 62). 
Mazhab institusionalis, datang dari Amerika Serikat tahun 1900-an yang 
pengaruhnya masih kuat sampai sekarang ini, contohnya adanya undang-undang 
anti-trust yang masih dipertahankan. Tokohnya adalah Thorstein Veblen (1857-
1929) dalam karyanya The Theory of the Leisure Class pada tahun 1899. Veblen 
dikenal sebagai seorang kritikus sosial yang bersemangat serta menyerang 
organisasi masyarakat industri kontemporer yang dianggapnya boros, dan 
mengalahkan sikap konsumtif yang menyolok mata. Selanjutnya ia mengamati 
sudut-sudut yang merugikan yang berasal dari gejala yang dihadapinya; ”milik 
guntay” (abstentee ownertship) yang merupakan ciri utama kapitalisme finansial. 
Berasal dari ”milik guntay” maka muncullah suatu lapisan masyarakat yang 
dianggap oleh Veblen sebagai ”kelas santai” (lesure class), adalah suatu kelas 
pada masyarakat lapisan atas yang berasal dari dunia industri dan keuangan yang 
perilkunya menampakkan fenomena kaum ”feodal tanggung” dengan 
mempertontonkan  pola konsumsi yang berlebihan serta mencolok mata 
(Sastradipoera, 2001: 72). 
Mazhab neo kalsik; merujuk pada versi terbaru dari ekonomi klasik yang 
dimunculkan pada abad 19 terutama oleh Alfred Marshal dan Leon Walras. Versi-
versi yang terkenal itu dikembangkan  pada abad ke-20 oleh John Hicks 
(1946[1939]) dan Paul samuelson (1965[1947]). Lepas dari  pengertian neo klasik 
umumnya, perbedaan ekonomi ne klasik  dan klasik  hanya terletak pada 
penekanan dan pusat perhatiannya. Jika ekonomi klasik menjelaskan segala 
kondisi ekonomi dalam kerangka  kekuatan-kekuatan misterius ”invisiblehand” 
(tangan-tangan tak terlihat), maka dalam mazhab ekonomi neo klasik mencoba 
memberi penjelasan lengkap dengan memfokuskan pada mekanisme-mekanisme 
aktual yang menyebabkan terjadinya  kondisi ekonomi tersebut (Boland, 2000: 
700).  
Selanjutnya adalah  mazhab Keynesian; Mazhab ini sesuai dengan 
namanya dipimpin oleh John Maynard Keynes, yang merupakan ekonomi agregat 
(makro) yang dituangkan dalam bukunya General Theory of Employment, Interest 
and Money (1936), dan dari karya-karya pengikut Keyneu yang lebih kontemporer 18 

seperti Sir Roy Harrold, Lord Kaldor, Lord Kahn, Joan Robinson dan Michael 
Kalecki, yang meluaskan analisis Keynes terhadap pertumbuhan ekonomi dan 
pertanyaan mengenai distribusi  fungsional pendapatan (functional distribution of 
income) antara upah dan laba yang oleh Keynes sendiri dibaikan (Thirwall, 2000: 
531). Dua pilar utama dari teori employment klasik adalah bahwa tabungan dan 
investasi menghasilkan ekuilibrium pada tingkat  full employment melalui tingkat 
suku bunga, dan bahwa penawaran serta permintaan tenaga kerja menghasilkan 
ekuilibrium melalui berbagai variasi upah riil. General Theory Keynes ditulis 
sebagai reaksi terhadap paham klasik tersebut. Perdebatan mengenai masalah ini 
sampai sekarang masih berlangsung. 
Mazhab Chicago, merupakan aliran kontrarevolusi neoklasik yang 
menentang institusionalisme dalam metodologi ilmu ekonomi, makroekonomi ala 
Keyney maupun terhadap liberalisme abad 20 yang menonjolkan 
intervensionisme dan penonjolan kebijakan ekonomi oleh pemerintah 
(Bronfendbrenner, 2000: 103). Sesuai dengan namanya, aliran ini berkembang di 
Universitas Chicago sejak dekade 1930-an. Tokoh utamanya tahun 1950-an 
adalah Frank H. Knight untuk soal teori dan metodologinya, serta Henry 
C.Simons dalam rumusan kebijakan ekonomi.Kemudian pada generasi berikutnya 
tokoh yang menonjol adalah Milton Friedman, George Stigler dan Gary Becker. 
Jika dilihat dari sudut sejarahnya pemikiran ekonomi mazhab Chicago ini 
sebenarnya adalah suatu varian Neoklasisme dan mengacu kepada ”Klasisisme 
Baru (New Classicism), di mana;  
Pertama, pasar dianggap sebagai mekanisme utama dalam 
menyelesaikan berbagai masalah ekonomi, asalkan didukung 
kebebasan politik intelektual; para ekonom aliran Chicago 
melihat perekonomian sebagai suatu kondisi perlu, namun bukan 
kondisi cukup untuk menciptakan masyarakat bebas;  Kedua;  
pengelolaan administratif dan intervensi kebijakan ekonomi yang 
bersifat ad hoc, hanya akan merusak situasi ekonomi; dalam soal 
kebijakan moneter dan fiskal, aliran ini menekankan pentingnya 
kesinambungan.  Ketiga; monetarisme dianggap lebih baik 
ketimbang fiskalisme dalam regulasi makroekonomi.  Keempat; 
kebijakan fiskal diyakini sebagai wahana yang tepat untuk 
mengentaskan kemiskinan, namun  redistribusi pendapatan bagi 
kalangan di atas garis kemiskinan justru akan lebih banyak 
meninmbulkan kerugian.  


D.  Konsep-konsep Ilmu Ekonomi  
Beberapa konsep dalam ilmu ekonomi, seperti; (1) skarsitas, (2) produksi, 
(3) konsumsi, (4) investasi, (5) pasar, (6) uang, (7) letter of credit (LC), (8) neraca 
pembayaran, (9) bank atau perbankan, (10) koperasi, (11) kebutuhan dasar,  (12) 
kewiusahaan,  (13) perpajakan  (14) periklanan   (15) perseroan terbatas, (16) laba 
(17) Kurs atau nilai tukar. 

 19 

1.  Skarsitas 
“Skarsitas” atau  “kelangkaan” adalah sebuah prinsip  bahwa sebagian 
besar  barang yang diinginkan orang hanya tersedia dalam jumlah yang terbatas 
(kecuali seperti  barang bebas seperti udara). Dengan demikian barang umumnya 
dalam keadaan langka dan harus dijatah, baik melaui mekanisme harga maupun 
cara lainnya (Samuelson dan Nordhaus, 1990: 535). 
Dalam kaitannya dengan masalah-masalah sosial lainnya, kelangkaan juga 
melahirkan teori stratifikasi sosial dalam sejarah perkembangan manusia. Teori 
skarsitas (kelangkaan) merupakan devisi pemikiran Michael Harner (1970), 
Morton Fried (1967) dan Rae Lesser Blumberg (1978). Teori ini beranggapan 
bahwa  penyebab utama timbul dan semakin intens-nya stratifikasi sosial 
disebabkan oleh tekanan jumlah penduduk. Tekanan jumlah penduduk tersebut 
sangat berpengaruh terhadap sumber daya yang menyebabkan masyarakat baik 
pemburu dan peramu pola subsistensi pertanian. Pertanian akhirnya menggantikan 
pola subsistensi pemburu dan peramu. Sebut saja “komunisme primitif”  dalam 
masyarakat pemburu dan peramu merupakan cikal bakal pemilikan tanah oleh 
keluarga besa, namun pemilikan masih bersifat komunal daripada pribadi.  
Makin meningkatnya tekanan jumlah penduduk, mengakibatkan  
masyarakat holtikultura makin memperhatikan pemilikan tanah serta makin 
kokohnya jiwa “egoisme” pribadi sehingga menghilangkan apa yang disebut 
sebagai “pemilikan bersama”.Di samping itu perbedaan akses terhadap sumber 
daya muncul, dari suatu individu maupun kelompok muncul memaksa individu 
maupun kelompok lainnya yang memaksa bekerja lebih keras untuk menghasilkan 
surplus ekonomi  melebihi apa yang dibutuhkan sampai terbentuknya kelompok 
yang bersenang-senang atau  leisure class (Sanderson, 1995: 161). Dengan 
demikian dalam teori kelangkaan tersebut tertanam kebiasaan persaingan maupun 
konflik materialistik 

2.  Produksi 
“Produksi” dapat diartikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian luas 
“produksi” adalah segala usaha untuk menambah atau mempertinggi nilai atau 
faedah dari sesuatu barang. Sedangkan dalam arti sempit “produksi” adalah segala 
usaha dan aktivitas untuk menciptakan suatu barang atau mengubah bentuk suatu 
barang menjadi barang lain (Abdullah, 1992: 4; 38). 
Misalkan  seorang petani berusaha  untuk menghasilkan padi atau beras 
melalui usaha bertani, hal ini dapat diklasifikasikan “produksi” dalam pengertian 
sempit. Jika jumlah padi atau beras yang  dihasilkan di tempat petani tersebut 
berlimpah bila disbandingkan dengan keperluan konsumsinya, maka beras atau 
padi tersebut nilai atau faedahnya akan rendah. Dalam hal ini kemudian para 
pedagang berusaha membawa limpahan beras tersebut ke tempat baru yang 
memiliki nilai faedah yang lebih tinggi. Untuk aktivitas yang terakhir ini dapat 
digolongkan  “produksi” dalam arti luas. 
Suatu aktivitas “produksi” tidak akan berjalan tanpa melalui “proses 
produksi”. Sebab sesuatu produksi tidaklah  terjadi dengan tibab-tiba, melainkan 
melalui tahapan suatu proses yang cukup panjang. Proses produksi adalah suatu 
proses atau kegiatan untuk memperoleh  alat-alat pemuas kebutuhan, baik secara 20 

langsung maupun tidak langsung. Jadi tujuan pokok dari produksi adalah untuk 
konsumsi. Bila jarak produsn dengan konsumen berjauhan maka diperlukan 
adanya usaha-usaha untuk meyampaikannya kepada konsumen. Usaha-usaha 
untuk nenyampaikan barang-barang dari produsen ke konsumen tersebut 
dinamakan proses “distribusi” (Abdullah, 1992: 4; 38).  
Terdapat empat macam faktor produksi, yakni (1) alam; (2) tenaga kerja; 
(3) modal; (4) skill atau keterampilan. Faktor alam, mencakup; tanah dan keadaan 
ilklim, kekayaan hutan, kekayaan kandungan tanah (mineral), kekayaan air 
sebagai sumber penggerak trannsportasi maupun sumber pengairan dalam 
pertanian.  Faktor produksi tenaga kerja  adalah peranan manusia dalam proses 
produksi.  Faktor produksi modal, adalah adalah semua barang yang dihasilkan 
dan dipergunakan dalam produksi untuk masa depan. Barang-barang tersebut 
kadang-kadang disebut sebagai barang-barang produksi dan kadang-kadang 
disebut  investasi maupun barang modal, sepert mesin-mesin, gedung-gedung, dan 
instalasi pabrik. Sedangkan faktor produksi skill atau keterampilan merupakan 
beberapa jenis kecakapan atau keterampilan khusus yang diperlukan  dalam 
proses produksi ekonomi. Adapun cakupan skills yang dimaaksud meliputi  
managerial skills, technological skills, dan organizational skills (Abdullah, 1992: 
41). 

3.  Konsumsi 
Secara sederhana pengertian “konsumsi’ adalah segala tindakan manusia 
yang dapat menimbulkan turunnya atau  hilangnya “faedah atau guna” sesuatu 
barang. Pengertian tersebut dapat dibandingkan dengan Samuelson dan Nordhaus 
(1990: 161) bahwa “konsumsi” adalah sebagai pengeluaran untuk barang dan jasa 
seperti makanan, pakaian, mobil, pengobatan, dan perumahan  Jadi pengertian 
tersebut jelas berbeda dengan pemahaman yang hidup di masyarakat bahwa 
pemahaman ‘konsumsi’ selalu inherent dengan ‘makanan’. 
Seseorang konsumen akan bersedia membeli sesuatu barang, karena 
barang itu sangat berguna baginya. Begitu  juga terhadap jasa, seseorang akan 
membayar suatu jasa karena jasa tersebut sangat berfaat baginya. Dari pernyataan 
tersebut dapat dikemukakan bahwa seseorang akan bersikap berbeda-beda melihat 
penting tidaknya sesuatu barang ataupun jasa sesuai dengan keperluannya  yang 
berbeda-beda pula. Menurut para ahli ekonomi yang mengembangkanb 
pendekatan dengan fungsi kegunaan dalam  permintaan konsumen ini berpendapat 
bahwa kegunaan sesuatu barang dapat diukur secara kardinal ⎯ yaitu dngan cara 
membandingkannya dengan tingkat kegunaan  dari barang-barang yang lainnya 
(Abdullah, 1992: 35) 
Dengan demikian pada umumnya setiap orang akan berusaha untuk 
memenuhi kebutuhannya terhadap bermacam-macam barang adalah secara 
seimbang. Di sinilah sebagai manusia dalam memenuhi kebutuhan konsumsinya 
orang dengan sadar atau tidak akan menggunakan prinsip ekonomi. Artinya ia 
akan berusaha untuk mencapai tingkat konsumsi yng paling menguntungkan 
baginya. Dengan demikian pula konsumen  dalam melakukan konsumsinya 
bertujuan untuk mencapai kepuasan dan  kegunaan setinggi-tingginya melalui 
pemikiran yang se rasional mungkin. Idealnya seorang konsumen akan 21 

mempertimbangkan; (1) jumlah pendapatannya, (2) daftar preferensi dari jenis 
barang yang akan dikonsumsi; (3) harga  persatuan tipa jenis barang yang akan 
dikonsumsi; (4) jumlah tiap jenis barang yang akan dikonsumsi (Abdullah, 1992: 
37).  

4. Investasi 
 “Investasi” dapat diartikan sebagai perubahan stok modal dalam kurun 
waktu tertentu, bisanya satu tahun buku (Mullineux, 2000: 522). Makna 
“investasi” tersebut sering dikacaukan dengan investasi keuangan (financial 
investment) yang definisinya adalah pembelian aset-aset keuangan seperti saham 
dan obligasi yang nantinya akan akan dijual kembali begitu harganya meningkat, 
dan hal itu lebih terkait dengan analisis jasa. “Investasi” juga berbeda dari 
“investasi inventori”, yakni penyimpanan atau perubahan stok produk final, 
produk setengah jadi, atau bahan-bahan mentah.Begitu-pun barang-barang 
investasi modal (capital investment goods) berbeda dari barang konsumsi, karena 
hal itu dapat menghasilkan arus jasa selama periode tertentu,  dan jasa itu tidak 
langsung memenuhi kebutuhan konsumen.  Namun demikian sangat diperlukan 
untuk produksi barang  dan jasa yang  dapat memenuhi kebutuhan konsumen. 
Kedua-duanya agak mirip, karena sebagian  barang konsumen (yakni durable 
goods atau berbagai barang yang bisa dipakai berkali-kali / bisa dimanfaatkan 
dalam waktu lama) dapat juga dikategorikan sebagai barang investasi. 
 Pembedaan investasi juga dapat juga dibedakan atas dasar lembaganya, 
ada dua yaitu yang dilakukan atas dasar  investasi publik (dilakukan pemerintah), 
dan investasi yang dilakukan oleh badan-badan swasta. Selain itu investasi juga 
dapat dibedakan berdasarkan tempatnya yang terbagi atas dua macam, yaitu; ada 
investasi domestik dan ada pula  investasi asing. Sedangkan pembedaan yang 
berdasarkan jenis barangnya, investasi dapat digolongkan menjadi dua pula yaitu 
investasi langsung (seperti pengadaan pabrik, peralatan, dan berbagai sarana 
produksi),  dan  investasi keuangan atau  portofolio seperti; obligasi dan saham 
(Mullineux, 2000: 522) 
    
5. Pasar 
 “Pasar” adalah sebuah mekanisme yang melaluinya para pembeli dan para 
penjual berinteraksi untuk menentukan  harga dan melakukan pertukaran barang 
dan jasa (Samuelson dan Nordhaus: 2003; 29). Dengan demikian pasar pada 
hakikatnya juga merupakan keseluruhan permintaan dan penawaran barang serta 
jasa. Walaupun sepintas kelihatannya seperti sebuah kumpulan campur-baurnya 
penjual dan pembeli yang membingungkan dan merupakan mekanisme yang 
rumit,  namun sistem ini merupakan   suatu alat komunikasi untuk menyatukan 
pengetahuan dan tindakan-tindakan dari jutaan individu yang berbeda untuk 
proses pemenuhan kebutuhan. 
 Jika ditinjau dari macam atau jenisnya, pasar dapat dibedakan 
berdasarkan; Pertama; jika dilihat dari barang-barang yang diperjual-belikannya, 
dapat dibedakan antara pasar barang konsumsi dan pasar faktor produksi. Kedua, 
jika dilihat dari waktu terjadinya,  dapat dibedakan antara pasar harian, pasar 
mingguan, dan bulanan. Sementara itu untuk pasar tahunan biasanya dikalsanakan 22 

dalam bentuk pekan raya.  Ketiga, jika dilihat dari  lingkup aktivitasnya;  dapat 
dibedakan ada pasar local, nasional, maupun internasional. Keempat, jika dilihat 
dari  strukturnya;  dapat dibedakan antara pasar  persaingan sempurna, pasar 
monopoli, pasar oligopoli, dan pasar persaingan monopolistik.  

6. Uang 
 John Maynard Keynes (1883-1946) seorang ekonom neo-klasik dalam 
bukunya Treaties on Money (1930) mendefinisikan “money [is] that by delivery of  
which debt-contract and price-contracts are dis charged, and in the shape of 
which a store of General Purchasing Power is held”, yaitu uang adalah alat 
penyelesaian kontraktual, dan sebuah  store of value, sebuah wahana purchasing 
power yang bergerak dalam lintasan waktu. Dengan demikian uang  secara umum 
dilihat dari fungsinya dapat didefinisikan sebagai alat tukar (Komaruddin, 1991: 
397-398). Uang juga berfungsi sebagai sebagai satuan ukuran (standard for 
valuing things) maupun memiliki fungsi turunan (seperti sebagai standard 
perincian utang atau  standard deferred payments, dan sebagai alat penyimpan 
kekayaan). 
 Namun jdalam perkembangannya,  uang juga merupakan alat untuk 
menjalankan kekuasaan ekonomi. Justru oleh karena uang memberikan hak 
kekuasaan abstrak atas dasar-dasar dan jasa-jasa, maka pada umumnya  manusia 
ingin memiliki uang. Uang berarti kekuasaan; pada sebuah masyarakat yang 
berlandasakan dasar individualistic, uang menjadi alat kekuasaan dalam tangan 
pemiliknya (Winardi, 1987: 35). Bahkan  jauh sebelumnya seorang begawan 
sosiolog yang dipengaruhi filsafat historisme Wilhelm Dilthey yakni Max Weber 
(1864-1920) dalam karyanya General Economic History (Knight. 1961), pernah 
mengemukakan bahwa “uang adalah ayahnya partikelir”. Uang akan menjadi 
cikal-bakal milik swasta, tentu saja setelah melewati proses pembentukan harga 
dan pembentukan kekuasaan. 
Dalam keadaan ekstrim, terlihat suasana yang memprihatinkan “Uang 
yang semula hanya merupakan alat, berubah menjadi tujuan, dari  benda yang 
harus mengabdi ia dapat  berubah menjadi penguasa” (Winardi, 1987: 42). Ini 
adalah suatu gambaran yang menakutkan akan fenomena “pemujaan uang”. 
Apakah pasti semuanya berdampak negatif tentang uang? Ternyata tidak selalu 
begitu, sebab uang juga  memiliki “sifat sosial ⎯ ekonomi”. Karena melalui uang 
yang merupakan bagian pokok dari sesuatu masyarakat, juga telah berperan atas 
lalu-lintas pertukaran dan  perdagangan, serta perindustrian. Ia dapat diberikan 
cuma-cuma maupun dipinjamkan ke orang lain yang membutuhkan melalui 
peminjaman kredit, ia dapat memungkinkan adanya pembentukan modal yang 
setiap saat dapat dialihkan bentuknya berupa barang-barang.  

7. Letter of Credit   
 “Letter of Credit”  (L/C)  adalah  suatu surat yang dikeluarkan oleh bank 
devisa atas permintaan importir nasabah bank devisa bersangkutan dan ditujukan 
kepada eksportir di luar negeri yang menjadi relasi dari importir tersebut (Amir, 
1996: 1). Isi surat itu menyatakan bahwa eksportir penerima L/C diberi hak oleh 
importir untuk menarik wesel (surat perintah untuk melunasi utang) aatas Bank 23 

Pembuka untuk sejumlah uang yang disebut  dalam surat itu. Bank yang 
bersangkutan menjamin untuk mengakseptir atau menhonorir wesel yang ditarik 
tersebut asal sesuai dan memenuhi semua syarat yang tercantum di dalam surat 
itu. 
 Adpun peranannya L/C tersebut dalam perdagangan internasional untuk: 
(1) untuk memudahkan pelunasan pembayaran transaksi ekspor; (2) untuk 
mengamankan dana yang disediakan importir untuk membayar barang impor; (3) 
untuk menjamin kelengkapan dokumen pengapalan. Perlu diketahui bahwa dalam 
praktiknya antara eksportir dan importir itu terpisah baik secara geografis maupun 
geo-politik. Bahkan tidak mustahil antara  eksportir dan importir secara pribadi 
saling tidak mengenalnya. Sebab bagi eksportir merupakan risiko besar jika 
mengirimkan barang bila tidak ada jaminan pembayaran. Oleh karena untuk 
mendapatkan jaminan tersebut, eksportir meminta kepada importir agar membuka 
Letter of Credit untuknya. Dan L/C inilah yang merupakan jaminan atas 
pelunasan barang yang akan dikirimkan oleh eksportir. 
 Dengan demikian untuk kepentingan eksportir L/C harus  dibuka terlebih 
dahulu sebelum barang dikirim.  Begitu juga sebaliknya, pembukaan L/C 
merupakan jaminan pula untuk importir bersangkutan untuk memperoleh 
pengapalan barang secara utuh sesuai dengan yang diinginkannya. Sedangkan 
dana L/C tersebut tidak  akan dicairkan tanpa penyerahan dokumen pengapalan. 
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Letter of Credit merupakan suatu 
instrumen yang ditawarkan bank devisa untuk memudahkan lalu-lintas 
pembiayaan dalam transaksi perdagangan internasional (Amir, 1996: 2). 

8. Neraca Pembayaran 
“Neraca pembayaran” (balance of payments) adalah keseluruhan catatan 
akuntansi dari transaksi-transasksi internasional suatu negara dengan negara 
lainnya (Thirlwall, 2000: 58). Penerimaan valuta asing dari penjualan barang dan 
jasa disebut ekspor dan sebagai item kredit dalam apa yang disebut neraca 
transaksi berjalan (current account) yang merupakan salah satu bagian dari neraca 
pembayaran. Sedangkan pembayaran valuta asing untuk pembelian barang-barang 
dan jasa disebut impor dan muncul sebagai item  debet dalam neraca berjalan. 
Selain itu juga perlu diketahui bahwa ada transaksi-transaksi dalam modal  yang 
muncul sebagai neraca modal  terpisah. Arus keluar modal (capital outflows) 
adalah transaksi  untuk membiayai aktivitas permodalan internasional seperti 
penanaman modal di luar negeri, misalnya, dan diperlukan sebagai  debet, 
sedangkan arus masuk modal (capital inflows) adalah sebaliknya  dan diperlukan 
sebagai kredit.  
Namun dalam hal ini defisit pada negara berjalan bisa diseimbangkan atau 
ditutupi dengan surplus pada neraca   modal dan demikian juga sebaliknya. 
Mengingat nilai tukar valuta asing adalah harga dari uatu mata uang terhadap 
mata uang lain, total kredit (suplai valuta asing) dan  debet (permintaan valuta 
asing) harus sama jika nilai tukar  dibiarkan berfluktuasi bebas untuk 
menyeimbangkan penawaran dan permintaan valuta asing. Namun demikian, jika 
nilai tukar tidak bebas bergerak, maka defisit atau surplus akan meningkat. Defisit 
bisa dibiayai  dengan pinjaman pemerintah dari bank-bank dan lembaga keuangan 24 

Internasional Monetary Fund, atau dengan menarik sebagin cadangan emas 
devisnya. Surplus bisa dimanfaatkan  dengan memperbesar cadangan atau 
dipinjamkan ke luar negeri (Tirlwall, 2000: 57). 
Terdapat tiga pendekatan utama dalam penyesuaian neraca pembayaran 
yang telah dikembangkan oleh para ahli ekonomi, khususnya berkenaan dengan 
bagaimana cara memandang defisit.  Pertama, pendekatan  elastisitas; yang 
melihat  defisit sebagai hasil distorsi  harga relatif  dalam hal ini disebabkan 
kurangnya kompetisi pasar. Di sini penyesuaian seyogyanya dilakukan melalui  
depresiasi nilai tukar sesuai dengan nilai elastisitas harga permintaan untuk 
kelebihan unit impor dan ekspor. Kedua, pendekatan  absorsi, yang melihat defisit 
sebagai akibat dari kelebihan  pembelanjaan atas output domestik, sehingga 
penyesuaian yang baik adalah menurunkan pembelanjaan secara relatif terhadap 
output.  Ketiga, pendekatan  moneter, yang memandang defisit sebagai suatu 
kelebihan suplai uang relatif terhadap  permintaan, sehingga penyesuaian  hanya 
bisa berhasil jika permintaan uang  bisa dinaikan secara relatif terhadap suplainya. 
(Tirlwall, 2000: 57). 

9. Bank (Perbankan) 
Istilah “bank” mempunyai arti yang  sebenarnya dan sudah berakar 
khususnya pada masyarakat Eropa bermakna “meja” atau “kounter”. Pengertian 
“meja” yang dimaksud adalah “meja” yang sering dipakai tempat penukaran uang 
di pasar pada Abad Pertengahan dan bukan “meja” yang dipakai oleh para “lintah 
darat” (Revel, 2000: 60). Pada mulanya bank-bank yang ada pada masa lalu itu 
acapkali bermula sebagai usaha yang disubsidi oleh para pedagang, awak kapal, 
pedagang ternak, dan belakangan ini para agen perjalanan. Ada pula bank-bank 
yang muncul dari bisnis perhiasan emas yang beberapa di antaranya disubsidi oleh 
para dermawan. Namun setelah dua abad lebih, perbankan berkembang menjadi 
sector perdagangan mandiri, dan muncul berbagai perusahaan dan rekanan yang 
menjalankannya sebagai bisnis yang tersendiri (Revel, 2000: 58). 
Salah satu hukum yang berlaku dalam bank adalah menerima tabungan 
uang dan memberikan pinjaman dengan mengambil keuntungan, kendati dalam 
hal-hal tertentu tabungan  dan pinjaman dibatasi dalam waktu relatif pendek 
maupun menengah. Secara keseluruhan fungsi bank utama dapat dirinci sebagai 
berikut: 
1.  Menghimpun dana-dana yang dimiliki masyarakat. 
2.  Menyalurkan dana yang telah berhasil duhimpun tersebut 
dalam bentuk kredit.  
3.  Memperlancar kegiatan perdagangan dan arus lalu-lintas 
uang antara para pedagang (Abdullah, 1992: 216). 

Di balik fungsi itu juga bank melakukan tugas-tugas lainnya seperti (1) 
menciptakan uang; (2) melakukan inkaso .Untuk tugas menciptakan uang tersebut, 
sebetulnya terdapat variasi. Bank  sentral dapat menciptakan uang, baik  uang  
kartal dan  uang giral. Sedangkan di luar bank sentral (bank sekunder) hanya 
boleh menciptakan uang giral.. Sedangkan untuk tugas-tugas melakukan inkaso, 
hal ini dilakukan mengingat perdagangan dewasa ini semakin kompleks dan 25 

melampui batas-batas suatu negara. Di sinilah para pedagang besar umumnya 
memilih menggunakan jasa bank dalam membayar atau menagih hasil transaksi 
dagangnya. Umumnya pedagang yang demikian menggunakan alat pembayaran 
berupa cek atau giro yang ditagih dari bank atau dipindahbukukan  pada rekening 
nasabah yang bersangkutan. Pekerjaan  bank yang berkaitan dengan membayar 
dan menagih untuk atau atas nama pihak lain seperti dijelaskan di atas, dinamakan 
sebagai fungsi bank selaku inkaso. 

10. Koperasi 
“Koperasi” adalah sebuah gerakan ekonomi maupun sebagai badan usaha 
(Chaurmain dan Prihatin, 1994: 364).  Sebagai gerakan ekonomi, koperasi 
mempersatukan sejumlah orang-orang yang mempunyi kebutuhan yang sama dan 
sepakat bahwa kebutuhan bersama itu akan direncanakan, dilaksanakan, 
dikendalikan dan diawasi, serta dipertanggungjawabkan  secara bersama 
berdasarkan asas kekeluargaan dan kebersamaan. Sedangkan  sebagai badan usaha 
milik bersama, koperasi merupakan sebuah badan yang bertujuan melakukan 
usaha pemenuhan kebutuhan bersama seluruh anggota 
Jika ditilik sejarah perkembangannya, koperasi pertama dibentuk pada 
tahun 1844 di Toad Lane, Rochdale oleh 28 pekerja Lancashire yang selanjutnya 
mengembangkan tujuh  prinsip koperasi yang samapai sekarang  masih menjadi 
landasan  gerakan koperasi di seluruh dunia, walaupun tidak sepenuhnya 
mendapat penekanan  yang sama. Ketujuh prinsip tersebut adalah; (1) 
keanggotaannya bersifat terbuka; (2) satu  anggota satu suara; (3) perputaran 
modal terbatas; (4) alokasi surplus   produksi disesuaikan atau kontribusi dari 
masing-masing anggota; (5) jasa penyediaan uang tunai; (6) penekanan pada 
aspek pendidikan; (7) bersifat netral dalam soal agama dan politik (Estrin, 2000: 
176). 
Di Indonesia azas koperasi diataur dalam undang-undang perkoperasian di 
mana azasnya selalu kekeluargaan dan gotong-royong. Ini tidak berarti bahwa 
koperasi meninggalkan sifat dan syarat-syrat ekonominya yang menghilangkan 
proefisiensinya. Sedangkan  jika ditilik jenis-jenis  koperasi dapar dibedakan 
berdasarkan;:  Pertama;   lapangan usaha, meliputi  koperasi konsumsi (koperasi 
pemenuhan kebutuhan barang-barang untuk anggota) dan koperasi produksi yang 
memproduksi untuk disalurkan ke para anggotanya (seperti;  koperasi kerajinan 
tangan, pertanian, perindustrian dan simpan-pinjam;  Kedua; koperasi menurut 
lingkungannya, dapat dibedakan menjadi  koperasi  fungsional  yang sering 
dibentuk di kantor tempat para anggotanya bekerja, kemudian koperasi unit desa 
yang tersebar di desa-desa, serta  koperasi sekolah yang tersebar di bebarapa 
sekolah.  

11. Kebutuhan Dasar 
Konsep “kebutuhan dasar” telah memainkan peran penting dalam analisis 
kondisi-kondisi khususnya di negara miskin dan berkembang. Drenowski dan 
Scott (1966) mengemukakan bahwa istilah “kebutuhan dasar” memiliki riwayat 
yang panjang. Dan, menurut Townsend (2000: 61) mulai dipakai secara luas sejak 
Konperensi Tenaga Kerja Dunia (ILO) yang berlangsung di Jenewa tahun 1976, 26 

yang mengemukakan bahwa bahwa kebutuhan dasaritu memiliki dua unsur: 
Pertama, meliputi jumlah minimum tertentu yang dibutuhkan oleh suatu keluarga 
untuk konsumsi pribadi, meliputi; makanan, perumahan, sandang, serta perabot 
dan peralatan rumah tangga.  Kedua; kebutuhan dasar juga meliputi layanan-
layanan pokok yang disediakan oleh dan  untuk komuniatas secara keseluruhan, 
seperti; kesehatan, pendidikan, air minum yang aman, sanitasi, angkutan umum, 
dan fasilitas-fasilitas budaya.  
Konsep “kebutuhan dasar” tersebut diakui memang mendapat tempat yang 
penting dalam perdebatan yang berlangsung terutama dalam hubungannya antara 
Dunia Pertama dengan Dunia Ketiga.  Menurut Townsend (2000: 62). 
Semakin diakui aspek-aspek sosial  dari konsep itu, semakin perlu pula 
diakui relativitas kebutuhan atas sumber-sumber daya dunia dan nasional. 
Semakin konsep itu dibatasi kepada  barang-barang dan fasilitas-fasilitas 
fisik, semakin gampang orang berpendapat bahwa yang diperlukan adalah 
pertumbuhan ekonomi saja, bukannya  kombinasi yang kompleks dari 
pertumbuhan, pemerataan dan penataan perdagangan dan hubungan-
hubungan institusional lainnya. 

12. Kewirausahaan 
Konsep ”kewirausahaan” atau ”entrepreneurship” merujuk kepada suatu 
sifat keberanian, keutamaan  dan dalam mengambil risiko dalam kegiatan inovasi 
(Samuelson dan nordhaus, (1990: 518; Cason, 2000: 297; Abdullah, 1992: 128). 
Dari kata  entrepreneur tersebut maka muncullah tafsiran yang beragam, seperti; 
merchant (pedagang),  ”pemilik usaha”, sampai ”petualang”. Dan, orang yang 
mempopulerkan istilah/konsep tersebut adalah John Stuart Mill (1948) di Inggreis. 
Menurut Schumpeter, para wira usaha adalah penggerak atau motor 
ekonomi, karena fungsi inovasi yang mereka jalankan menduduki tempat sentral. 
Terdapat lima tipe inovasi yang menonjol; (1) pengenalan barang baru atau barang 
lama dengan mutu lebih baik; (2) penemuan metode produksi yang baru; (3) 
pembukaan pasar yang baru, khususnya  untuk ekspor; (4) perolehan sumber 
pasokan bahan baku yang baru; (5) penciptaan organisasi industri yang  baru, 
misalya pembentukan jaringan usaha terpadu yang bisa beroperasi monopoli 
(Casson, 2000: 297). Namun demikian wirausahaawan bukan ”penemu” murni, 
dia hanya yang pertama kali memanfaatkan penemuan tersebut, dan 
mempertaruhkan sumberdayanya  sendiri  untuk mencapai suatu usaha yang tak 
terbayangkan oleh orang lain. Tetapi bukan pula seorang wirausahawan menjadi 
”penjudi risiko minimal”. Karena keputusan-keputusan yang diambilnya juga 
penuh perhitungan melalui proses-proses manajerial yang teruji. Oleh karena itu 
seorang wirausaha menurut Casson adalah sebagai yang berspesialisasi dalam 
mebuat keputusan, karena dia memiliki akses khusus dalam memperoleh 
informasi (1982). 

1.  Perpajakan  
Konsep ”perpajakan” mengacu kepada suatu pembayaran yang dilakukan 
kepada  pemerintah untuk membiayai  pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan 27 

dalam hal menyelenggarakan jasa-jasa, untuk kepentingan umum, yang sekaligus 
sebagai sumber pendapatan negara (Brown, 2000: 1082).  
Di kalangan negara-negara maju, rata-rata pajak menduduki seperlima 
sampai setengahnya dari GDP. Contohnya di Swedia sampai setengah dari GDP. 
Selandia Baru mengalami peningkatan 61%. Di sini diasumsikan bahwa besarnya 
pendapatan pajak bagi negara telah ditentukan sebelumnya. Hal ini 
memungkinkan pemerintah menentukan  sendiri bagaimana mencapainya. 
Menurut Brown (2000: 1082-1083) terdapat tiga peranan pajak dalam masyarakat; 
(1) efek alokatif, (2) efek distributif, (3) efek adminis tratif. 
Pertama, efek alokatif; bahwa pajak mempengaruhi perilaku warga. 
Artinya bahwa dengan adanya pentuan  besar/kecilnya sesorang sebagai obyek 
pajak, akan memiliki pengaruh terhadap perilaku warga masyarakatnya. Sebagai 
contoh karena dia tahu bahwa dalam setiap pembelian barang pasti dikenakan 
pajak pembelian barang, maka dia akan hati-hati dalam membeli barang, atau 
tidak dengan serta merta ia akan membeli barang.  Kedua, efek distribusional. 
Artinya bahwa pajak memiliki pengaruh terhadap distribusi pendapatan. Sebagai 
contoh buat apa ”kerja lembur” banyak-banyak jika PPh-nya cukup tinggi? 
Ketiga, efek administratif. Di sini   diartikan bahwa memungut pajak 
mengakibatkan munculnya biaya-biaya baik pada sektor publik maupun swasta 
yang bervariasi. Contohnya di Indonesia  ketika kita akan membayar pajak 
kendaraan  ironisnya justru orang-orang yang ”bijak” sering menjadi korban 
pemerasan. Salah stu penentu utama biaya administratif adalah kompleksitas 
hukum, yang ironisnya jika hal ini dibiarkan dapat mengurangi kesadaran hukum 
bagi warga untuk bayar pajak kendaraan tepat waktu. 

2.  Periklanan  
Istilah ”perikalanan” menngacu pada suatu komunikasi pasar yang 
dilakukan para penjuan barang dan jasa.  Pada mulanya yang paling banyak 
memperhatikan bidang ini  ini adalah para ekonom, dan pembahasannya didasrkan 
pada konsep kunci informasi dalam konteks struktur pasar  di tingkat lokal 
maupun nasional (Jhally, 2000: 7).. Walaupun sudah banyak penelitian empiris 
dilakukan untuk melihat efektivitas periklanan dalam meningkatkan permintaan 
produk (baik iklan yang sifatnya individual maupun untuk pasar secara 
keseluruhan). Namun keseluruhan penelitian itu tidak bisa menyimpulkan secara 
tegas seberapa efektif periklanan itu dari segi ekonomi (Albion dan Faris, 1981). 
Terdapat beberapa peneliti tentang peranan iklan dalam perekonomian. 
Struart Owen dalam karyanya  Captains of Consciousness (1979) periklanan 
memiliki fungsi kembar terhadap kapitalisme, (1) menciptakan permintaan untuk 
menampung kapasitas barang-barang industri, (2) mengalihkan perhatian dari 
konflik kelas di tempat kerja dengan mendefinisikan identitas menurut konsumsi, 
bukan produksi. Kemudian teoretisi budaya Raymond Williams (1980) 
menambahkan bahwa periklanan merupakan sebuah ”sistem sihir” yang 
menjauhkan perhatian orang dari sifat kelas dalam masyarakat dengan 
menekankan konsumsi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ”periklanan” 
dilihat sebagai suatu lokomotif utma dalam penciptaan kebutuhan semu.  28 

Bahkan sekarang ini telah terjadi pergeseran di mana periklanan tidaklah 
semata-mata bernuansa ekonomi tetapi merambah ki bidang-bidang lainnya. Leiss 
et al dalam  Social Communivcation (1990) berusaha menempatkan iklan dalam 
suatu perspektif kelembagaan (menjembatani hubungan antara bisnis dan media) 
di mana persoalan  peran iklan dalam penjualan tidak begitu  penting dan menarik 
lagi, dibanding perannya sebagai lokomotif komunikasi sosial. Di sini bagaimana 
iklan mencoba menarik para konsumen dengan dimensi-dimensi yang tidak 
berhubungan langsung dengan barang-barang  tersebut, baik dimensi identitas 
individual, kelompok atau keluarga, kebahagian dan kepuasan, gender seksual dan 
sebagainya. Bahkan Kline dalam  karyanya  Out of the Garden  (1994) lebih 
pesimis dan negatif lagi, bahwa iklan pemasaran produk mainan anak-anak telah 
menimbulkan sekian dampak jelek terhadap jenis permainan yang dimainkan 
anak-anak (membatasi imajinasi dan kreativitas anak) serta terhadap interaksi 
antar gender dan interaksi orang tua-anak. 

3.  Perseroan Terbatas  
Konsep ”perseroan terbatas” merupakan konsep yang paling populer 
dalam ekonomi, yang mendasarkan  kepemilikan dan tanggung jawab pada 
sejumlah saham, dan sepenuhnya diakui  sebagai badan hukum. Terdapat tiga 
karakteristik dalam perseroan terbatas; (1) setiap utang perusahaan, menjadi 
tanggung jawab perusahaan, dan tidak bisa  dikaitkan dengan kekayaan pribadi 
pemegang sahamnya; (2) identitas perusahaan tidak akan berubah sekalipun 
saham dialihkan ke pihak lain; (3) hubungan kontraktual dilakukan dan menjadi 
tanggung jawab dewan direksi (Reekie, 2000: 176). 
Oleh karena tiga karakteristik yang dimiliki badan usaha ’perseroan 
terbatas’ tersebut maka jenis badan usaha itu merupakan suatu lembaga yang 
paling mudah berkembang. Hal ini dapat dipahami karena risiko utang bagi 
pemilik saham bisa diabaikan sehingga perseroan bisa berani berekspansi  secara 
maksimal, selama masih ada pihak yang memberikan pinjaman usaha. 
Kemudahan jual-beli  saham juga membuat badan usaha ini tidak terpengaruh 
oleh preferensi individual pemilinya. Status  persona perusahaan ini 
memungkinkan dilakukannya pembagian tugas, risiko dan tanggung jawab antara 
pemilik dan pengelola perusahaan. 
Beberapa ekonom ternama memberikan komentar yang beragam terhadap 
perseroan terbatas tersebut. Schumpeter dalam  Capitalism, Socialism and 
Democracy (1950) mengkritik hal itu sebagai suatu hal yang akan menyulitkan 
pengelolaannya. Namun Hessen dalam  In Defense  of Corporation (1979) 
berpendapat justru dengan terbatasnya tanggung jawab pemilik perusahaan 
sebatas saham yang dimilikinya dan prinsip kepemilikan bersama  adalah suatu 
kontrak khas swasta, bukan negara/pemerintah. Penyusunan kontrak secara bebas 
adalah wahana peningkatan efisiensi yang sangat diperlukan kalangan swasta, 
bukan untuk mengelakkan tanggung jawab. 
Perlu diketahui bahwa secara historis, terbatasnya tanggung jawab pemilik 
perusahaan merupakan keistimewaan yang diberikan pemerintah Inggeris pada 
abad ke-15 guna merangsang minat usaha swasta. Kemudian pada abad ke-17 
prinsip tersebut disebar-luaskan ke berbagai wilayah jajahan Inggeris melalui East 29 

India Company dan Hudson Bay Company yang kemudian dibakukan menjadi 
undang-undang parlemen pada tahun 1662 (Clapham, 1957). Sejak saat itu badan 
usaha ini makin populer karena merangsang kreativitas dan keberanian para 
pengusaha dalam menekuni bisnis. Bahkan  jenis badan usaha ini pula yang 
kemudian mengembangkan beberapa jalan raya dan kereta api ternama di Inggeris 
pada tahun 1780-1790-an dan 1830-1840-an (Reekie, 2000; 176).  

G. Generalisasi-generalisasi Ilmu Ekonomi  
1. Skarsitas 
Kelangkaan (skarsitas) akan barang dan jasa timbul apabila kebutuhan (keinginan) 
sesorang ataupun masyarakat akan lebih besar daripada tersedianya  barang dan 
jasa tersebut. Dengan demikian  kelangkaan akan muncul apabila tidak cukup  
barang dan jasa tersedia untuk memenuhi kebutuhan. 

2. Produksi 
Dalam sistem perekonomian modern,  berlangsung berbagai aktivitas  produksi 
yang sangat banyak dan beragam. Dalam masyarakat agraris, aktivitas pertanian 
menggunakan pupuk, benih, tanah, dan tenaga kerja yang menghasilan beras dan 
jagung. Dalam masyarakat industri, pabrik-pabrik modern menggunakan bahan 
mentah, energi, mesin, tenaga kerja untuk menghasilkan televisi, komputer, mobil, 
telpon dan sebagainya. Begitu juga dalam dunia usaha penerbangan, banyak 
menggunakan pesawat terbang, bahan bakar, tenaga kerja, dan sistem  reservasi 
terkomputerisasi sehingga penumpang memungkinkan untuk melakukan traveling 
ke berbagai rute penerbangan dengan  metode kerja yang cepat dan modern. 
Dengan demikian semuanya ini berusaha untuk  berproduksi secara efisien atau 
dengan biaya yang serendah-rendahnya. Dengan kata lain mereka selalu berusaha 
untuk berproduksi pada tingkat  output yang maksimum dengan menggunakan 
sejumlah input tertentu. 

3. Konsumsi 
Konsumsi selalu merupakan satu-satunya unsur GNP yang terbesar dari seluruh 
pengeluaran. Untuk itu alat pokok dalam analisis ini adalah bagaimana mengaitkn 
pengeluaran untuk konsumsi dengan tingkat pendapatan disposable konsumen. 
Akan tetapi perbandingan konsumsi dan pendapatan tersebut tidaklah selalu linier, 
karena  ada batas tambahan uang yang  dibelanjakan untuk makanan, di mana 
orang tidak bisa makan makin banyak  dan makin enak terus searah dengan 
peningkatan pendapatannya. Maka mulai batas tersebut proporsi dari seluruh 
pengeluaran untuk makanpun mulai menurun atau sebaliknya kecenderungan 
tabungan semakin menaik. 

4. Investasi 
Kenaikan investasi dapat mendorong kenaikan pendapatan. Proses kenaikan 
pendapatan sebagai akibat kenaikan investasi dapat dikemukakan sebagai berikut. 
Injeksi dana investasi memungkinkan produsen menghasilkan barang dan jasa 
yang lebih banyak. Untuk itu ia akan membeli faktor produksi yang lebih banyak 
lagi. Sebagai akibatnya  pendapatan yang diterima konsumen meningkat. 30 

Kenaikan pendapatan konsumen tersebut akan mendorong mereka menambah 
konsumsi, tabungan atau keduanya.  

5. Pasar 
Dalam sebuah sistem ekonomi pasar, tidak ada individu maupun organisasi yang 
secara seorang diri bertanggung jawab atas penetapan harga, produksi, konsumsi, 
dan distribusi, Khusus untuk harga, yang menggambarkan kesepakatan antara 
orang dan perusahaan yang dengan sukarela melakukan pertukaran berbagai 
komoditas. Di samping itu harga juga merupakan sinyal bagi produsen dan 
konsumen. Harga juga mengkoordinasikan  keputusan-keputusan para produsen 
dan konsumen dalam sebuah pasar. Harga-harga yang lebih tinggi cenderung 
mengurangi pembelian konsumen dan  mendorong produksi. Harga-harga yang 
lebih rendah mendorong konsumsi dan menghambat produksi. Harga adalah roda 
penyeimbang dari mekanisme pasar. 

6. Uang 
Uang pada hakikatnya adalah segala sesuatu yang dapat dipakai/diterima untuk 
melakukan pembayaran baik barang, jasa, maupun utang. Dengan demikian secara 
umum uang dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang secara umum 
mempunyai fungsi; (1) sebagai alat tukar-menukar; (2) sebagai alat penyimpan 
kekayaan; (3) sebagai alat pengukur nilai. 

7. Letter of Credit 
Sistem pembayaran yang paling aman dipandang dari sudut kepentingan eksportir 
dan importir adalah apa yang disebut “Letter of Credit”. Sebab dengan sistem 
Letter of Credit tersebut dapat memudahkan pelunasan pembayaran transaksi 
ekspor, mengamankan dana yang disediakan importir dalam pembayaran barang 
impor, dan menjamin kelengkapan dokumen pengapalan. 

8. Neraca Pembayaran 
Suatu negara dalam mempertimbangkan langkah-langkah guna menyeimbangkan 
neraca pembayaran, negara yang bersangkutan harus memfokuskan diri pada 
neraca transaksi berjalan jika ia menginginkan berfungsinya perekonomian riil, 
dan (jika sedang defisit)  ingin menghindari penurunan  terus-menerus atas nilai 
tukar mata uangnya 

9. Bank dan Perbankani 
Bank sentral  pada dasarnya mempunyai tugas untuk memelihara supaya sistem 
moneter bekerja secara efisien, sehingga dapat menjamin tercapainya tingkat 
pertumbuhan kredit/uang beredar sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai 
pertumbuhan ekonomi tersebut tanpa mengakibatkan inflasi yang berarti. Untuk 
mencapai tujuan tersebut, bank sentral bertanggungjawab atas: (1) perumusan 
serta pelaksanaan kebijaksanaan moneter; (2) mengatur dan mengawasi serta 
mengendalikan sistem moneter. 
  
 31 

10 .Koperasi 
Beberapa kasus yang banyak terjadi kurang majunya sistem ekonomi koperasi di 
Indonesia, pada umumnya disebabkan  masih rendahnya kesadaran berkoperasi 
serta kurangnya etos yang berdisiplin  baik di tingkat pengurus maupun para 
anggotanya. 

11. Kebutuhan Dasar 
Kebutuhan-kebutuhan dasar itu tidak cukup lagi didefinisikan  hanya dengan 
mengacu kepada kebutuhan-kebutuhan fisik individunya saja, melainkan harus 
melibatkan syarat-syarat fisik serta layanan lainnya yang jelas-jelas dibutuhkan 
oleh komunitas lokal. Penguraian  kebutuhan dasar tersebut bergantung pada 
beberapa asumsi mengenai berfungsinya dan berkembangnya masyarakat. 

12. Kewirausahaan 
Suatu hal yang menarik untuk dikaji  lebih jauh, banyak wirausahawan yang 
sukses adalah para pendatang atau  imigran yang walaupun dengan semangat 
kantong kosong, anggota kelompok minoritas keagamaan yang militan jauh lebih 
berhasil dibanding kelompok lain (Casson, 2000: 298). 

13. Perpajakan 
Tradisi membayar  pajak tepat pada waktunya sebagai bagian integral dalam 
mentaati perundangan yang berlaku, tidaklah mudah untuk dilaksanakan karena 
memerlukan suatu tingkat kesadaran yang tinggi dan terjalin kuat rasa saling 
percaya mempercayai antara rakyat dengan pemerintah yang ada. Namun bagi 
sejumlah pemerintahan yang tidak transparan, korup, dan tidak accountable akan 
sulit menumbuhkan kesadaran bagi  rakyatnya untuk mematuhi undang-undang 
perpajakan tersebut.  

14. Periklanan 
Pengaruh  periklanan, tidak lagi terbatas pada efek-efek ekonomi, melainkan 
meluas ke berbagai bidang dan tidak selalu positif tetapi juga negatif. Dalam 
bidang komunikasi sosial, iklan juga  berperan sebagai lokotif komunikasi sosial. 
Ia mencoba menarik para konsumen dengan dimensi-dimensi yang tidak 
berhubungan langsung dengan promosi barang-barang tersebut, seperti dimensi 
identitas individual, kelurga, maupun  kelompok, kepuasan/kebahagiaan, gender, 
dan sebagainya (Leiss: 1990). 

15. Perseran Terbatas  
Badan usaha perseroan terbatas yang memiliki ciri-ciri independensi yang tinggi 
serta dapat mngabaikan risiko utang bagi pemilik berani  berekspansi secara 
maksimal selama masih ada pihak yang  mau memberikan pinjaman usahanya 
(Reekie, 2000: 176).   



 32 

H. Teori-teori Ilmu Ekonomi 
Teori ekonomi makro adalah teori ekonomi yang membahas masalah-
masalah ekonomi secara keseluruhan, secara besar-besaran, menyangkut 
keseluruhan sistem dan organisasi ekonomi. Dalam ekonomi makro dibhas teori-
teori yang bersifat umum dari gejala-gejala ekonomi keseluruhan. Hal ini terutama 
menyangkut peristiwa-peristiwa ekonomi yang berhubungan  dengan tingkat 
harga umum; keseluruhan permintaan dan penawaran  yang berkaitan dengan 
jumlah penduduk dan jumlah produksi masyarakat keseluruhan. Jumlah 
kesempatan kerja dan lapangan kerja serta penempatan kerja dari seluruh tenaga 
kerja yang ada dalam masyarakat. Jadi teori ekonomi makro membahas 
keseluruhan  gejala dan peristiwa dalam kehidupan ekonomi, hubungannya satu 
sama lain  baik yang bersifat hubungan kausal maupun hubungan fungsional. 
Berbeda dengan teori mikro, yang merupakan  suatu teori yang membahas 
peristiwa atau hubungan-hubungan kausal  dan fungsional antara beberapa 
peristiwa ekonomi yang bersifat khusus. Pengertian khusus di sini adalah pada 
kajian-kajian yang lebih terbatas (spesifik) seperti pada; orang tertentu, keluarga 
tertentu, perusahaan tertentu, dan sebagainya. Dengan demikian pokok kajian 
utama pada teori mikro tersebut terbatas pada kebutuhan, barang dan jasa, harga, 
upah, pendapatan, dari suatu organisme ekonomi dalam lingkup rumah-tangga, 
keluarga ataua perusahaan (Chourmain dan Prihatin, 1994: 19). 

1. Teori  Ekonomi Klasik Adam Smith  
 Teori ini merupakan karya Adam Smith yang dituangkan dalam buku An 
Inquiry into Nature and Causes of the Wealth of Nations  (1776). Smith adalah 
seorang Guru besar Falsafah Moral di Universitas Glasgow yang memusatkan 
perhatiannya kepada persoaan-persoalan umum, yaitu bagaimana menciptakan 
kerangka politik dan sosial yang  mendorong pertumbuhan ekonomi secara 
swasembada (Jhingan, 1994: 138; Sastradipoera, 2001). Adapun pokok-pokok 
pikiran dari teori sebagai berikut: 
a.  Kebijaksanaan Pasar Bebas:  dalam arti tercapainya suatu keterlibatan 
pemerintah yang minimum untuk mencapai  suatu bentuk ‘persaingan yang 
sempurna’, maka secar otomatis harus bebas atau seminimal mungkin campur 
tangan pemerintah. Karena itu semboyannya the best government governs the 
least. Sebab teori berasumsi bahwa yang akan memaksimumkan pendapatan 
nasional adalah “tangan-tangan yang tak kelihatan”.  
b.  Keuntungan, Merangang bagi Investasi; Menurut pandangan teori ini bahwa 
keuntungan itu merangsang investasi. Artinya semakin besar keuntungan, 
akan semakin besra pula akumulasi modal dan investasi. 
c.  Keuntungan Cenderung Menurun: Artinyakeuntungan tidak akan naik secara 
terus –menerus, namun cendrung menurun apabila persaingan untuk 
menghimpun modal antarkapitalis meningkat. Alasannya adalah, dengan 
menaiknya upah  sebagai akibat persaingan antar kapitalis. Sementara upah 
dan sewa naik karena naiknya harga-harga pangan. Hal ini mendapat 
pembenaran juga dari Ricardo. 
d.  Keadaan Stationer;    Para ahli ekonomi klasik meramalkan akan timbulnya 
keadaan  stationer pada akhir proses pemupukan modal. Sekali keuntungan 33 

mulai menurun, proses ini akan berlangsung terus sampai  keuntungan 
menjadi nol, pertumbuhan enduduk dan pemupukan modal terhenti, dan 
tingkat upah  mencapai tingkat kebutuhan hidup minimal. 

2  Teori  Tahap-tahap Pertumbuhan Ekonomi Modernisasi Menurut Rotow 
Mungkin teori pertumbuhan Ekonomi Modernisasi yang paling terkenal 
adalah teori dari ekonom W.W. Rostow yang ditulis dalam bukunya The Stage of 
Economic Growth : A Non-Communist Manifesto (1960) dan juga dalam  The 
Process of Economic Growth (1953), yang kajiannya secara memakai pendekatan 
sejarah dalam menjelaskan proses perkembangan ekonomi. Menurut Rostow, 
perkembangan ekonomi suatu masyarakat meliputi lima tahap perkembangan; (1) 
tahap masyarakat tradisional; (2) tahap prakondisi tinggal landas; (3) tahap 
tinggal landas; (4) tahap maturity (kematangan):; (5) tahap konsumsi massa 
tinggi atau besar-besaran. 
a. Tahap Teadisional; Masyarakat tradisional diartikan sebagai ‘suatu masyarakat 
yang strukturnya berkembang  disepanjang fungsi produksi berdasarkan ilmu 
pengetahuan dan teknologi pra-Newtonian: zaman  dinasti-dinasti Cina, 
Peradaban Timur Tengah dan daerah  Mediterania, dunia Eropa pada abad 
pertengahan (Rostow, 1960: 5). Dalam masyarakat ini pertanian masih 
mendominasi aktivitas ekonomi, dan kekuatan politik umumnya masih pada 
penguasa tanah. Ini tidak berarti pada  masyarakat ini tidak ada perubahan 
ekonomi. Sebenarnya banyak tanah dapat digarap, skala dan pola perdagangan 
dapat diperluas, manufaktur dapat dibangun dan produktivitas pertanian dapat 
ditingkatkan sejalan denan pertambahan pendudukk yangnyata. Namun fakta 
menunjukkan bahwa keinginan untuk menggunakan ilmu pengetahuan dan 
teknologi modern secara teratur dan sistematis basih bertumbuk dengan suatu 
batas (pagu) yaitu “tingkat output” perkapita yang dapat dicapai. Selain itu 
struktur sosial  masyarakat seperti itu berjenjang; hubunganb dan keluarga 
memainkan peranan yang menentukan (Jhingan, 1994: 180). 
b.  Tahap pra-kondisi tinggal landas:  Pada tahap ini merupakan masa transisi di 
mana persyarat-prasyarat pertumbuhan swadaya dibangaun atau diciptakan. Di 
Eropa Barat sejak akhir abad ke 15  dan awal abad ke-16 menempatkan  
kekuatan “penalaran” (reasoning) dan “ketidakpercayaan” (skepticism) yang 
merupakan  pengaruh empat kekuatan (Renaissance, Kerajaan Baru, Dunia 
Baru dan Agama Baru atau Protestan), sebagai pengganti “kepercayaan” 
(faith) dan “kewenangan” (authority) mengakhiri feodalisme dan membawa 
ke kebangkitan negara kebvangsaan, menanamkan semangat  pengembaraan 
yang yang menghasilkan berbagai penemuan dan dominannya kaum borjuasi 
dalam dunia usaha. Manusia-manusia baru yang mau bekerja keras muncul 
memasuki sector ekonomi swasta, pemerintah atau dua-duanya, manusia baru 
yang bersemangat menggalakkan tabunbungan dan berani mengambil risiko 
dalam mngejar keuntungan. Bank dan  lembagai lain bermunculan untuk 
mengerahkan modal, sehingga investasi meningkat di berbagai dibidang; 
pengangkutan, perhubungan dan bahan mentah yang memiliki daya tarik 
ekonomis bagi bangsa lain. Jangkauan perdagangan dari dalam dan luar negeri 34 

menjadi makin luas. Di mana-mana muncul perusahaan manufacturing yang 
menggunakan metode baru (Rostow, 1960: 6-7). 
c.  Tahap Tinggal Landas: Merupakan masa awal yang menentukan di dalam 
suatu kehidupan  masyarakat  
“ketika pertumbuhan mencapai  kondisi normalnya… kekuatan 
modernisasi berhadapan dengan adat istiadat  dan lembaga-
lembaga. Nilai-nilai dan kepentingan  masyarakat tradisional 
membuat terobosan yang menentukan ;  dan kepentingan 
bersama membentuk struktur masyarakat tersebut. … bahwa 
pertumbuhan biasanya  berjalan menurut deret ukur, seperti 
rekening tabungan yang bunganya dibiarkan  bergabung dengan 
simapanan pokok,… revulusi industri yang bertalian  secara 
langsung dengan  perubahan radikal di dalam metode produksi 
yang dalam jangka waktu relatif singkat menimbulkan 
konsekuensi yang menentukan (Rostow, 1960: 9-11). 

c. Tahap Kematangan (Maturity): Rostow mendefinisikan merupakan  tahapan 
ketika masyarakat telah dengan efektif menerapkan  serentetan teknologi 
modern terhadap keseluruhan sumberdaya mereka.  Masa ini juga merupakan 
suatu tahap pertumbuhan swadaya jangka panjang yang merentang melebihi 
masa empat dasawarsa. Teknik produksi baru menggantikan teknik yang lama. 
Berbagai sektoir penting baru tercipta. Tingkat investasi neto lebih dari 10 % 
dari pendapatan nasional. Dan, perekonomian mampu menahan  segala 
goncangan yang tak terduga. Dalam hal  ini Rostow memberikan bukti-bukti 
simbolik kematangan teknologi pada negara-negara industri seperti; Inggeris 
(1850), Amerika Serikat (1900), Jerman (1910), dan Prancis (1910), Swedia 
(1930), Jepang (1940), Rusia (1950); Kanada (1950) (Jhingan, 1994: 187). 
f. Tahap Konsumsi Masa Tinggi atau Besar-besaran: Merupakan suatu masa yang 
ditandau dengann pencapaian banayk sektoir penting (leading sector) dalam 
perekonomian berubah menuju produksi barang dan jasa konsumsi. Abad 
konsumsi besar-besaran juga ditandai dengan  migrasi ke pinggiran kota, 
pemakaian mobil secara luas, barang-barang konsumen dan peralatan rumah 
tangga yang tahan lama,  Pada tahap ini “keseimbangan perhatian masyarakat 
beralih dari penawaran ke permintaan,  dari persoalan produksi ke persoalan 
konsumsi dan kesejahteraan dalam arti  luas”. Tetapi ada tiga kekuatan yang 
nampak dalam tahap purna dewasa ini, yaitu:  Pertama, penerapan 
kebijaksanaan  guna meningkatkan kekuasaan dan pengaruh  melampaui 
batas-batas nasional;  Kedua,  ingin memiliki suatu negara kesejahteraan 
dengan pemerataan pendapatan nasional  yang lebih  adil melalui pajak 
progresif, peningkatan jaminan sosial, dan fasilitas hiburan  bagi para pekerja; 
Ketga, keputusan untuk membangun  pusat perdagangan dan sector penting 
seperti  mobil, rumah murah, berbagai peralatan rumah tangga yang 
menggunakan listrik, dan sebagainya (Jhingan, 1960: 114). 


 35 

3. Teori  Dampak Balik dan Dampak Sebar Menurut Myrdal 
Gunnard Myrdal seorang ahli ekonomi Swedia dan pejabat pada 
Perserikatan Bangsa-bangsa, terkenal dengan tulisannya  Economic Theory and 
Underdeveloped Regions (1957), dan Asian Drama: An Inquiry  into the Poverty 
of Nations (1968),  berpendapat bahwa pembangunan ekonomi menghasilkan 
suatu proses sebab-menyebab sirkuler yang membuat si kaya mendapat 
keuntungan semakin banyak, dan mereka yang tertinggal di belakang menjadi 
semakin terhambat. Dampak balik (Blackwash effects) cenderung mengecil. 
Secara kumulatif kecenderungan ini semakin memperburuk ketimpangan 
internasional dan menyebabkan ketimpangan regional di antara negara-negara 
terbelakang. Sebaliknya di negara terbelakang proses kumulatif dan dsirkuler juga 
dikenal istilah “lingkaran setan kemiskinan”., berjalan menurun, dan karena tidak 
teratur menyebabkan meningkatnya ketimpangan  Myrdal yakin bahwa  bahwa 
“pendekatan teretis yang kita warisi” tidak cukup menyelesaikan  problem 
ketimpangan ekonomi tersebut.  Teori perdagangan internasional dan tentu saja 
teori teori ekonomi secara umum, tidak  pernah disusun  untuk menjelaskan 
realitas keterbelakngan dan pembngunan ekonomi (Myrdal; 1957). 
Tesis Myrdal, ia membangun dari suatu keterbelakngan dan pembangunan 
ekonominya di sekitar ketimpangan regional pada taraf nasional dan internasional. 
Untuk itu ia menjelaskan hal-hal sebagai berikut: 
a.  ‘Dampak Balik’, adalah  semua perubahan yang bersifat  merugikan dari 
ekspansi ekonomi suatu tempat, karena sebaba-sebab di luar tempat itu, atau 
juga bisa disebut  dampak migrasi. Yang merupakan perpindahan modal dan 
perdagangan serta keseluruhan dampak yang timbul dari proses-proses  
sebab=musebab sirkuler antara faktor-faktor ekonomi dan nonekonomi. 
b.  Sedangkan ‘Dampak Sebar’ menunjuk pada dampak momentum 
pembangunan  yang menyebar secara sentrifugal dari pusat pengembangan 
ekonomi ke wilyah-wilayah lainnya.  “Sebab utama ketimpangan regional 
adalah kuatnya dampak balik dan lemahnya dampak sebar di negara-negara 
terbelakang. 
c.  Ketimpangan Regional; terjadi lebih banyak berakar pada  dasar non-ekonomi 
yang berkaitan erat dengan sistem kapitalis yang dikendalikan oleh motif laba, 
di mana terpusat di wilayah-wilayah (negara-negara) yang memiliki harapan-
laba tinggi. Penyebab  gejala ini oleh peranan bebas kekuatan pasaryang 
cenderung memperlebar ketimpangan regional. Karena produksi, industry, 
perdagangan, perbankan, asuransi,  perkapalan cenderung mendatangkan 
keuntungan bagi wilayah maju (Myrdal, 1957: 26). 
d.  Dampak balik  dan dampak sebar  ini dalam laju perkembangannya  tidak 
mungkin berjalan seimbang. Karena pertama, ketimpangan regional jauh lebih 
besar di negara-negara miskin daripada di negara-negara kaya. Kedua,  di 
negara-negara miskin ketmpangan regional semakin mlebar sedangkan di 
negara maju menyempit.  Hal ini disebabkan oleh  semakin tinggi tingkat 
pembangunanekonomi yang sudah dicapai suatu negara, biasanya semakin 
kuat pula dampak sebar yang akan terjadi.  Mengingat pembangunan tersebut 
disertai oleh transportasi dan komunikasi yang makin baik, tingkat pendidikan 
makin tinggi dan semakin dinamis antara ide dan nilai yang kesemuanya 36 

cenderung memperkuat daya-sebar sentrifugal tesebut dan cenderung melunak 
hambatan-hambatannya. Dengan demikian sekali suatu negara berhasil 
mencapai tingkat pembangunan yang  tinggi, pembangunan ekonomi akan 
menjadi suatu proses yang berjalan otomatis. Sebaliknya, sebabutama 
keterbelakangan terletak pada lemahnya dampak sebar, kuatnya dampak balik, 
sehingga dalam proses yang semakin menggumpal kemiskinan itu adalah 
penyebab yang berasal dari dirinya sendiri. 
e.  Peranan pemerintah;  Kebijaksanaan nasional sering memperburuk 
ketimpangan regional, terutama oleh peranan kekuatan pasar bebas dan 
kebijaksanaan liberalsebagai akibat lemahnya dampak sebar. Faktor lain yang 
merupakan penyebab ketimpangan regional di negara miskin adalah “lembaga 
feudal yang kokoh dan lembaga lainnya yang tidak egaliterserta struktur 
kekuasaan yang membantu si kaya menghisap si miskan (Myrdal, 1957: 28). 
Oleh karena itu pemerintah negra terbelakang, harus menerapkan 
kebijaksanaan yang adil dan egaliter. 
f.  Ketimpangan Internasional; Pada umumnya perdagangan internasional  
menguntungkan negara kaya dan memperlemah negara terbelakang.Sebab 
negara maju/kaya memiliki basis industri manufaktur yang kuat dengan 
dampak sebar yang kuat pula. Denngan mengekspor produk industri mereka 
yang merah ke negara terbelakang, mereka akan mematikan industri slkala 
kecil. Ini cenderung mengubah negara terbelakang menjadi produsen 
barang0barang primer untuk ekspor. Mengingat  permintaan akan barang-
barang ekspor inelastic (di pasar ekspor), maka  mereka menderita akibat 
fluktuasi harga menggila. Sebagai  konsekuensinya mereka tidak dapat 
mengambil untung dari naik turunnya harga barang di dunia ekspor. 
g.  Perpindahan modal; juga gagal menghapuskan ketimpangan internasional. 
Karena negara maju  lebih menjanjikan keuntungan dan jamninan bagi para 
investor, maka modal  akan semakin menjauhkan diri dari negara terbelakang. 
Modal yang mengalir ke negara terbelakang diarahkan sebagian besar kepada 
produksi  barang primer untuk ekspor, dan ini akan merugukan mereka karena 
dampak balik yang kuat. Apapun yang diinvestasikan pihak asing, akan 
meningkatkan dampak balik yang domain serta tidak menjadi pemecah 
masalah dalam ketimpangan internasional (Jhingan, 1994: 274). 

4. Teori Nilai Surplus Karl Marx  
Karl Marx adalah seorang filosof Jerman (1818-1883) yang di mata para 
ekonom Barat adalah seorang agitator yang telah  membangkitkan persatuan 
kalangan kaum buruh dan intelektual selama lebih dari seabad yang telah merasa 
dirugikan oleh kapitalisme pasar dan sekaligus sebagai penjerumus ekonomi ke 
abad kegelapan baru Kemudian ia  menghancurkan ikatan kapitalisme dan 
mengoyak-oyak dasar-dasar sistem kebebasan natural Adam Smith (Skousen, 
2005: 163-164). 
Sesuai dengan sub-judul di atas, pada kajian teori ”Nilai surplus” di sini 
tidak  akan dibahas tentang peranan Karl Marx di bidang filsafat sejarah, politik, 
maupun komunisme, serta alienasi. Adapun pokok pikiran yang dituangkan Marx 
dalam teori nilai surplus tersebut, dapat dikemukakn sebagai berikut: 37 

1.  Jika tenaga kerja adalah  satu-satunya penentu nilai,  lalu ke mana profit dan 
bunganya? Marx menyebut profit profit dan bungany itu sebagai “nilai 
surplus”. 
2.  Oleh karena itu ia berkesimpulan bahwa kapitalis dan pemilik tanah adalh 
pihak yang mengeksploitasi para pekerja. 
3.  Jika semua nilai adalah  produk dan tenaga kerja, maka semua profit yang 
diterima adalah oleh kapitalis dan pemilik tanah pastilah merupakan  “nilai 
surplus” yang diambil secara tidak adildari pendapatan kelas pekerja. 
4.  Adapun rumus matematisnya  untuk teori nilai surplus tersebut, dapat 
dikemukakan sebagai berikut: “Bahwa tingkat prpit (p) atau eksploitasi adalah 
sama dengan nilai surplus (s) dibagi dengan nilai produktif akhir (r). Dengan 
demikian: 
                p = s/r 
      Misalkan; andaikata pabrik pakaian memperkerjakan buruh ntuk 
membuat baju. Sedangkan kapitalis menjual bajunya serga $ 100 per/buah, 
tetapi ongkos tenaga kerja adalah $ 70 per / baju. Karena itu tingkat profit atau 
eksploitasinya adalah: 
                p = $ 30 / $ 100 = 0,3,  atau 30 persen 
5.  Marxmembagi  nilai produk akhir menjadi dua bentuk kapital  (modal) yakni 
kapital  konstan (C) dan  kapital varibel (V). Kapital konstan 
merepresentasikan pabrik dan peralatan. Kapital adalah biaya tenaga kerja. 

               Jadi, persamaan untk tngkat profit menjadi: 
               p = s (v   c) 

5. Teori Monetarisme Pasar Bebas Friedman  
Milton Friedman lahir pada 1912 di Brooklyn, satu-satunya anak lelaki 
dari empat bersaudara imigran Yahudi  Eropa Timur bekerja serabutan di New 
York. Pada tahun 1932 saat depresi Friedman dapat beasiswa untuk belajar 
ekonomi di University of Chicago.. Di samping ia betemu dengan rekannya 
George Stigler seumur hidupnya, dia juga di Chicago bertemu Rose Director, 
yang kelak menjadi istrinya. Dan, tahun  1938 Friedman menikah dengan Rose, 
mereka menjadi rekan dan bersama-sama menulis beberapa buku, serta dikaruniai 
dua anak. Friedman mendapat gelar master tahun 1933. Kemudian tahun 1946 
Friedman memperoleh gelkar Ph.D. dari Columbia, dan ia kembali mengajar di 
University of Chicago, bahkan melanjutkan tradisinya memperkuat versi terbaru 
dari teori kuantitas uang Irving Fisher, yang diterapkannya pada kebijakan 
moneter. Dia menulis banyak topik yang berkaitan dengan  ekonomi moneter, dan 
berpuncak pada riset dan tulisan  empirisnya yang palin terkenal, ”A Monetary 
History of the United States   1867-1960” yang dipublikasikan oleh  National 
Bureau of Economic Research  dan ditulis bersama Anna J.Schwartz (1963). Pada 
intinya studi monumental ini menunjukkan kekuatan uang dan kebijakan moneter 
dalam gejolak perekonomian Amerika Serikat, termasuk Depresi Besar dan era 
pascaperang, ketika para ekonom arus utama percaya bahwa ”uang tidak penting”. 
Kemudian ia juga menulis buku Capitalism and Freedom  yang diluncurkan pada 
ulang tahun perkawinan Friedman dan Rose  ke-25. 38 

Inti teorinya sebagai berikut: 
a.  Metodologi Positivisme; menurut Friedman validitas suatu teori tidak 
tergantung pada unsur generalisasinya maupun kekokohan asumsi-asumsi 
dasarnya, melainkan semata-mata pada  kesesuaian implikasi-implikasinya 
secara relatif terhadap implikasi teori-teori lain, yang diukur berdasarkan 
statistik primer. 
b. Pasar dianggap sebagai mekanisme utama dalam menyelesaikan berbagai 
masalah ekonomi, asalkan didukung kebebasan politik intelktual ; para 
ekonom aliran Chicago melihat perekonomian sebagai suatu kondisi perlu , 
namun bukan ondisi cukup untuk menciptakan masyarakat bebas; 
c.   Aturan moneter yang ketat  lebih disukai untuk pengambilan keputusan yang 
diskret oleh otoritas pemerintah. ”Setiap sistem yang memberi banyak 
kekuasaan  dan banyak keleluasaan bagi  segelintir orang di mana kekeliruan 
mereka entah itu disengaja atau tidak ⎯ bisa menimbulkan efek yang luas 
adalah sistem yang buruk” (Friedman, 1982: 50). 
d.  Ia lebih menekankan pada kebijakan moneter. Q, kuantitas uang jauh lebih 
penting daripada P. ”Opininya yang  segar dan sangat berbeda” dengan opini 
Fisher dan Simons datang seperti ”kilatan tiba-tiba”, baginya ”aturan dari 
sudut pandang kuantitas uang jauh lebih unggul, baik itu untuk jangka pendek 
maupun jangka panjang, ketimbang aturan dari sudut pandangstabilisasi 
harga” (Friedman, 1969: 84). 
e.  Pengelolaan administratif dan intervensi kebijakan ekonomi yang bersifat ad 
hoc hanya  akan merusak situasi ekonomi; dalam soal kebijakan moneter dan 
fiskal, ia menekankan pentingnya kesinambungan; 
f.  Ia menolak standar emas sebagai  numeraire moneter dengan dua alasan. 
Pertama, biaya  resources-nya yang tinggi, dan  kedua implementasinya yang 
tidak praktis. Selain itu produksi emas jarang dapat mengimbangi 
pertumbuhan ekonomi dan karena itu bersifat deflasioner. ”Betapa absurdnya  
menyia-nyiakan sumber daya untuk menggali tanah mencari emas, hanya 
untuk menguburkannya  lagi di kolong Fort Knox, Kentuky”. 
g.   Monetarisme jauh lebih baik daripada fiskalisme dalam regulasi 
makroekonomi. 
h.  Kebijakan fiskal baginya diyakini sebagai  wahana yang tepat untuk 
mengentaskan kemiskinan, namun redistribusi pendapatan bagi kalangan  di 
atas garis kemiskinan justru akan lebih banyak menimbulkan kerugian, serta; 
i.  Imperialisme disipliner yang menonjolkan penerapan analisis ekonomi oleh 
para ekonom terhadap semua bidang yang biasanya dianggap sebagai disiplin 
lain/luar seperti sejarah, politik, hukum, dan sosiologi. 







 39 

DAFTAR PUSTAKA 

Abdullah, (1992)  Materi Pokok Pendidikan IPS-2: Buku 1, Modul 1, Jakarta: 
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , PPPG Tertulis. 

Albion, P. dan Farris, M. (1981) The Advertising Controversy, Boston, MA. 

Alchian, A.A. (1961) ”Some economics of property rights” dalam A.A. Alchian, 
Economics Forces at Work, Indianapolis, I.N:. 

Amir, M.S. (1996) Letter of Credit Dalam Bisnis Ekspor Impor, Jakarta: Lembaga 
Manajemen PPM dan Penerbit PPM. 

Arrow.K.J. (1963) Social Choice  and Individual Value, Edisi Kedua, Cambridge: 
United Kingdom.. 

Asimakopulos, A. (2000) Ekonomi Mikro” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica, 
(ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris 
Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn. 660-661. 

Atkinson, A.B. dan Stiglitz, J.E.(1980)   Lectures on Public Economic, 
Maidenhead. 

Bliss. Christopher (2000) “Ilmu Ekonomi” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica, 
(ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris 
Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn. 272-277.. 

Blumberg, Rae Leeser (1978) Stratification: Sicioeconomic and Sexual Inequality, 
Dubuque, Iowa: Brown. 

Boland, Lawrence, A. (2000) “Ekonomi  Neo-Klasik” dalam Kuper, Adam & 
Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan 
Oleh Haris Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn.700-701. 

Britton, Andrew (2000) “Kebijakan Makroekonomi” dalam Kuper, Adam & 
Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan 
Oleh Haris Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn.595-597. 

Bronffenbrenner, Martin, (2000) “Aliran Chicago” dalam Kuper, Adam & Kuper, 
Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh 
Haris Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn 103-104. 

Brown, C.V. (2000) “Perpajakan” dalam  Kuper, Adam & Kuper, Jesica, (ed) 
(2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar 
dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm, 1082-1083. 
 40 

Casson, Mark, (2000) “Entrepreneurship (Kewirausahaan)” dalam Kuper, Adam 
& Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan 
Oleh Haris Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm, 297-298. 

Casson, Mark (1982) The Entrepreneur: An Economic Theory, London: Allen dan 
Unwin. 

Choumain, Imam dan Prihatin (1994)  Pengantar Ilmu Ekonomi, Proyek 
Pembinaan dan Peningkatan Mutu  Tenaga Kependidikan, Direktorat 
Jenderal Pendidikan Tinggi  Jakarta: Depdikbud 

Clapham, J. (1957)  A Concise Economic History of Britain from the Earliest 
Times to 1750. Cambridge, UK: Cambridge University Press. 

Coase, R.H. (1937) “The Nature of the Firm”, dalam Economica, 4.  

Cochrane, A.L. (1971) Effectiveness and Efficiency, London: Allen dan Unwin. 

Coleman, J.S. (1990) Foundations of Social Theory, Cambridge, MA: Cambrige 
university Press. 


Eatwell, John , et.al (1987) The Palgrave: A Dictionary of Economics, London: 
McMillan Press Limited. 

Eggerstson, Thrainn, (2000) “Ekonomi  Institusional” dalam Kuper, Adam & 
Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan 
Oleh Haris Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm 501-503. 

Estrin, Saul (2000) “Koperasi” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica, (ed) (2000) 
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk,  
Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm 174-176. 

Fletcher, G.A (1989)  The Keynesian Revolution and its Critics, London: 
Macmillan. 

Fried, Morton,H. (1967) The Evolution of Political Society, New York: Random 
House. 

Friedman, Milton (1982)  Capitalism and Freedom, Chicago:  University of 
Chicago Press. 

Friedman, Milton (1969)  The Optimum Quantity of Money and Other Essay, 
London: Macmillan. 
 41 

Fudenburg, D. dan Tirole, J. (1991)  Game Theory, Cambridge: Cambridge 
University Press. 

Hessen, R. (1979) In Defense of The Corporation, Stanford, CA. 

Hicks, J.R. (1969) “Preface and Manifesto” dalam K.J. Arrow dan T. Scitovsky 
(eds) Reading in Welfare  Economic, London. 

Hirst, Paul (2000) “Sosialisme” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica, (ed) (2000) 
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk,  
Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm, 1012-1014. 

Hughes, Gordon, (2000) “Ekonomi Matematematik” dalam Kuper, Adam & 
Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan 
Oleh Haris Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada,hlmn.630-631. 

Jhally, Sut (2000) “Periklanan” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica, (ed) (2000) 
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk,  
Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm, 7-9. 

Jhingan, M.L. (1994) Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan,  Diterjemahkan 
Oleh D. Guritno, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 

Keynes, John Maynard (1973[1936] The General Theory of Employment, Interest, 
and Money, London: Macmillan. 

Kline, S, (1994) Out of the Garden, London: Harper & Row, Publisher. 

Landes, D. (1968)  The Unbound Prometheus, Cambridge, UK. Cambridge 
University Press. 

Ledyard, J. (1995) “Public Goods: a survey of experimental research, dalam J. 
Kagel dan A.E. Roth (eds) Handbook of Experimental Economics, 
Pricenton, N.J. 

Leijonhufvud, Axel (1968)  On Keynesian Economics and the Economics of 
Keynes, Oxford: Oxford University Press. 

Leiss, W., Kline, S., dan Jhally, S. (1990) Social Communication in Advertising, 
New York. 

Lipsey, Richard G. dan Steiner, Peter,O. (1981) Economics, New York: Harper & 
Row, Publisher. 
 42 

Maynard, Alan, (2000) “Ekonomi Kesehatan” dalam Kuper, Adam & Kuper, 
Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh 
Haris Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada,  hlm. 427. 

Metcalfe, J.S. (2000) “Ilmu Ekonomi Evolusioner” dalam  Kuper, Adam & 
Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan 
Oleh Haris Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada,  hlm. 324-326. 

Milgrom, P.. dan Roberts, J. (1992) Economics, Organization and Management, 
Englewood, Cliffs, N.J. 

Mokyr, J. (1991) The Lever of Riches, Oxford: Oxord University Press. 

Mullineux, Andy (2000) “Investasi” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica, (ed) 
(2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar 
dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada,  hlm. 522-524 

Myrdal, Gunnar (1968)  Asian Drama: An Inquiry into the Poverly of Nations, 
Harmondsworth: Penguin Books. 

Myrdal, Gunnar (1957) Economic Theory and Underdeveloped Regions, London: 
Duck Worth. 

Nopirin  (2000) Pengantar Ilmu Ekonomi Makro & Mikro, Edisi Pertama, 
Yogyakarta: BPFE. 

O’Brien, D.P. (2000) ”Ilmu Ekonomi Klasik” dalam  Kuper, Adam & Kuper, 
Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh 
Haris Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada,  hlm. 120-122 

Owen, Stuart (1979)  Captains of Consciosness, New York: Harper & Row, 
Publisher. 

Pearce, David, W. (2000) “Ekonomi Lingkungan” dalam Kuper, Adam & Kuper, 
Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh 
Haris Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn.300-301. 

Posner, R.A. (1994)  Economic Analysis of Law Edisi Keempat, Boston, MA.: 
Boston University Press. 

Reekie, W. Duncan (2000) “Perseroan Terbatas” dalam Kuper, Adam & Kuper, 
Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh 
Haris Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn.176-178. 
 43 

Revell, Jack (2000) “Perbankan” dalam  Kuper, Adam, & Kuper, Jesica, (ed) 
(2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar 
dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persaa, hlmn.58-60. 

Rostow,W.W. (1960)  The Stages of Economic Growth: A Non-Communist 
Manifesto, New York: Cambridge University Press.  

Rostow, W.W. (1953) The Process of Economic Growth, New York: Cambridge 
University Press. 

Roth, Alvin, A. “(2000a) “Ilmu Ekonomi Eksperimental” dalam Kuper, Adam, & 
Kuper, Jesica, (ed) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh 
Haris Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn.333-334. 

Rooth, Alvin, A. (1995) “Introduction to experimental economics, dalam J.Kagel 
dan A.E. Roth (eds) Hanbbok of Experimental Economics, Pricenton, UK. 

Samuelson, Paul,A. dan Nordhaus, William,D. (2003)  Ilmu Mikroekonomi, Alih 
Bahasa: Nur Rosyidah, Annal Elly, dan Bosco Carvallo,  Jakarta: Media 
Global Edukasi. 

Samuelson, Paul,A. dan Nordhaus, William,D. (1990)  Ekonomi, Jilid 1, 
Diterjemahkan Oleh Jaka Wasana, Jakarta: Erlangga. 

Satradipoera, Komaruddin (2001) Sejarah Pemikiran Ekonomi: Suatu Pengantar 
Teori dan Kebijaksanaan Ekonomi, Bandung: Kappa-Sigma. 

Sastradipoera, Komaruddin (1991)  Uang: Di Negara Berkembang,  Jakarta: 
Penerbit Bumi Asara. 

Schelling, T.C. (1960)  The Strategy Conflict, Cambridge, MA. Cambridge of 
Universty Press. 

Shadily, Hasan (ed) (1980) Ensiklopedia Indonesia, Jakarta: balai Pustaka. 

Schumpeter, J.A. (1954)  History of Economic Analysis, New York : Oxford 
University Press. 

Schumpeter, J.A. (1950)  Capitalism, Socialism, and Democracy, New York: 
Oxford University Press. 

Sen, A.K. (1979) Collective Choice and Social Welfare, Amsterdam. 

Skousen Mark, (2005)  Sejarah Pemikiran Ekonomi Sang Maestro Teori-tori 
Ekonomi Modern: Sebuah Narasi Kritis Pergumulan Intelektual dan 44 

Kepedihan Sosial di dalam Menyelesaikan Masalah-masalh Ekonomi, 
Alih Bahasa Tri Wibowo Budi santoso, Jakarta: Prenada. 

Sunder, S. (1995) “Experimental asset markets: a survey “ dalam J.Kagel dan A.E. 
Roth, (eds) Hanbook of Experimental Economics, Pricenton, N.J. 

Sweeney, James, L. (2000) ‘Ekonomi Sumber Daya Alam” dalam Kuper, Adam 
& Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan 
Oleh Haris Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn   697-
698. 

Taylor, Mark (2000) ”Teori Makroekonomi” dalam Kuper, Adam & Kuper, 
Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh 
Haris Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn 597-599. 

Thirlwall, A.P. (2000a) “Neraca Pembayaran” dalam Kuper, Adam & Kuper, 
Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh 
Haris Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn 57-58.. 

Thirwall, A.P. (2000b) “Ilmu Ekonomi Aliran Keynes” dalam Kuper, Adam & 
Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan 
Oleh Haris Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn 531-532. 

Thurstone, L.L. (1931) “Thedifference function”, Journal of Social Psychology, 2. 

Townsend, Peter (2000) “Kebutuhan Dasar” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica, 
(ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris 
Munandar dkk,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn 61-62. 

Williams, R. (180) “Advertising: the magic system: dalam R. Williams (ed) 
Problems in Materialism and Culture, London. 

Winardi, (1987) Pengantar Ekonomi Moneter, Buku-1, Bandung: Tarsito. 

Label:
0 Responses

Posting Komentar


widgets