Aku hanya dapat tersenyum geli
mengingat kejadian tadi siang. Membahagiakan sekali, meski aku benar-benar
gugup dan berdebar luar biasa. Keringat dingin mengucur deras, lututku
tiba-tiba lemas, menandakan suasana hatiku, sulit sekali kucoba untuk menutupi
rasa ini. Wajahmu, senyummu, tatapanmu, semuanya membuatku lemas tak berdaya,
ingin sekali saat itu aku memelukmu tapi aku masih bisa mengontrol laku ini.
Lantunan lagu cinta dan dawai gitarmu menggetarkan seisi duniaku, seluruh
makhlukNya menjadi saksi akan pernyataanmu, pernyataan untuk akan selalu
menyayangiku, mencintaiku serta berjalan berdampingan denganku disaat senang
maupun sedih. Lidahku keluh seketika, aku hanya dapat mengangguk dan tersenyum
tersipu.
Belasan pasang mata menyaksikan. Aku
yakin perempuan manapun pasti iri dengan apa yang telah kau lakukan untukku
sore ini. Satu kata untukmu, “sayang.” Kehadiranmu dalam kisahku menambah
semarak dan berwarna. Kau adalah lentera saatku mulai merasa ketakutan akan
jalan gelap yang kulalui. Kau juga adalah kembang api dalam hatiku, yang selalu
mengejutkanku dengan keindahan cintamu. Terima kasih Allah, Engkau kirimkan dia
untukku.
Hari-hariku semakin menarik, setiap
hari ada saja kejutan yang kau berikan padaku. Dari mulai sekedar bunga mawar
sampai puisi yang rutin kau kirimkan padaku. Melihat senyummu saja sudah bisa
membuatku ikut tersenyum bahagia, perasaan sedih dan kesal pun terbang bersama
angan bahagiaku bersamamu.
“ Tiara, ayo masuk ! sudah malam
sayang, nanti masuk angin lho...” suara lembut membangunkanku dari lamunan yang
indah.
“ Iya, ma... Tiara masuk sebentar lagi.”
Sahutku seraya beranjak dari tempat duduk menuju kesebuah rumah yang menurutku
cukup besar untuk ditinggali tiga orang.
Langkah kakiku membawaku ke kamar.
Menyusuri sebuah lorong yang cukup panjang menuju kamar. Senandung kecil keluar
dari mulutku. Entah lagu apa ini, yang penting lagu ini mencerminkan hatiku
saat ini. Suasana kamar yang sunyi membuatku ingin lekas tidur, mengarungi
dunia mimpi bersama Dion yang selalu lebih indah untukku dan terkadang
memanjakan aku untuk tidak beranjak darinya. Kurebahkan tubuhku diatas ranjang,
pandanganku melayang menembus dinding menerawang jauh, terlintas sebuah senyum
terindah yang tak akan kulupa siapa pemiliknya. Mata ini rasanya sudah tak sanggup
lagi terjaga, beberapa kali aku menguap. Tanganku mengucek pelan mata ini.
Zreeet....zreeet....zreet
Suara alarm menggangguku, membuatku
terbangun, kutatap jam alarm yang sudah menunjukkan pukul 04.00 tepat.
Ayo...Tiara bangun, bangun, bangun dan sholat subuh. Kuayukan langkahku menuju
kamar mandi, mengguyur wajah dan tubuh ini dengan air wudhu. Betapa segarnya
dan menyejukkan, mengusir kantuk dan malas yang menggelayut didada. Peningnya
kepalapun sirna begitu saja bersama air yang jatuh mengalir.
“ Adek... udah bangun ya, ayo jamaah
sholat. Kakak tunggu diruang sholat ya...” suara lelaki yang beda usia enam
tahun dariku, kak Tio.
“ Bentar kak... iya nanti aku nyusul.”
Jawabku dari dalam kamar mandi.
Keluargaku memang sudah terbiasa untuk
sholat berjamaah, apalagi waktu magrib, isya’ dan tentunya subuh. Rasanya
janggal kalau sholat sendiri jika tidak dalam keadaan terpaksa dan kepepet. Aku
segera bergegas menghampiri kak Tio yang sudah bersiap untuk sholat, mukenah
segera kusambar lalu kukenakan. Takbir mengawali ibadah kami. Khusyuk dan
hikmad menyelimuti ruangan yang cukup luas berhias lukisan kaligrafi dibeberapa
sisi dindingnya menambah syahdu. Cat dinding yang berwarna hijau muda menambah
kenyamanan ruang ini.
####
“ Kak Tio, ganteng deh... hari ini ada
acara nggak?” rayuku mendekatinya sambil membawakan kripik telo kesukaannya. Mengambil tempat duduk disebelahnya.
“ Kenapa nih? Wah... modus penyalahgunaan kebaikan ya? Ada apa Ra?” tanyanya
ketus sambil menatapku tajam, tangannya mulai meraih kripik yang kupegang erat.
“ Ah... kakak, jangan buruk sangka dulu
donk. Adekmu yang cantik rupawan nan dermawan ini mau minta sedikit bantuan aja
kok. Kakak besok bisa jemput aku nggak ? aku lagi malas nih pulang naik bis
kota.” Senyum manispun sengaja kulemparkan kearahnya.
“ Ehm ... gimana ya ?”
Aku mulai mengembangkan senyum penuh
harap sambil menyodorkan kripik kepadanya. Dengan harapan akan sebuah
permohonan yang terkabul.
“ Tolong banget deh kak, aku
bener-bener lagi bosan nunggu bis di halte.”
“ Insya allah... besok itu jadwalku full, kalau sempat ya... ku jemput.”
Memasukkan beberapa kripik kemulutnya. “ Besok kalau aku bisa jemput ku sms
deh, kamu nggak ada temen yang rumahnya searah sama kita ya ? kalau ada mending
nebeng aja.”
“ Oke ... oke, ya pastinya ada kak.
Sayangnya, aku nggak kenal sama anak itu. Tapi, mungkin anak itu kenal aku,
karena aku kan terkenal.” Aku menjawab pertanyaannya dengan jawaban sekenanya
sambil memasang tampang bersinar bagai bintang iklan. Dengan tangan kanan
menyibakkan rambut kebelakang.
Aku mulai lebih mendekatkan diri duduk
disampingnya, ingin sekali rasanya menceritakan kejadian yang sedang
berlangsung dalam hatiku, tapi... apa kak Tio mau dengar ya ? Jangan-jangan
malah diledek atau dimarahin. Tapi, Kak Tio bagaimanapun juga tetap harus tahu.
Jelek-jelek gitu kakak Tio adalah kakak satu-satunya yang kupunya.
“ Kak...kaaaak Tio.”
Menatapku lembut sambil terus mengunyah
kripik di tangannya. Memberi sinyal bahwa aku bisa mulai bicara karena dia
sudah membagikan perhatian untukku.
“ Kakak punya cewe’ kan ? Kakak lebih bahagia kalau punya cewe’ daripada nggak kan ? Jangan bilang nggak, aku tahu kok. Kak
Viona dan Kak Xena.” Aku membalas tatapannya, aku cukup sadar kalau kakakku
punya tampang yang lumayan untuk digilai dua cewe’ sekaligus, dan sifatnya yang terkadang lembut nan manis
semakin memikat para gadis. Membuat siapapun akan dengan mudahnya terjerat akan
biusnya. Lagipula sekarang kak Tio juga sudah punya pekerjaan tetap, manajer
produksi disalah satu perusahaan kertas yang cukup bonafit.
“ Iya ... kenaaaaapa ? aku masih belum
bisa milih diantara mereka berdua jadi ya aku perlakukan mereka sama, mereka
tahu kok satu sama lain. Tumben nih boneka kecil tanya gituan, ada apakah
gerangan ? Hayoooo..... ada apa ?.” Tanyanya dengan wajah penuh selidik
kearahku.
“ Aku baru ditembak cowo’ kak. Dan karena aku juga sukaaa.....
jadinya ya... kakak tahulah.”
Mengangguk-angguk sambil mengeryitkan
dahi. Tangannya mengelus rambutku, aku suka sekali kalau kakak melakukannya,
serasa diperhatikan dan disayang. Aku hanya dapat tersenyum malu. Sesekali
kupandang matanya yang sipit serta lesung pipi yang membuat siapapun yang
menatapnya akan merasakan kenyaman tersendiri didekatnya.
“ Alhamdulilah... akhirnya ada yang
naksir adek kakak juga. Tapi ... ingat dek, jangan sampai lupa sama sekolahmu
itu.” Tertawa ringan lalu memelukku hangat.
###
Aku mulai bosan menunggu bis kota yang
biasanya membawaku pulang. Teriknya mentari siang ini cukup menyiksa
makhluk-makhluk sepertiku yang sedang berjajar di halte. Debu dan deru
kendaraan beradu, membuat suasana semakin penat dan oksigen yang seharusnya
menjadi hak kamipun terenggut begitu saja, kami harus berebut oksigen yang
tersisa. Sekedar iseng aku menengok ponsel yang terlelap disaku kemejaku.
Wah... ada tiga pesan, dengan segera aku mengaktifkan ponsel mulai membaca satu
per satu pesan.
Mr. Beelo
Dek, kakak nggak bisa jemput kamu. Maaf ya, kakak ada
meeting dadakan. Naik bis kota aja kayak biasanya. J
Pesan pertama sudah menambah sepuluh derajat
bad moodku siang ini. Aku mulai malas melanjutkan membaca pesan selanjutnya,
tapi dari pada ngganggur mending kalau aku lanjut baca. Tanganku memijat-mijat
keypad yang mulai keras nan usang dimakan usia ini. Tapi sayang kalau aku harus
memuseumkan ponsel tua ini. Karena terlampau banyak kenangan bersamanya yang telah
terukir. Next message.
Mama
Tiara, mama hari ini berangkat ke Palembang. Ada proyek baru
yang harus mama tinjau. Hati-hati dirumah, jangan ngrepotin kakakmu. Kalau
butuh apa-apa ngomong aja ke kakakmu.
Mama sayang kamu.
Selalu
seperti ini, mama pamit pergi hanya lewat sms saja. Bad moodku sudah mencapai
ubun-ubun dan sebentar lagi akan meletus. Sms ketiga semoga berita baik. Kalau
aja pesan ketiga berita buruk lagi, maka ponsel ini yang paling bertanggung
jawab atas keburukanku siang ini. Aku janji bakal langsung nyopot nomorku dari
ponsel ini dan langsung melempar ponsel ini ketengah jalan raya.
Dion
Ra ... kamu dimana ? di halte ya ? kalau gitu gimana kalau pulangnya
bareng aku aja, dan sebelum pulang kita jalan-jalan dulu gimana ?
Salam sayang J
Aku
terkejut, aku mulai menoleh kesekeliling mencari-cari disetiap sudut jalan. Aku
berusaha membalas pesan Dion, tapi sayanganya pesanku nggak kekirim. Setelah ku
cek pulsa, benar saja pulsaku tinggal Rp 75,-. Menyebalkan. Sial banget aku
siang ini, harus kepanasan dan kehabisan pulsa disaat yang nggak tepat. Kenapa
harus hari ini pulsa habis ? Belum sempat pertanyaan itu terjawab, sebuah motor
dengan pengendaranya berhenti tepat dihadapanku. Helm hitam menghalangiku
mengetahui siapa pengendara itu. Membuatku melupakan kekesalanku, mataku
menyelidik kebalik helm hitam itu.
“
Ayoo... naik, maaf membuatmu menunggu.” Suara khas yang sangat aku kenal.
“
Dion ??? Ini kamu kan ?” aku memastikan bahwa orang ini adalah orang yang baru
saja mengirimi aku pesan. Aku nggak mau kalau aku salah ngenalin orang. Tanganku
ditariknya, aku segera naik ke motor itu. Sebuah helm biru dengan motif mawar
putih dibelakangnya disodorkan padaku, segera saja kupakai.
Motor matic ini dipacunya
cukup kencang, membuatku harus berpegangan erat pada tubuhnya bersandar pada
punggungnya. Aku hanya membisu disepanjang perjalanan, tak tahu juga akan
dibawa kemana aku, tapi aku percaya padanya jadi untuk apa aku bertanya.
Setengah jam kemudian kami sampai disebuah danau buatan ditepi kota, angin
sejuk menyapa kedatangan kami. Aroma daun berguguran semerbak menghalau
menambah syahdu. #bersambung
Tidak ada komentar :
Posting Komentar