Gaya Kepemimpinan Perempuan Bagi Efektivitas Organisasi
Oleh: Sudarmo*
Abstract
It is argued that female leadership is more effective than male’s. This
argument exaggerates general belief on the female superiority to male. An
effective leader does not depend on femininity or masculinity but on the
capacity of the leader to make collective actions and networks with other stakeholders
rather than directive and assertive actions. In addition to the leader
capacity, there are five main factors, including leader choice and placement,
leadership training, incentive provision for the leader and subordinate’s
achievement, organizational management for environment change, and technology
that contribute to achieve organizational effectiveness.
1. Pendahuluan
Kepemimpinan
sering didefinisikan sebagai proses membuat orang lain terinspirasi untuk
bekerja keras dalam menyelenggarakan tugas-tugas penting (Schermerhorn, 1999).
Tetapi pengertian tersebut sering
dikaitkan dengan dasar-dasar bagi kepemimpinan yang efektif, yakni mendasarkannya pada cara seorang pemimpin
atau manajer menggunakan power untuk
mempengaruhi perilaku orang lain. Power
merupakan kemampuan untuk mempengaruhi orang-orang lain melakukan sesuatu
seperti yang diinginkan oleh seseorang yang menghendakinya (Kanter, 1979).
Karena itulah seringkali kepemimpinan atau leadership
didefiniskan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kelompok untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu (Robbins, 1998). Dalam
tulisan ini kepemimpinan lebih difokuskan pada kepemimpinan manajerial dalam
organisasi.
Tulisan
ini bermaksud untuk menelaah kebenaran mengenai gaya kepemimpinan perempuan
yang diargumentasikan lebih efektif dibandingkan gaya kepemimpinan laki-laki
dalam menciptakan efektivitas organisasi. Untuk kepentingan ini penulis
memanfaatkan data dokumenter, terutama melalui tinjauan sejumlah literatur
hasil penelitian maupun dukungan teoritis yang berkenaaan dengan judul tulisan
ini.
Argumen yang diajukan dalam tulisan ini adalah: memang ada kecenderungan
perbedaan dalam gaya kepemimpinan antara perempuan dan laki-laki karena
sifatnya, tetapi untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif sehubungan dengan
tujuan organisasi yang harus dicapainya, tidaklah cukup hanya karena sifat
perempuan atau karakteristik yang melekat pada dirinya, melainkan banyak faktor
lainnya yang ikut mempengaruhinya. Faktor-faktor lain yang harus
dipertimbangkan bagi efektivitas organisasi mencakup: pemilihan dan penempatan
pemimpin, pendidikan kepemimpinan, pemberian imbalan pada prestasi pemimpin dan
bawahan, teknik pengelolaan organisasi untuk menghadapi perubahan lingkungan,
dan teknologi.
2. Faktor Biologis bagi
Kepemimpinan
Tulisan Robbin (1998) melalui studi pustaka terhadap sejumlah literatur,
pada dasarnya masih mempertanyakan apakah perilaku seorang pemimpin dikarenakan
adanya hormon yang dikandung didalam tubuh dan otaknya. Akan tetapi, Ia
mengakui bahwa studi yang menunjukkan
bukti-bukti bahwa kepemimpinan memiliki akar biologis, semakin meningkat.
Dari tinjauan pustaka tersebut, para peneliti telah menemukan bahwa para
pemimpin yang efektif memiliki campuran biokimia yang unik antara hormon dan kimia otak yang membantu mereka membangun aliansi sosial dan
menangani stress. Dua jenis kimia, yakni serontonin dan testosteron, mendapat
perhatian serius oleh para peneliti sehubungan dengan isu kepemimpinan yang
efektif. Menurut para ahli, meningkatnya tingkat serontonin dapat memperbaiki
kemampuan melakukan sosialisasi dan mengontrol agresi. Semakin tinggi tingkat
testosteron semakin tinggi tingkat dorongan berkompetisi (Robbins, 1998).
Dalam pada itu, Robbins (1998) juga mengemukakan bahwa studi-studi oleh
sejumlah peneliti terhadap primata menemukan dua hal. Pertama, primata-primata yang
dominan (jantan maupun betina), memiliki tingkat serotonin yang lebih
tinggi ketimbang para anak buahnya. Kedua,
ketika para pemimpin tertusir dari kelompoknya, maka pemimpin baru yang
mengambil tanggung jawab kepemimpinannya memperlihatkan peningkatan tingkat
serotonin. Para peneliti yakin bahwa tingkat serotonin meningkatkan
kepemimpinan dengan mengontrol impuls-impuls agresi dan antisosial, maupun
mengurangi reaksi yang berlebihan terhadap stres-stres yang tidak relevan dan
tidak signifikan. Walaupun begitu penelitian ini masih belum jelas mengenai
arah hubungan sebab akibat dari kedua variabel tersebut. Masih dipertanyakan
apakah tingginya tingkat serotonin sebagai variabel yang menstimulasi
kepemimpinan ataukah justru variabel kepemimpinan itulah yang mengakibatkan
meningkatnya serotonin.
Penelitian tersebut menemukan pula bahwa selain serotonin, testosteron juga
dipandang dapat meningkatkan peranannya dalam kepemimpinan. Penelitian terhadap
para primata menemukan bahwa para pemimpinnya mengalami peningkatan tingkat
testosteron secara tiba-tiba ketika ancaman terhadap legitimasinya muncul. Sedangkan dalam diri para anak buahnya, tingkat
testosteronnya menurun pada saat-saat krisis tersebut terjadi.
Tanpa bermaksud untuk menyamakan kera dengan manusia, dan memang primata
berbeda dengan manusia, studi tentang manusia sehubungan dengan isu
kepemimpinan memperlihatkan bahwa ada perubahan testosteron ataupun serotonin
dalam diri manusia seperti yang terjadi pada primata. Sebuah studi tentang
tubuh manusia menemukan bahwa laki-laki yang menduduki tingkat kepemimpinan yang
paling tinggi memiliki tingkat serotonin yang tertinggi (Robbins, 1998). Para
peneliti juga menemukan bahwa tingkat testosteron meningkat pada para pemain
tenis papan atas sebelum pertdaningan dimulai. Tingginya tingkat testosteron
dipadang sebagai variabel yang membuat para pemain tenis tersebut menjadi lebih
percaya diri dan termotivasi untuk
memenangkan pertandingan. Ditemukan pula bahwa testosteron juga meningkat
setelah mencapai peningkatan status seperti ketika ia memperoleh promosi,
meningkat rangkingnya atau memperoleh sebuah gelar; demikian pula pada perempuan
yang duduk di dalam pekerjaan-pekerjaan profesional memiliki tingkat hormon
tersebut lebih tinggi dibdaning mereka yang non-profesional (Robbins, 1998).
Dari segi dasar biologis seperti diuraikan diatas, memperlihatkan bahwa
laki-laki maupun perempuan memiliki potensi untuk menjadi pemimpin yang efektif
karena di dalam dirinya masing-masing memiliki testosteron yang suatu saat
dapat meningkat. Ketika seseorang dihadapkan pada suatu kondisi lingkungan atau
situasi yang mengancam dan mengharuskan ia berjuang, berkompetisi atau
beradaptasi dengan perubahan atau kondisi yang dihadapinya agar memperoleh apa
yang menjadi tujuannya, kadar testosteron yang ada padanya akan meningkat.
Meningkatnya testosteron pada perempuan atau pada laki-laki ini dapat
meningkatkan rasa percaya diri dan semangat seseorang untuk
memotivasi diri sebagai pemimpin guna mencapai tujuan.
3. Diskusi Tentang
Perbedaan Kepemimpinan Laki-laki dan Perempuan
Kajian terhadap sejumlah literatur oleh Robbins (1998), sehubungan dengan
isu gender dan kepemimpinan mengemukakan dua kesimpulan. Pertama, menyamakan antara laki-laki dan perempuan cenderung
mengabaikan perbedaan diantara keduanya. Kedua,
bahwa apa yang menjadi perbedaan antara perempuan dan laki-laki adalah bahwa
perempuan memiliki gaya kepemimpinan yang lebih democratic, sedangkan laki-laki merasa lebih nyaman dengan gaya
yang bersifat directive (menekankan pada cara-cara yang bersifat perintah).
3.1. Penjelasan Kesimpulam Pertama
Kesamaan antara kepemimpinan laki-laki dan perempuan tidak begitu
mengherankan. Hampir semua studi yang melihat pada isu tersebut menggunakan
‘jabatan manajerial’ sebagai persamaan
dari ‘kepemimpinan’. Dalam hal ini, perbedaan gender yang nampak dalam populasi pada umumnya cenderung bukan
merupakan bukti karena ini merupakan pilihan karir pribadi dan seleksi
organisasi. Sama seperti orang-orang yang memilih karir di bidang penegakan
hukum, kedokteran atau bidang-bidang lainnya memiliki persamaa-persamaan.
Jelasnya para individu, perempuan maupun laki-laki yang memilih karir
manajerial cenderung memiliki kesamaan. Para individu dengan sifat kepribadian
yang berkaitan dengan kepemimpinan, seperti kecerdasan, kepercayaan diri, dan
kemampuan bersosialisasi, kemungkinan lebih diterima sebagai para pemimpin dan
mendorong untuk mengejar karir dimana mereka dapat melaksanakan
kepemimpinannya. Apapun jenis gendernya, hal ini dibernarkan. Demikian juga,
organisasi cenderung merekrut dan dan mempromosikan orang-orang ke dalam
jabatan kepemimpinan yang memiliki unsur-unsur kepemimpinan tersebut.
Akibatnya, tanpa memperhatikan gendernya, orang yang mencapai posisi
kepemimpinan formal, baik perempuan maupun laki-laki, cenderung memperlihatkan
kesamaanya ketimbang perbedaan-perbedaanya.
3.2. Penjelasan Kesimpulan Kedua
Berbeda dengan kesimpulan pertama,
sejumlah studi lainnya memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan
inheren antara laki-laki dan perempuan dalam hal gaya kepemimpinannya.
Perempuan cenderung mengadopsi gaya kepemimpinan yang lebih demokrtatik. Mereka
mendorong partisipasi, berbagi kekuasaan dan informasi, dan mencoba untuk
meningkatkan ‘kemanfaatan’ bagi pengikutnya. Mereka cenderung memimpin melalui
pelibatan atau pemberdayaan dan mendasarkan pada kharisma, keahlian, kontak,
dan keahlian interpersonal dalam mempengaruhi orang lain. Sebaliknya laki-laki, cenderung lebih menggunakan gaya yang mendasarkan
pada kontrol dan perintah. Mereka lebih mendasarkan pada jabatan otoritas
formal sebagai dasar baginya untuk melakukan pengaruhnya.
Konsisten dengan kesimpulan yang pertama,
guna membuktikan lebih akurat bahwa tidak ada perbedaan antara perempuan dan
laki-laki, maka penemuan ini oleh para peneliti tersebut dikualifiasikan dengan
cara memasukkan variabel kontrol. Ini dimaksudkan agar dapat diketahui dengan
benar apakah perbedaan gender
benar-benar mempengaruhi tingkat efektivitas seseorang dalam memimpin ataukah
tidak. Dengan memasukkan variabel kontrol yakni ‘jenis pekerjaan yang banyak didominasi
kaum laki-laki’, penelitian tersebut menemukan bahwa terdapat tingkat
kecenderungan penurunan bagi pemimpin perempuan yang semula lebih demokratik
ketimbang laki-laki menjadi kurang demokratik terutama ketika perempuan tersebut berada dalam pekerjaan yang
didominasi laki-laki. Disini nampak bahwa norma-norma kelompok dan stereotype maskulin dari para
pemimpin mengabaikan preferensi
kepribadian perempuan sehingga perempuan tersebut meninggalkan gaya
keperempuanannya dalam pekerjaan dan bertindak lebih otokratik (Robbins, 1998).
Sementara itu, anggapan yang didasarkan pada kenyataan lapangan bahwa
laki-laki secara historis telah memegang mayoritas kepemimpinan dalam
organisasi, cenderung mengasumsikan bahwa perbedaaan yang ada antara laki-laki
dan perempuan justru memberikan kelebihan pada laki-laki. Asumsi ini perlu
mendapat klarifikasi secara memadai sejalan dengan perubahan lingkungan atau
situasi yang terjadi terutama berkenaan dengan keberadaan organisasi pada masa
sekarang ini. Dalam organisasi-organisasi saat ini, mereka hampir setiap saat
dihadapkan dengan lingkungan yang selalu berubah, sulit diprediksi dan bahkan
penuh dengan ketidakpastian. Untuk menghadapi ketidakpastian lingkungan ini,
maka organisasi dituntut untuk menjaga fleksibilitas, kerjasama tim,
kepercayaan, dan kemauan berbagi informasi. Variabel-variabel tersebut sering
diyakini sebagai variabel yang dapat meningkatkan efektivitas kepemimpinan.
Bahkan variabel-variabel tersebut sudah mulai diadopsi untuk menggantikan
struktur organisasi yang kaku, competitisi individu yang menimbulkan konflik
disfungsional, kontrol yang ketat dan
kaku, dan kerahasiaan yang mengabaikan transparansi. Manajer yang efektif
tentunya adalah mereka yang mau mendengarkan, memotivasi, dan memberikan dukungan
bagi anak buahnya. Sementara itu nampaknya banyak perempuan melakukan hal-hal
demikian yang lebih baik dari laki-laki (Robbin, 1998). Penggunaan tim-tim atau
kerjasama antara bidang, misalnya, yang mengharuskan dipekerjakannya berbagai
keahlian yang sifatnya lintas sektoral yang luas di dalam organisasi, maka menuntut agar para manajer yang efektif
harus menjadi negosiator yang penuh keahlian. Ada kecenderungan, gaya
kepemimpinan perempuan terutama menggunakan negosiasi yang lebih baik karea
mereka cenderung kurang memfokuskan pada kemenangan untuk dirinya, kekalahan
bagi kelompok lain, dan kompetisi seperti yang terjadi pada laki-laki.
Perempauan cenderung menggunakan negosiasi dalam konteks hubungan yang
berkesinambungan, yakni berusaha sedemikian rupa untuk membuat pihak lain
merasa menjadi pemenang untuk dirinya sendiri dan merasa menjadi pemenang pula
dimata orang lain (Robbins, 1998).
Pendapat yang mengatakan bahwa perempuan memiliki perbedaan dalam gaya
kepemimpinan didukung pula oleh hasil penelitian lainnya. Tannen (1991; 1995),
tidak secara khusus mengkaji isu kepemimpinan perempuan, melainkan menekankan
pada cara perempuan dan laki-laki berkomunikasi, tetapi penjelasannya dapat dipandanag
sebagi dukungan terhadap isu tersebut dengan membedakan antara kepemimpinan
perempuan dan laki-laki. Menurutnya,
laki-laki lebih menekankan pada status, sedangkan perempuan menekannkan pada penciptaan
hubungan. Tannen (1995) menyatakan bahwa
komunikasi merupakan tindakan penyeimbang secara berkelanjutan, mengurangi
kebutuhan konflik untuk menjaga kerekatan hubungan dan kemdanirian. Kerekatan hubungan menekankan pada kedekatan dan
kebersamaan. Kemdanirian menekankan pada pemisahan dan perbedaan. Perbedaan
perempuan dan laki-laki dalam berkomunikasi adalah bahwa perempuan menekankan
pada hubungan dan keakraban, sedangkan laki-laki berbicara
dan menekankan status dan kemdirian.
Hal yang perlu disimak dari penelitian Tannen adalah bahwa pemimpin yang
menekankan pada hubungan dan keakraban
yang cenderung dimiliki oleh perempuan,
memungkinkan seorang pemimpin tersebut bersikap egalitarian,
memberdayakan segenap anggotanya, serta menekankan struktur organis. Sedangkan
pemimpin yang menekankan pada status dan kemdanirian, yang cenderung dimiliki
oleh laki-laki memungkinkan pemimpin tersebut mengadopsi struktur hirarkis,
spesialisasi, dan perintah. Padahal organisasi sekarang yang sering dituntut
untuk memberikan pelayanan yang berkualitas dan kemampuan adaptasi yang tinggi
terhadap perubahan lingkungan, dituntut untuk memiliki sturuktur yang organis
dan memberdayakan seluruh anggota baik atasan maupun bawahan secara nyata dalam
rangka mewujudkan pelayanan yang berkualitas secara total.
Penelitian tentang hubungan gender
dan kepemimpinan juga dikemukakan oleh Sara Levinson, seorang Presiden Properti
NFL, Inc di New York. Ia mengungkapkan pertanyaan secara langsung dalam sebuah
tanya jawab dengan seluruh anggota laki-laki yang ada di timnya. Ia bertanya
kepada mereka: “Apakah kepemimpinan saya berbeda dengan laki-laki?” Jawab
mereka: “ya” (dikutip dalam Schermerhorn, 1999: 276). Jawaban ini cukup
memberikan dukungan bahwa ada perbedaan gaya kepemimpinan antara perempuan dan
laki-laki. Mereka juga menunjukkan bahwa
kepemimpinan perempuan menekankan pada komunikasi dan pengumpulan
ide-ide serta opini-opini dari orang lain. Ketika Sara Levinson (dikutip dalam
Schermerhorn, 1999: 276) ingin mendapatkan komentar dan pendapat para anggota
tim tersebut lebih jauh tentang kepemimpinannya, dengan menanyakan “apakah ini
merupakan ciri khas kepemimpinan perempuan?”, mereka menjawab “ya”.
Bukti-bukti tersebut di muka mendukung argumen bahwa perempuan memiliki
potensi dasar untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif. Antara perempuan dan
laki-laki cenderung memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda. Perempuan
cenderung lebih memiliki perilaku yang demokratis
dan partisipatif, seperti hormat pada
orang lain, perhatian pada orang lain, dan berbagi kekuasaan dan informasi
terhadap orang lain. Gaya seperti ini mengacu pada kepemimpinan interaktif, yakni gaya kepemimpoinan yang memfokuskan
pada upaya membangun konsensus dan hubungan antara pribadi yang baik melalui
komunikasi dan keterlibatan (partisipasi) (Schermerhorn, 1999). Demikian pula,
gaya seperti ini sampai dengan tingkat tertentu memiliki unsur-unsur
kepemimpinan yang transformasional,
yakni kepemimpinan yang inspirasional yang dapat memberikan inspirasi kepada
orang-orang untuk bekerja lebih giat dalam mencapai kinerja yang tinggi.
Berbeda dengan laki-laki yang cenderung lebih transaksional, yakni gaya kemimpinan yang cenderung lebih mengarah
pada perilaku yang directive
(cenderung mendasarkan pada instruksi) dan assertive
(cenderung agresif dan dogmatik), dan menggunakan otoritas yang baiasanya ia
miliki untuk melakukan “kontrol dan komdano” (Schermerhorn, 1999).
Dari diskusi tersebut di atas, hasil-hasil penelitian dari sejumlah pihak
cenderung memberikan kesimpulan bahwa perempuan memiliki sejumlah
kelebihan-kelebihan sifat sebagai pemimpin yang efektif dibandingkan laki-laki.
Namun demikian hasil-hasil tersebut masih perlu ditelaah lebih dalam. Hal ini
penting karena seandainya kelebihan itu memang melekat pada perempuan maka
kelebihan-kelebihan tersebut hanyalah merupakan sebagian kecil dari instrumen
untuk mencapai tujuan yang lebih besar yaitu efektivitas organisasi. Sementara
itu instrumen-instrumen lain yang lebih besar perlu diperhitungkan seperti
kemampuan beradaptasi dalam lingkungan global, kemampuan menyusun struktur
organisasi yang adaptif dalam proses
organisasi, dan kemampuan untuk menciptakan atau memilih teknogi yang dapat
meningkatkan kualitas pelayanan.
4.
Meningkatkan Efektivitas Kepemimpinan dan Organisasi
Dengan menekankan pada karakter yang diyakini sebagai ciri perempuan
seperti sifat suka berbagi kekuasaan, komunikatif, kerjasama, dan partisipatif
dalam organisasi saat ini, hasil-hasil penelitian oleh sejumlah pihak cenderung
terlalu membesar-besarkan. Isu gender dan gaya kepemimpinan dari penelitian
tersebut di muka seakan-akan hanya menekankan pada sifat keperemuanan yang
dipdanang sebagai faktor penentu efektivitas seseorang dalam memimpin.
Ciri-ciri yang melekat pada perempuan tersebut tidak mustahil terdapat pula
pada diri laki-laki. Ini berarti bahwa perempuan maupun laki-laki sama-sama
memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif. Oleh karena
itu, penemuan-penemuan tersebut di atas sampai dengan tingkat tertentu
seyogyanya tidak diterima begitu saja sebelum ditemukan bukti yang benar-benar signifikan.
Tidak dapat disangkal bahwa untuk menghadapi
ketakterdugaan lingkungan organisasi, mengingat lingkungan selalu mengalami
perubahan, gaya kepemimpinan yang interaktif nampaknya menjadi gaya yang amat
cocok dengan permintaan tenaga kerja yang sangat bervariasi dan cocok untuk
tempat kerja baru. Dengan demikian, apakah perilaku yang relevan bagi
lingkungan yanga selalu berubah-ubah atau situasi tertentu harus dimiliki oleh
perempuan atau laki-laki adalah tidak penting.
Justru yang paling penting adalah bahwa keberhasilan kepemimpinan yang
pada akhirnya akan berpengaruh terhadap efektivitas organisasi adalah berada
pada kapasitas seseorang, laki-laki atau perempuan. Yakni kapasitas untuk
memimpin melalui hubungan yang
positif dan memberdayakan sumberdaya
yang ada (terutama sumberdaya manusia), kolaboratif dan menjalin jaringan dengan sejumlah pihak atau stakeholders yang
kemungkinan akan dipengaruhi dan mempengaruhi organisasi yang dipimpinnya
ketimbang hanya melalui cara-cara yang bersifat directive dan asserive, dan menekankan otoritas formal seperti yang
biasa diterapkan pada organisasi-organisasi birokrasi yang berstrtuktur
mekanistik yang cenderung tal mampu bertahan dalam lingungan yang penuh dengan
perubahan, terlebih di era gobalisasi. Tindakan kolaborasi sangat diperlukan
mengingat tidak semua organisasi mampu memberikan pelayanan atau melakukan
tugas dan fungsingya berdasarkan kemampuan sumberdaya yang dimilikinya. Ketika
sumberdaya yang diperlukan tidak memadai untuk mendukung semua tugas dan
fungsinya, maka untuk menjamin efektivitas, organisasi perlu melakukan
kerjasama dengan pihak lain, termasuk di dalamnya adalah melakukan kolaborasi
dalam melakukan tindakan kolektif dan menjalin networks dengan pihak-pihak lain untuk membangun social
capital (Sudarmo, 2006; 2008).
Jelasnya, untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif bagi organisasi,
bukan karena maskulinitas atau femininitasmya, melainkan kapasitasnya untuk
memimpin. Efektivitas pemimpin untuk mampu
mencapai efektivitas organisasi dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Faktor-faktor
tersebut meliputi: (1) pemilihan dan
penempatan pemimpin, (2) pendidikan kepemimpinan, (3) pemberian imbalan pada
prestasi pemimpin dan bawahan, dan (4) teknik pengelolaan organisasi untuk
mengahadpi perubahan lingkungan, dan (5) teknologi (Lihat Steers, 1985; Jones,
1995).
4.1. Pemilihan dan Penempatan Pemimpin
Sampai dengan tingkat tertentu efektivitas pemimpin dapat ditingkatkan
melalui kualifikasi pemimpin, yang dibutuhkan untuk mempengaruhi dan
memberdayakan segenap anggotanya sehubuingan dengan tugas–tugas organisasi yang
harus dijalankan. Potensi dasar yang dimiliki pemimpin yang diperlukan bagi
organisasi perlu dikenali. Menurut Ghiselli (dalam Steers, 1985), potensi dasar
yang harus dipenuhi pemimpin yang efektif yang dapat membawa pada pencapaian
efektivitas organisasi adalah pemimpin memiliki ciri-ciri pribadi tertentu.
Ciri-ciri tersebut menurutnya meliputi: kecerdasan yang tinggi, kepekaan pada
variasi situasi, inisiatif, kepercayaan diri, dan kepribadian.
Disamping hal-hal tersebut, kesadaran tentang situasi juga penting dalam
pemilihan pemimpin yang efektif (Fiedler dalam Steers 1985). Seorang pemimpin
dengan gaya yang otoriter dan berorientasi pada tugas mungkin lebih cocok untuk
lingkungan kerja yang mempunyai ciri-ciri struktur tugas yang tinggi,
kewenangan tersentralisir, dan hubungan atasan bawahan yang sangat formal dan
kaku. Sebaliknya, seorang pemimpin yang berorientasi pada pemberdayaan segenap
anggota dengan menganggap seluruh komponen merupakan bagian penting, mungkin
lebih cocock untuk situasi yang bercirikan tidak kaku, humanis, desentralistis
dalam hal kekuasaan dan menekankan pengaruh ketimbang paksaan, dan hubungan
atasan bawahan yang erat (Morgan & Murgatroyd, 1994).
Dengan demikian, gaya yang kaku atau mekanistik lebih cocok untuk
lingkungan atau situasi yang stabil sedangkan gaya yang organis lebih cocok
untuk situasi yang fleksibel atau berubah-ubah. Tatapi dalam organisasi ada
aktivitas-aktivitas atau prosedur yang sifatnya rutin dan ada
aktivitas-aktivitas yang sifatnya aksidental dan tak dapat dirediksikan.
Bagaimanapun pemimpin yang efektif, apapun jenis gendernya, dituntut untuk
bekerja dalam kedua macam situasi, karena gaya seperti dapat membawa pada
tercapainya efektivitas organisasi.
4.2. Pendidikan Kepemimpinan
Pengembangan potensi pemimpin organisasi dapat dilakukan melalui berbagai ragam pendidikan. Pendidikan yang
dimaksud biasanya dilakukan dengan melalui dua cara. Pertama, seseorang dapat diubah sehingga ia menampilkan sifat-sifat
yang dikehendaki dalam kadar yang lebih tinggi. Misalnya pemimpin dirubah
sikapnya menjadi lebih percaya diri, tegas, mampu mengadakan hubungan antar
pribadi dengan menyenangkan. Kedua,
kepada seseorang dapat ditunjukkan cara mengubah lingkungan kerja sehingga
lebih serasi dengan harapan atau kebutuhan
orang tersebut pada manajemen.
Menurut Campbell (dalam Steers, 1985) ada lima jenis program pendidikan
untuk meningkatkanan efektivitas kepemimpinan, mencakup (1) program manajemen
umum, yang berusaha mengembangkan keterampilan manajemen secara luas, (2)
program hubungan antara manusia, yang memperhatikan masalah antar pribadi (3)
program pemecahan masalah dan pembuatan keputusan, (4) program pendidikan
laboratorium, yang menerapkan pendekatan eksperimental untuk memberi penerangan
pada para manajer mengenai perilaku mereka sendiri; dan (5) program khusus,
yang meliputi berbagai ragam topik penting yang relevan bagi organisnasi
tertentu.
Walaupun belum ada konsesnsus mengenai macam program pendidikan yang tepat
untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinan, tetapi diakui oleh sejumlah penulis bahwa pemimpin
yang efektif perlu mengenali variasi situasi (Robbin, 1998; Jones, 1997).
Dengan mengenali variasi situasi atu lingkungan akan membawa pada perilaku
tertentu untuk beradaptasi sejalan dengan lingkungan yang berubah.. Gaya
kepemimpinan yang cocok untuk satu situasi mungkin tidak cocok untuk situasi
yang lainanya. Dengan demikian, meskipun pendidikan tersebut penting, tetapi
penting pula untuk mengembangkan bakat keterampilan manajer maupun kemampuannya
mendiagnosis perbedaan situasi. Dengan
kemampuan ini pemimpin dapat memiliki keterampilan yang paling cocok dengan
tuntutan situasinya.
4.3. Pemberian imbalan Prestasi Pemimpin
dan Bawahan
Bagaimanapun pemimpin memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi seperti
kenaikan gaji, promosi untuk memuaskan kebutuhannya. Pemenuhan ini terutama
didasarkan pada kemampuan manajer dalam membawa para anggota pada kegiatan yang
diarahkan untuk mencapai tujuan. Dengan
demikian, para manajer ini akan cenderung menganggap perilaku pemimpinnya yang
efektif sebagai sarana mendapataakan imbalan yang diinginkan untuk memuaskan
kebutuhannya (Steers, 1985). Dengan kata lain, dengan pemenuhan kebutuhan ini,
organisasi dapat membuat manajer menjadi sadar akan peranan kepemimpinan dalam
melaksanakan tugas dan berusaha menningkatkan kermasmpuan untuk mencapai
efektivitas organisasi.
Sementara itu pemberian imbalan prestasi bawahan juga penting. Pelayanan yang diberikan oleh sebuah
organisasi tetap membutuhkan dukungan sepenuhnya oleh para bawahan atau segenap
anggota betapapun efektifnya seorang pemimpin. Sistem imbalan menjadi penting
untuk mendorong bawahan berperilaku ke arah yang mendukung tindakan pemimpin
dalam proses pelayanan. Seorang pemimpin akan menjadi efektif sejauh ia memberi
imbalan pada bawahan dan sejauh imbalan-imbalan ini bergantung pada prestasi
bawahan dan mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diharapkan bawahan tersebut
(Steers, 1985; Luthans, 1992).
Melalui integrasi tujuan pribadi dan tujuan organisasi, yang bererti
kemungkinan terjadi konflik dapat dikurangi, pemimpin dapat memperbesar
kemungkinan meningkatnya usaha ke arah pencapaian kedua tujuan tersebut secara
bersama-sama. Untuk selanjutnya efisiensi dan efektivitas organisasi dapat ditingkatkan (Steers, 1985; Robbins, 1998;
Robbins, 1990; Luthans, 1992).
4.4. Teknik Manajemen Organisasi untuk
menghadapi perubahan lingkungan Untuk
meningkatkan efektivitas kepemimpinani dapat pula dilakukan dengan perubahan
struktur organisasi. Sehingga pemimpin atau manajer dapat mengatur pekerjaan
agar sesuai dengan harapannya. Melalui
modifikasi pekerjaan di sekitar individu annggota organisasi, organisasi
dapat mempertahaankan tingkat efisiensi tertentu, sementara tetap memanfaatkan
bakat individu itu tersebut (Steers, 1985).
Sementara itu, teknik manajemen organisasi ini juga perlu dikaitkan dengan
lingkungan eksternal organisasi. Lingkungan dimana organisasi menjalankan
kegiatan-kegiatannya justru dapat dipdanang sebagai sumber ketidakpastian bagi
kesinambungan hidup organisasi tersebut (Jones, 1995). Jika klien sebuah
organisasi publik atau pelanggan untuk organisasi bisnis menarik dukungannya,
jika para pemasok menghentikan inputnya, dan jika kelompok-kelompok stakeholder lainnya termasuk para kompetitor, distributor dan
pasar, ternaga kerja, maupun pemerintah mengancam keberadaan
organisasi-organisasi, maka yang terjadi adalah ketidakpastian. Dengan
demikian, pemimpin harus mendesain struktur organisasinya agar memadai dalam
menangani hubungan-hubungannya dengan stakeholder dalam lingkungan eksternal.
Kompetisi yang semakin kompleks dalam era global terutama bagi organisasi
yang bergarak dibidang pemberian pelayanan atau manufaktur, seringkali menuntut
struktur organisasi yang organik. Hal ini diperlukan karena struktur organisasi
yang organik akan memdorong perilaku yang inovatif melalui kerja tim dan self-management (yakni mengatur,
mengelola dan memberdayakan diri sendiri sesuai dengan yang di harapkan klien
atau pelanggan), untuk memperbaiki kualitas dan mengurangi waktu yang
diperlukan untuk meciptakan pelayanan
atau produk baru bagi klien atau pelanggannya.
Dengan demikian, perubahan struktur organisasi, disamping dapat
meningkatkan ekfektivitas kepemimpinan, dapat pula meningkatkan kemampuan
organisasi untuk beradaptasi dengan lingungan yang berubah. Dengan kata lain
melalui perubahan struktur organisasi, efektivitas kepemimpinan dan organisasi
dapat ditingkatkan.
4.5. Teknologi
Betapapun efektifnya seorang pemimpin, untuk mencapai efektivitas
organisasi ia tidak dapat terpisah dari keberadaan teknologi yang digunakannya
(Jones, 1995; Steers, 1985). Teknologi “merupakan
kombinasi keahlian, pengetahuan, kemampuan, teknik-teknik, bahan-bahan, mesin,
komputer, alat-alat dan perlengkapan lainnya yang digunakan orang untuk merubah
bahan-bahan mentah menjadi barang-barang dan pelayanan yang bernilai” (diterjemahkan
sendiri oleh penulis dari Jones, 1995: 348). Organisasi menggunakan teknologi
untuk menjadikan organisasi tersebut lebih efisien, lebih efektif, lebih
inovatif, dan lebih baik dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan
keinginan-keinginan para internal
stakeholder (pemimpin dan bawahannya serta para pemegang saham) maupun exetrnal stakeholder (klien/pelanggan
maupun). Masing-masing bagian dari organisasi bertanggung jawab terhadap
pengembangan dan pemeliharaan teknologi yang memberikan kontribusi positif bagi
kinerja organisasi. Ketika organisasi memiliki teknologi yang memungkinkannya
untuk menciptakan nilai, ia memerlukan sebuah struktur yang memaksimumkan
efektivitas teknologi.
Melalui teknologi, pemimpin organisasi dapat meningkatkan usahanya untuk
berinovasi; mengembangkan produk baru, pelayanan, dan proses; dan mengurangi
waktu yang diperlukan untuk mebawa produk-produk/pelayanan baru ke pasar lokal,
nasional maupun global. Demikian pula melalui teknologi, pemimpin organisasi
dapat memperbaiki efisiensi dan mengurangi biaya sambil meningkatkan kualitas
dan reliabilitas produk-produk atau pelayanan-pelayanannya.
5. Kesimpulan
Kepemimpinan perempuan diyakini lebih efektif dibanding kepemimpinan
laki-laki. Tetapi pendapat tersebut
cenderung membesar-besarkan sifat yang melekat pada perempuan. Untuk menjadi eketivitas
seorang pemimpin dalam mencapai tujuan organisasi tidak semata-mata ditentukan oleh
sifat keperempuanan yang melekat pada seseorang, tetapi karena kapasitasnya
dalam memimpin.
Disamping kapasitas, pemimpin yang
efektif bagi efektivitas organisasi dapat juga dipengaruhi oleh lima faktor
penting mencakup pemilihan dan penempatan pemimpin, pendidikan kepemimpinan,
pemberian imbalan pada prestasi pemimpin dan bawahan, teknik pengelolaan
organisasi untuk menghadapi perubahan lingkungan, dan teknologi.
Daftar Pustaka
Jones, Gareth R.,
1995, Organizational Theory: Tex dan Cases, Addison-Wesley Publishing Company, California .
Luthans, Fred,
1992, Organizational Behavior,
McGraw-Hill, Inc., San Fransisco.
Morgan, Colin
& Murgatroyd, Stephen, 1994, Total
Quality Management in the Public Sector, Open University Press, Philadelphia .
Steers, Richard, 1985, Efektivitas
Organisasi, diterjemahkan Magdalena Jamin,
Erlangga, Jakarta.
Schermerhorn,
John R., Jr, 1999, Management, John
Wiley & Sons, Inc., New York .
Robbins, Stephen
P., 1998, Organizational Behavior:
Concepts, Controversiess, Application, 8th ed, Prentice-Hall International, Inc., New Jersey .
Robbins, Stephen P., 1990, Organization Theory; Structure, Design, dan
Application, Prentice Hall, Inc., Englewood
Cliffs, NJ.
Kanter, Rosabeth
Moss, 1979, ‘Power Failure in Mnagement
Circuits’, Harvard Business Review,
Vol. 47 (July-August 1979): 65-75.
Sudarmo, 2006,”Perspective On Governance:
Towards An Organizing Framework for Collaboratition and Collective Actions”; Spirit Publik, Jurnal Ilmu Administrasi
, Vol 2 No. 2, Oktober , pp.113-120.
Sudarmo, 2008, “Social Capital untuk
Community Governance, Spirit Publik, Jurnal Ilmu Administrasi, Vol 4 No. 2,
Oktober, pp. 101-112
Tannen, Deborah,
1991, You Just Don’t Undersatnd: Women
dan Men in Conversation, Bulletine Books, New York .
Tannen, Deborah,
1995, Talking from 9 to 5, William
Morrow, New York .
* Penulis adalah dosen pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Jurusan
Ilmu Administrasi , Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar