“ Cintya, tolong nanti pulang sekolah kamu bantu aku mendata teman-teman
kita yang bisa hadir untuk acara minggu depan. Aku tunggu di sekretariat OSIS.”
Kata seorang siswa kepadaku.
Dia adalah Gio, anak kelas XI IPA 3. Yang kutahu sekarang dia adalah ketua
OSIS disekolahku. Anugerah otak cerdas yang dimilikinya dengan perawakan tinggi
dan rupa menawan serta pakaian yang selalu nampak rapi menambah nilai plus
dirinya dimata kaum hawa. Suaranya yang lembut membuatku terpaku pada sosoknya
yang tiba-tiba menepuk bahuku dari belakang.
“ Iya, nannn.....ti aku usahakan.”
Suaraku terbata-bata menjawabnya.
“ Oke....makasih, dan jangan sampai lupa,” katanya sambil berlalu menuju
barisan ruang kelas yang ada di lorong depan taman.
Mataku masih belum sanggup lepas dari auranya, tapi kakiku sudah memaksa
beranjak dari tempat ini. Dengan perasaan yang berbunga emas, aku melanjutkan
perjalanan menuju kelas X-10 yang berada tepat dipojok koridor. Ruang kelas
yang berhadapan langsung dengan perpustakaan sekolah yang selalu nampak adem
ayem.
Suasana riuh menyambutku. Teman-temanku tengah sibuk dengan tugas Pak
Juli, tugas Antropologi. Untungnya tugas ini sudah berhasil aku libas, bukan
berarti karena aku rajin atau pandai. Tapi karena ada malaikat penolong yang
selalu siap membantuku mengerjakannya, maklumlah diakan anak IPS yang lumayan
cinta sama jurusannya. Aku menuju kebangku kedua dari depan sebelah kiri dengan
tenang dan perasaan bebas tanpa beban.
“ Ci, tumben loe tenang-tenang
aja, udah ngerjain tugas belum? Atau jangan-jangan loe lupa kalau ada tugas yang harus dikumpulin hari ini,” tanya
sesosok gadis berambut ikal yang duduk disampingku.
“ Udah beres dong, gue gitu
loh,” jawabku ringan dengan senyum terlepas nan bahagia.
“ gue tahu, pasti kak Jimmy
lagi ini. Kasihan banget kak Jimmy loe
manfaatin terus,” tambahnya lagi.
“ Eh...siapa juga yang manfaatin dia, kak Jim ikhlas kok bantu gue. Gue
minta bantuan juga ada imbalannya kok.” Tandasku untuk mematahkan
pernyataan yang menjatuhkan harga diri seorang Cintya yang baik, cantik nan
menawan ini.
Selang beberapa detik, yang kami nanti telah datang. Pak Juli dengan
kemeja hijau muda garis-garis plus celana jeans coklat menambah kesan aneh dan
nyentrik yang ada pada sosok pria ini. Salamnya memecah keriuhan kelas. Suasana
tegang mulai menyelimuti ruang yang cukup luas ini. Oksigen terasa sulit didapat,
jantung kami berdendang.
“ Selamat pagi semua... tolong Danny, kamu kumpulkan tugas teman-temanmu!
Lalu antarkan ke ruang Bapak segera.”
Danny yang duduk paling depan yang sedari tadi masih berkutat dengan buku
Biologinya tersentak kaget, “ Iya Pak. Segera saya akan bawa kesana”.
“ Maaf anak-anak, Bapak hari ini ada rapat mendadak di Dinas Pendidikan.
Jadi, kalain belajar sendiri dulu” berlalu meninggalkan kelas.
Betapa senangnya anak-anak, termasuk juga aku didalamnya. Jam pertama free. Riuh khas jam kosong memenuhi
seisi kelas. Aku dan kedua temanku memulai acara rutin jam kosong. Menjadi
pakar psikologi untuk para artis yang tengah mengahadapi kasus.
“ Eh... sist, tahu berita
terbaru Eyang Subur nggak? Ternyata
eh ternyata tuh kakek ajaib dari kota kite lho... Jombang”. Kata Silvia memulai
percakapan.
“ Trus... peduli apa kite-kite dengan daerah asal Si Kakek? Mending kita
peduliin pacar Nikita Willy yang lagi jadi mualaf atau abang Eza yang lagi
dapat hukuman berat dari pengadilan” Jawab Si rambut ikal.
“ Aduh... aduh... kenapa sih mikirin orang lain. Kita pikirin aja nasib
kita kelak. Sampai kapan kelas kita harus menjadi kelas terbawa? “ Sahutku
seperempat kesal.
Kamipun tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataanku. Memang bukan
rahasia lagi kalau diantara kelas X, kelas kami dapat predikat juru kunci
akibat Try Out semester lalu. Tapi, kami yakin betul bahwa hasil itu karena
mesin scanningnya saja yang rusak
agar kami tak terlampau malu dan merisaukan hal itu.
“ Tya, kenapa tadi malam kamu nggak
balas sms-ku sama sekali?” tanya sebuah suara yang tiba-tiba menghampiri kami
bertiga yang tengah asyik bercakap.
“ Devan ?” aku tersentak kaget.
“ Eh... pinjam Cintya dulu ya teman-teman,” menarik tanganku, membawaku
duduk di taman kelas.
Silvia dan Gea hanya memandangku dengan perasaan berat. Aku tahu kalau
mereka khawatir kalau-kalau aku akan terbujuk oleh Devan lagi dan lagi. Mereka
mengangguk kecil seakan mengatakan kalau mereka percaya padaku kali ini.
“ Kamu mau apa lagi ? Bukannya kamu udah dapet gantiku. Kenapa masih
ganggu aku sih” tanyaku kesal dengan muka masam padanya.
“ Kamu ngomong apa sih ? Cintaku cuma buat kamu Tya. Yang kemarin itu aku
benar-benar menyesal. Aku khilaf”.
Aku tahu betul berapa kali dia begini ke aku. Mengemis untuk mengiba
mengharap kepolosan atau kebodohanku memaafkannya. Tapi, kali ini tekadku
benar-benar sebulat donat.
“ Aku nggak peduli lagi,
terserah apapun yang kamu katakan”.
Wajahnya merah padam, tangannya hendak menamparku. Tapi seketika itu pula
ada tangan lain yang mencegahnya, Gio. Aku belum berani menatap pasti sosok
itu.
“ Jangan kasar sama cewek. Kayak anak kecil aja mukul cewek”, katanya
sembari meraih tanganku yang tengah menutup mata. “ ayo, Ci”.
Aku berhenti berkedip untuk beberapa saat, memastikan orang ini adalah
Gio. Benar dan betul kalau ini orang adalah ketua OSIS-ku. Jantungku berdegup
kencang, otakku seketika dipenuhi pesona Gio, peluhku menetes membasahi
wajahku, gugup mulai datang. Sampai Gio berhenti menarik tanganku, tepat
didepan kelasnya.
“ Ci, kamu jangan balik dulu ke kelas. Ntar takutnya Devan masih nunggu
kamu disitu, ayo duduk dulu disana”, menunjuk sebuah bangku dibawah pohon
mahoni.
Mengikuti langkah Gio, “ Makasih banget Kak, aku nggak tahu bakal gimana
tadi kalo nggak ada kakak”.
“ Ci ... bisa nggak kamu panggil aku nggak pake Kak, Kakak atau yang
lainnya. Panggil Gio aja, trus tadi itu aku cuma kebetulan lewat aja kok”
membalas pandanganku.
Mengangguk mantap, “Oke ... oke, kak... eh, maksudku Gio”.
Tersenyum manis menatapku, “ Kamu lucu Ci. Eh ... btw, gimana soal
sponsor acara minggu depan ? udah dapat ?”.
“ Ehm ... aku baru bisa mastiin besok Gio, soalnya konfirmasinya masih
ntar sore. Jadi habis bantuin kamu ntar aku langsung ke kantor calon sponsor
kita”. Jawabku pasti namun tetap dengan perasaan berdebar tak karuan.
Manggut-manggut dengan alis sebelah kanannya terangkat, “ Oke ... kalo
gitu ntar kesananya sama aku aja”,
Bel istirahatpun berdentang, aku berpamitan untuk meninggalkannya. Menuju
sweet class. Entah perasaan Ge-eR
atau memang ada yang lain aku juga belum tahu pasti, tapi bersama Gio membuatku
nyaman, tenang dan pastinya aman. Senyum mengembang tergambar nyata begitu saja
diwajahku.
Silvia menyapaku sambil melambaikan tangannya kearahku, “ Ci ... ci,
disini”.
“ Eh tampang loe kok seneng
banget sih, haaaayyyyooww ... ada apa ?” Gea menarik tanganku, menyuruhku
duduk. Wajah penasarannya membuatku geli dan semakin membuat senyumku semakin
lebar.
“ Wah ... ini anak aneh banget deh, jangan-jangan loe balikan sama Devan si playboy
itu ya”.
“ Ato jangan-jangan loe habis
dapat hadiah yang mahal dari Devan, pliiiissss .... Ci jangan lagi dong”.
Karena udah nggak tahan dengan tuduhan Silvia dan Gea, akhirnya aku buka
mulut. “ Hai ... guys, semua tudahan
kalian salah. Dan perlu dicatat baik-baik, kalo semua ini bukan karena Devan
gila itu. Gue ada inceran baru nih,
tahu siapa ?”.
Silvia dan Gea saling tatap, mengangkat bahu bersamaan.
“ Gio ... ketua OSIS”.
“ Aaaapa ?”. kata Silvia dan Gea bersamaan.
Akhirnya karena mereka nggak percaya sama sekali dengan pernyataanku, aku
menceritakan tentang Devan dan Gio yang menolongku.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar