BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Islam adalah agama yang sempurna. Dengan demikian
Islam telah mengatur cara hidup manusia dengan sistem yang serba lengkap.
diantaranya, bermuamalah kepada sesama manusia . Di antara muamalat yang
telah diterapkan kepada kita ialah Al Hiwalah.
Al Hiwalah merupakan sistem yang unik, yang sesuai
untuk diadaptasikan kepada manusia. Hal ini karena al Hiwalah sangat erat
hubungannya dengan kehidupan manusia . Al hiwalah sering
berlaku dalam permasalahan hutang piutang. Maka salah satu cara untuk
menyelesaikan masalah hutang piutang dalam muamalah adalah al
hiwalah.
Al Hiwalah bukan saja digunakan untuk menyelesaikan
masalah hutang piutang,akan tetapi bisa juga digunakan sebagai pemindah
dana dari individu kepada individu yang lain atau syarikat dan firma. sebagai
mana telah digunakan oleh sebagian sistem perbankan.
Dalam hal ini penulis berkesempatan untuk mengkaji
tentang al Hiwalah.yang berkaitan dengan definisi, dalil yang berkaitan,
rukun dan syarat. Penulis juga akan membicarakan mengenai al Hiwalah di dalam
sistem perbankan dan hal lain yang berkaitan dengan hiwalah.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat
ditentukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa definisi
Hawalah ?
2.
Apa landasan akad
Hawalah ?
3.
Apa rukun
Hawalah ?
4.
Apa syarat
Hawalah ?
5.
Apa saja jenis
Hawalah ?
6.
Bagaimana
berakhirnya Hawalah ?
C.
TUJUAN
Dari rumusan
masalah tersebut ditentukan tujuan berikut, yaitu:
1.
Mengetahui definisi
Hawalah.
2.
Mengetahui landasan
akad Hawalah.
3.
Mengetahui rukun
Hawalah.
4.
Mengetahui
syarat Hawalah.
5.
Mengetahui
jenis-jenis Hawalah.
6.
Mengetahui
penyebab berakhirnya Hawalah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Hawalah
Secara bahasa hawalah atau hiwalah bermakna
berpindah atau berubah. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak
dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah para fukoha hawalah adalah
pemindahan atau pengalihan penagihan hutang dari orang yang berhutang kepada
orang yang menanggung hutang tersebut. Batasan ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Misalnya A meminjamkan sejumlah uang kepada B dan B sebelumnya telah
meminjamkan sejumlah uang kepada C. Untuk lebih menyederhanakan persoalan, kita
asumsikan bahwa hutang C pada B sama jumlahnya dengan hutang B pada A. Ketika A
menagih hutang kepada B, ia mengatakan kepada A bahwa ia memiliki piutang yang
sama pada C. Karena itu B memberitahukan kepada A dan ia dapat menagihnya
kepada C dengan catatan ketiga-tiga orang itu menyepakati perjanjian hawalah
dahulu.
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah
ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan.
Maka Abdurrahman al-Jaziri, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiwalah
menurut bahasa ialah:
النّقل
من محلّ إلى محل
Artinya:
“Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.”[1]Sedangkan pengertian hiwalah
menurut istilah para ulama berbeda beda pendapat antara lain sebagai berikut:
1. Menurut hanafiyah yang di maksud hiwalah adalah
Hiwalah adalah memindahkan tuntunan atas utang dari
tanggungan yang berutang ( mudin) kepada tanggungan multazim.
معنى
الحوالة
لغة:
الحوالة من التحويل و هي بفتح الحاء وقد تكسر قال ابن حجر رحمه الله:(وهي مشتقة من
التحويل, او من الحول : حال عن العهد اذا انتقل اليه) اصطلاحا: نقل دين من ذمة الى
ذمة اخرى[2]
2. Menurut ibnu hajar yang di maksud dengan hiwalah
adalah:
“ akad yang menetepkan pemindahan beban utang dari
seorang kepada yang lain”
3. Menurut Muhammad syatha al dimyati yang
dimaksud dengan hiwalaha adalah:
“akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban
seseorang menjadi beban orang lain”
4. Menurut Sayid sabiq yang dimaksud dengan hiwalah
adalah :[3]
“Hiwalah adalah pemindahan utang dari tanggungan
orang yang memindahkan (al muhil ) kepada tanggungan orang yang di pindahiutang
(muhal alaih)
Dari
defenisi di atas tersebut dapat disimpulkan bahwa hiwalah adalah pemindahan hak
berupa utang dari orang yang berutang (al muhil) kepada orang lain yang
dibebani tanggungan pembayaran utang tersebut.[4]
2.2
Dasar Hukum Hawalah
Pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan oleh
syariah dan telah dipraktekkan oleh kaum Muslimin dari zaman Nabi Muhammad SAW
sampai sekarang. Dalam al-Qur'an kaum Muslimin diperintahkan untuk saling
tolong menolong satu sama lain, lihat al-Qur'an : 5: 2. Akad hawalah merupakan
suatu bentuk saling tolong menolong yang merupakan manifestasi dari semangat
ayat tersebut.
a.
Al-qur’an
öNåkâ:|¡øtrBur
$Wß$s)÷r& öNèdur ×qè%â 4 öNßgç6Ïk=s)çRur |N#s
ÈûüÏJuø9$#
|N#sur ÉA$yJÏe±9$#
( Oßgç6ù=x.ur
ÔÝÅ¡»t/ Ïmøtã#uÏ
ÏϹuqø9$$Î/ 4 Èqs9 |M÷èn=©Û$# öNÍkön=tã |Mø©9uqs9 óOßg÷YÏB
#Y#tÏù
|Mø¤Î=ßJs9ur öNåk÷]ÏB
$Y6ôãâ ÇÊÑÈ y7Ï9ºx2ur
óOßg»oY÷Wyèt/ (#qä9uä!$|¡tGuÏ9
öNæhuZ÷t/ 4 tA$s%
×@ͬ!$s%
öNåk÷]ÏiB öN2 óOçFø[Î6s9 ( (#qä9$s%
$uZø[Î7s9 $·Böqt ÷rr& uÙ÷èt/ 5Qöqt 4 (#qä9$s%
öNä3/u
ÞOn=ôãr&
$yJÎ/
óOçFø[Î6s9 (#þqèWyèö/$$sù
Nà2yymr& öNä3Ï%ÍuqÎ/ ÿ¾ÍnÉ»yd n<Î)
ÏpoYÏyJø9$# öÝàZuù=sù
!$pkr&
4x.ør&
$YB$yèsÛ
Nà6Ï?ù'uù=sù 5-øÌÎ/
çm÷YÏiB ô#©Ün=tGuø9ur
wur ¨btÏèô±ç öNà6Î/ #´ymr& ÇÊÒÈ
QS Al-Kahfi
(18:19). dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di
antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa
lamakah kamu berada (disini?)”. mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari
atau setengah hari”. berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui
berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara
kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia
Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu
untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali
menceritakan halmu kepada seorangpun.
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
QS
Al-Baqarah (2:283). jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang[1] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan
Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yÌã $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqã ª!$# !$yJåks]øt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã #ZÎ7yz ÇÌÎÈ
QS
An-Nisaa (4:35). dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
Maka kirimlah seorang hakam[2] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal
QS Yusuf
(12:55). berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir) ;
Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”.
b.
Hadist
Banyak hadits yang
dapat dijadikan landasan keabsahan Wakalah, diantaranya:
1. “Bahwasanya Rasulullah
mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya mengawini
Maimunah binti Al Harits”. HR. Malik dalam al-Muwaththa’)
2. “Perdamaian dapat dilakukan di
antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR
Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)
Dalam kehidupan
sehari-hari, Rosulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai
urusan. Diantaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan
membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lain.
c.
As Sunnah
Rasulullah SAW bersabda
: " Menunda-nunda pembayaran hutang dari orang yang mampu membayarnya
adalah perbuatan zalim. Dan apabila salah seorang dari kamu dipindahkan
penagihannya kepada orang lain yang mampu, hendaklah ia menerima." H. R.
Ahmad dan Abi Syaibah. Semangat yang dikandung oleh hadis ini menunjukkan
perintah yang wajib diterima oleh orang yang dipindahkan enagihannya kepada
orang lain. Karena itu menurut Imam Ahmad dan Dawud adh-Dhohiri orang yang
dipindahkan hak penagihannya wajib menerima akad hawalah. Hanya saja umhur
ulama tidak mewajibkan hal itu dan menakwilkan kata perintah dalam hadis ini
mempunyai kedudukan hukum sunnah atau dianjurkan saja, bukan sebagai suatu
kewajiban yang harus diikuti.
Hiwalah merupakan suatu
akad yang dibolehkan oleh syara’ karena dibutuhkan oleh masyarakat.hal
ini didasarkan pada hadis nabi yang diriwayatkan dari abu hurairah bahwa rasul
saw bersabda.[5]
مطل الغنيُ ظلم, وإذاأتبع احدكم على ملئ فليتبع
Artinya: Menunda – nunda
pembayaran oleh orang kaya adalah penganiayaan, dan apabila salah seorang
diantara kamu di ikutkan ( dipindahkan) kepada orang yang mampu maka ikutilah (
HR bukhori dan mislim)[6]
Pada hadist tersebut
rasulullah memberitahukan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang
berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya / mampu hendaklah ia menerima
hiwalah tersebut dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihiwalahkan (muhal
alaih) dengan demikian haknya dapat terpenuhi.
d.
Ijma’
Pada prinsipnya para
ulama telah sepakat dibolehkannya akad hawalah ini. Hawalah yang mereka
sepakati adalah hawalah dalam hutang piutang bukan pada barang konkrit. Hawalah
dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang / benda, karena hawalah
adalah pemindahan utang, oleh karena itu harus pada utang atau kewajiban fiannsial.[7]
e.
FATWA DSN NO.
12/ DSN – MUI/ 1V/2000 tentang rukun hiwalah.
2.3
Rukun Hawalah
Menurut madzhab Hanafi rukun hawalah ada dua yaitu
ijab yang diucapkan oleh Muhil dan qobul yang diucapkan oleh Muhal dan Muhal
alaih. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun hawalah ada enam macam yaitu:
a.
Muhil ( orang
yang memindahkan penagihan yaitu orang yang berhutang).
b.
Muhal ( orang
yang dipindahkan hak penagihannya kepada orang lain yaitu orang yang mempunyai
piutang).
c.
Muhal alaih (
orang yang dipindahkan kepadanya objek penagihan).
d.
Muhal bih (hak
yang dipindahkan yaitu hutang).
e.
Piutang Muhil
pada Muhal alaih.
f.
Shighot (ijab
dan kabul).
Dalam contoh di atas Muhil adalah B, Muhal adalah A
dan Muhal alaih adalah C. Dalam akad hawalah Ijab yang diucapkan oleh Muhil
mengandung pengertian pemindahan hak penagihan, umpamanya ia berkata kepada A :
Aku pindahkan (hawalahkan) hak penagihanmu terhadap hutang saya kepada C.
Sementara itu A dan C menyetujui dengan mengucapkan " Kami setuju".
Dengan demikian akad hawalah tersebut dapat dilaksanakan dengan masing-masing
pihak puas dan rela.
2.4
Syarat-syarat Hawalah
1.
Syarat muhil
a.
Muhil harus aqil
dan baliq , hiwalah yang dilakukan oleh orang yang mengalami ngangguan jiwa dan
anak yang belum berakal adalah tidak sah. Karena akal merupakan syarat dalam
bertindak.
b.
Adanya kerelaan
muhil, kalau muhil dipaksa maka hawalah tidak syah.
2.
Syarat muhal
a.
Muhal harus
aqil( berakal sehat) karena Kabul merupakan salah satu rukun dalam akad
hiwalah. Seorang yang tidak berakal tidak boleh melakukan akad,dari muhal
juga di syaratkan sudah balig, bila ia belum balig maka di perlukan
adanya izin dari walinya.
b.
Adanya kerelaan
muhal, tidak sah hawalah bila muhal di paksa
c.
Qabul muhal ,
harus pada majelis hawalah, seandainya muhal tidak berada dalam majelis akad,
lalu berita akd itu sampai kepadanya, ia boleh menolak, sehingga akad itu tidak
sah.[8]
3.
Syarat muhal bih
a.
Adanya hutang
muhal alaih kepada muhil, kalau tidak ada hutang dalam hal ini, maka akad yang
dilakukan itu adalah sebagai wakalah bukan sebagai hawalah
b.
Hutang harus
sesuatu yang lazim atau mengikat, setiap hutang yang tidak sah kafalah (
jaminan) nya, maka tidak sah pula untuk dijadikan hawalah.
c.
Adanya hutang
muhal alaih kepada muhil sebelum akad tidak dianggap sebagai syarat sah hawalah
bagi ulama mazhab hanafi. Hawalah dianggap sah, baik ada hutang muhal alaih
kepada muhil atau pun tidak.[9]
2.5
Jenis-jenis
Hawalah
2.5.1
Hawalah
Muthlaqoh
Ini
terjadi jika seseorang memindahkan hutangnya agar ditanggung muhal alaih,
sedangkan ia tidak mengaitkannya dengan hutang piutang mereka, sementara muhal
alaih menerima hawalah tersebut.
Ulama
selain mazhab hanafi tidak membolehkan hiwalah semacam ini. Sebagian ulama
berpendapat pengalihan utang secara muthlaq ini termasuk kafaah madhdah
(jaminan), untuk itu harus didasarkan ketiga belah pihak, yaitu orang yang
mempunyai piutang, orang yang berhutang dan orang yang menanggung utang.[10]
2.5.2
Hawalah muqayyadah
Ini
terjadi jika orang yang berhutang memindahkan beban hutangnya tersebut
pada muhal alaih dengan mengaitkannya pada hutang muhal alaih padanya.inilah
hawalah yang dibolehkan berdasarkan kesepakatan ulama. Namun kedua macamhiwalah
tersebut dibolehkan berdasarkanhadist nabi yang diriwayatkan oleh abu hurairah.[11]
2.5.3
Hawalah al haq
Pemindahan
hak atau piutang dari seorang pemilik piutang lainnya biasanya itu dilakukan
bila pihak pertama mempunyai hutang kepada pihak kedua ia membayar utangnya
tersebut dengan piutannya pada pihak lain. Jika pembayaran barang/ benda, maka
perbuatantersebut dinamakan sebagai hawalah hak. Pemilik piutang dalam hal ini
adalah muhil, karena dia yang memindahkan kepada orang lain untuk memindahkan
haknya.
2.5.4
Hawalah al dain
Lawan dari lawan al haq. Hawalah ad dain adalah
pengalihan utang dari seorang penghutang kepada penghutang lainnya. Ini
dapat dilakukan karena penghutang pertama masih mempunyai piutang pada
penghutangkedua. Muhil dalam hawalah ini adalah orang yang berutang, karena dia
memindahkan kepada orang lain untuk membayar hutangnya. Hiwalah ini di
syariatkanberdasarkan kesepakatan ulama.[12]
2.6
Berakhirnya Akad
Hawalah
Akad
hawalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini.
1.
Fasakh
Apabila akad hiwalah
telah fasakh ( batal) , maka hak muhal untuk menuntut utang kembali kepada
muhil, pengertian fasakh dalam istilah fukaha adalah berhentinya akad sebelum
tujuana akad tercapai.
2.
Hak muhal (utang)
sulit untuk dapat kembali karena muhal alaih meninggal dunia, boros, (safih)
atau lainnya, dalam keadaan semacam ini dalam urusan penyelesaian utang kembalikepada
muhil. Pendapat ini dikemukakan oleh hanafiah, akan tetapi menurut malikiyah,
syafi’iah, hanabilah. Apabila akad hiwalah sudah sempurnadan hak sudah
berpindah serta di setujuioleh muhal maka hak penagihan tidak kembali kepada
muhil, baik hak tersebut bisa dipenuhi atau tidak karena meninggalnya muhal
muhal alaih atau boros. Apabila dalam pemindahan utang tersebut terjadi gharar
(penipuan) menurut malikiyah, hak penagihan utang kembali kepada muhil.
3.
Penyerahan harta
oleh muhal alaih kepada muhal.
4.
Meninggalnya
muhal atau muhal alaih mewarisi harta hiwalah.
5.
Muhal
menghibahkan hartanya kepada muhal alaih dan ia menerimanya.
6.
Muhal
menyerahkan hartanya kepada muhal alaih dan dia menerimanaya
7.
Muhal
membebaskan muhal alai.[13]
2.7
Hukum Yang
Terkait Dengan Hawalah
Apabila
hawalah telah dilaksanakan dan berjalan sah, maka tanggungan muhil menjadi
gugur. Andaikata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah,
atau meninggal dunia, muhal tidak boleh lagi menuntut muhil, demikian pendapat
mayoritas ulama.[14]
Namun
sebagian ulama lain mengatakan, bahwa orang yang menghutangkan, bahwa
orang yang menghutangkan ( muhal) dapat kembali lagi kepada muhil , seandainya
muhal alaih meninggal dunia, bangkrut, atau mengingkari hawalah.
Sebagian
ulama berpendapat jika muhil telah menipu muhal, karena ia menghiwalahkan
kepada orang yang kafir, maka tanggungan muhil kepada muhal tidak gugur. Muhal
boleh menagih kembali kepada muhil untuk mengembalikan piutangnya.
Muhal
mempunyai kewenangan untuk menuntut atau menagih muhal alaih atas hutang
muhilkepada muhal. Alasannya hawalah adalah mengalihkan utang kepada muhal
alaih dengan hutang yang dalam tanggungannya.[15]
2.8
Aplikasi Dalam
Perbankan
Kontrak
hiwalah dalam perbankan biasanya diterapkan dalam :
1. Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah
yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada pihak
bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya kepada pihak
ketiga.
2. Post- dated check , dimanabank bertidak sebagai juru
tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
3. Bill discounting, secara prinsip bill
discountingserupa dengan hawalah. Hanya saja nasabah harus membayarkann fee,
sementara fee tidak didapati dalam kontak hawalah
Tujuan
fasilitas hiwalah adalah untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar
dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan
piutang . untuk mengantisipasi kerugian yang timbul, bank perlu melakukan
penelitian atas kemampuan pihak yang berutangdan kebenaran transaksi antara
yang memindahkan piutang dengan yang berutang.[16]
2.9
Manfaat
Hawalah
1. Memungkinkan peneyelesaian hutang dan piutang dengan
cepat dan simultan.
2. Tersedianya talangan untuk hibah bagi yang
membutuhkan.
3. Dapat menjadi salah satu based income / sumber
pendapatan non pembiayaan bagi bank syariah.
Adapu
resiko yang harus diwaspadai dari kontak hawalah adalah adanya kecurangan
nasabah dengan memberi invoice palsu atau wanprestasi ingkar janji untuk
memenuhi kewajiban hawalah ke bank.[17]
BAB III
PENUTUP
·
KESIMPULAN
1.
Pengertian
hiwalah
Menurut bahasa,
yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah
memindahkan atau mengoperkan. Maka Abdurrahman al-Jaziri, berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa ialah: ( terjemah)
النّقل
من محلّ إلى محل
Artinya:
“Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain
Menurut
istilah hiwalah adalah pemindahan hak berupa utang dari orang yang berutang (
al muhil) kepada orang lain yang dibebani tanggungan pembayaran utang tersebut.
2.
Dasar hukum
hiwalah
* Sunnah
* Ijma’
* FATWA DSN NO, 12/ DSN
– MUI/ 1V/2000
3.
Rukun wiwalah
a.
Muhil ( orang
yang berutang dan berpiutang)
b.
Muhal ( yaitu
orang yang berpiutang
c.
Muhal alaih (
orang yang berhutang dan berkewajiban membayar utang kepada muhal)
d.
Muhal bih (
hutang muhil kepada muhal)
e.
Utang muhal
alaih kepada muhil
f.
Shigat
4.
Syarat sahnya
hiwalah
1)
Syarat muhil
2)
Syarat muhal
3)
Syarat muhal bih
5.
Jenis – jenis
hiwalah
1.
Hawalah
muthlaqah
2.
Hawalah
muqayyadah
3.
Hawalah al haq
4.
Hawalah al dain
6.
Aplikasi dalam
perbankan
1.
Factoring atau
anjak piutang
2.
Post dated check
3.
Bill discounting
[1]
Hendi
suhendi , fiqih muamalah. ( Jakarta: raja grafindo persada 2002) hlm 99
[2] Abu abdul rahman adil
bin yusuf al azzazi, darul aqidah
[3]
Ahmad
wardi muslich fiqih muamalah (Jakarta: AMZAH 2010)hlm 448
[4]
Ibid., 249
[5]
Muhammad
safi’I Antonio,bank syariah wacana ulama dan cendekiawan( Jakarta: alvabet 1999)
hlm202
[7]
Muhammad
heykal,lembaga keuanagn islam tinjauan teoritis dan praktis( jakarta: nurul
huda,2010) hlm103
[9]
Ibid
[10]
As
carya, akad dan produk bank syariah ( Jakarta: raja wali pers, 2006) hlm 26
[11] Muhammad
tahil mansuri,islamic law of contract and bussines and transaction ( new delhi:
adam publishers and distributors, 2006) hlm 305
[12] Muhammad
tahil mansuri,islamic law of contract and bussines and transaction ( new delhi:
adam publishers and distributors, 2006) hlm 305
[13]
Ahmad
wardi muslich, fiqih muamalah (Jakarta: AMZAH 2010) hlm 452
[14]
Jamil
ukud, al fiqh ala al mazahib, al maktabah ats saqofah ad diniyah jilid 3
[16]
Adi
warman karim, bank islam ( Jakarta:raja wali pers, 2004) hlm 105
[17]
Muhammad
safi’I Antonio,bank syariah wacana ulama dan cendekiawan( Jakarta: alvabet
1999) hlm 209
Tidak ada komentar :
Posting Komentar