ILMU EKONOMI
A. Pengertian Ilmu Ekonomi dan Ruang Lingkupnya
Istilah ‘ekonomi’ berasal dari bahasa Yunani asal kata ‘oikosnamos’ atau
oikonomia’ yang artinya ‘manajemen urusan rumah-tangga’, khususnya
penyediaan dan administrasi pendapatan. (Sastradipoera, 2001: 4). Namun sejak
perolehan maupun penggunaan kekayaan sumberdaya secara fundamental perlu
diadakan efesiensi termasuk pekerja dan produksinya, maka dalam bahasa
modern istilah ‘ekonomi’ tersebut menunjuk terhadap prinsip usaha maupun
metode untuk mencapai tujuan dengan alat=alat sesedikit mungkin. Di bawah ini
akan dijelaskan beberapa definisi tentang ilmu ekonomi.
Menurut Albert L. Meyers (Abdullah, 1992: 5) ilmu ekonomi adalah ilmu
yang mempersoalkan kebutuhan dan pemuasan kebutuhan manusia. Kata kunci
dari definisi ini adalah; pertama, tentang “kebutuhan” ⎯ yaitu suatu keperluan
manusia terhadap barang-barang dan jasa-jasa yang sifat dan jenisnya sangat
bermacam-macam dalam jumlah yang tidak terbatas. Kedua, tentang” pemuas
kebutuhan” yang memiliki ciri-ciri “terbatas” adanya. Aspek yang kedua inilah
menurut Lipsey (1981: 5) yang menimbulkan masalah dalam ekonomi, yaitu
karena adanya suatu kenyataan yang senjang, karena kebutuhan manusia terhadap
barang dan jasa jumlahnya tak terbatas, sedangkan di lain pihak barang-barang
dan jasa-jasa sebagai alat pemuas kebutuhan sifatnya langka ataupun terbatas.
Itulah sebabnya maka manusia di dalam hidupnya selalu berhadapan dengan
kekecewaan maupun ketidakpastian. Definisi ini nampaknya begitu luas sehingga
kita sulit memahami secara spesifik.
Ahli ekonomi lainnya yaitu J.L. Meij (Abdullah, 1992: 6) mengemukakan
bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu tentang usaha manusia ke arah kemakmuran.
Pendapat tersebut sangat realistis, karena ditinjau dari aspek ekonomi di mana
manusia sebagai mahluk ekonomi (Homo Economicus) pada hakekatnya
mengarah kepada pencapaian kemakmuran. Kemakmuran menjadi tujuan sentral
dalam kehidupan manusia secara ekonomi, sesuai yang dituliskan pelopor
“liberalisme ekonomi” oleh Adam Smith dalam buku “An Inquiry into the Nature
and Cause of the Wealth of Nations” tahun 1976. Namun dengan cara bagaiman
manusia itu berusaha mencapai kemakmurannya ? Dalam definisi yang
dikemukakan Meij memang tidak dijelaskan.
Kemudian Samuelson dan Nordhaus (1990: 5) mengemukakan “Ilmu
ekonomi merupakan studi tentang perilaku orang dan masyarakat dalam memilih
cara menggunakan sumber daya yang langka dan memiliki beberapa alternatif
penggunaan, dalam rangka memproduksi berbagai komoditi, untuk kemudian
menyalurkannya ⎯ baik saat ini maupun di masa depan ⎯ kepada berbagai
individu dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat. Menurut Samuelson 2
bahwa ilmu ekonomi itu merupakan ilmu pilihan. Ilmu yang mempelajari
bagaimana orang memilih penggunaan sumber-sumber daya produksi yang langka
atau terbatas untuk memproduksi berbagai komoditi, dan menyalurkannya ke
berbagai anggota masyarakat untuk segera dikonsumsi. Jika disimpulkan dari tiga
pendapat di atas walaupun kalimatnya berbeda, namun tersirat bahwa pada
hakikatnya ilmu ekonomi itu merupakan usaha manusia untuk memenuhi
kebutuhannya dalam mencapai kemakmuran yang diharapkan, dengan memilih
penggunaan sumber daya produksi yang sifatnya langka/terbatas itu. Dengan kata
lain yang sederhana bahwa ilmu ekonomi itu merupakan suatu disiplin tentang
aspek-aspek ekonomi dan tingkah laku manusia.
Secara fundamental dan historis, ilmu ekonomi dapat dibedakan menjadi
dua, yakni ilmu ekonomi positif dan normatif (Samuelson dan Nordhaus, 1990:
9). Jika ilmu ekonomi positif hanya membahas deskripsi mengenai fakta, situasi
dan hubungan yang terjadi dalam ekonomi. Sedangkan ilmu ekonomi normatif
membahas pertimbangan-pertimbangan nilai dan etika, seperti haruskan sistem
perpajakan diarahkan pada kaidah mengambil dari yang kaya untuk menolong
yang miskin? Lebih jelasnya Sastradipoera, 2001: 4, mengemukakan.
Ilmu konomi positif merupakan ilmu yang hanya melibatkan diri
dalam masalah ‘apakah yang terjadi’ Oleh karena itu ilmu
ekonomi positif itu netral terhadap nilai-nilai. Artinya ilmu
ekonomi positif itu ‘bebas nilai’ (value free atau wetfrei)…hanya
menjelaskan ‘apakah harga itu’ dan ‘apakah yang akan terjadi
jika harga itu naik atau turun’ bukan ‘apakah harga itu adil atau
tidak’…Ilmu ekonomi normative, bertentangan dengan ilmu
positif, ilmu ekonomi normatif beranggapan bahwa ilmu
ekonomi harus melibatkan diri dalam mencari jawaban atas
masalah ‘apakah yang seharusnya terjadi’. Esensi dasar ilmu
ekonomi adalah pertimbangan nilai (value judgment). Seorang
ekonom penganut etika puritan egalitarianisme, Gunnar Myrdal
(1898-1987) lebih suka menyebutnya ‘ilmu ekonomi
institusional’.
Ilmu ekonomi sebagai bagian dari ilmu sosial, tentu berkaitan dengan
bidang-bidang disiplin akademis lainnya, seperti ilmu politik, psikologi,
antropologi, sosiologi, sejarah, geografi, dan sebagainya. Sebagai contoh
kegiatan-kegitan politik seringkali dipenuhi dengan masalah-masalah ekonomi,
seperti kebijaksanaan proteksi terhadap industri kecil, undang-undang
perapajakan, dan sanksi-sanksi ekonomi. Ini artinya bahwa kegiatan ekonomi
tidak dapat dipisahkan dari kegitan-kegiatan plitik (Abdulah, 1992: 6).
Sebagai disiplin yang mengkaji tentang aspek ekonomi dan tingkah laku
manusia, artinya juga mengkaji peristiwa-peristiwa ekonomi yang terjadi di
dalam masyarakat. Dan perlu diketahui, bahwa mengkaji peristiwa-peristiwa
ekonomi, tujuannya adalah berusaha untuk mengerti hakikat dari peristiwa-
peristiwa tersebut yang selanjutnya untuk dipahaminya. Dengan demikian dapat
dikemukakan bahwa tujuan ilmu ekonomi itu untuk: (1) mencari pengertian
tentang hubungan peristiwa-peristiwa ekonomi, baik yang berupa hubungan 3
kausal maupun fungsional. (2) untuk dapat menguasai masalah-masalah ekonomi
yang dihadapi oleh masyarakat. (Abdullah, 1992:7).
Ilmu ekonomi juga memiliki keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya.
Walaupun kita ketahui dalam ilmu ini telah digunakan pendekatan-pendekatan
kuantitatif-matematis, tetapi pendekatan-pendekatan tersebut tidak dapat
menghilangkan keterbatasan-keterbatasannya yang melekat pada ilmu ekonomi
sebagai salah satu cabang ilmu sosial. Menurut Abdullah, (1992: 8), keterbatasan-
keterbatasan tersebut mencakup:
(1) Objek penyelidikan ilmu ekonomi tidak dapat dilokalisasikan. Sebagai
akibatnya kesimpulan atau generalisasi yang diambilnya bersifat
kontekstual (akan terikat oleh ruang dan waktu).
(2) Dalam ilmu ekonomi manusia selain berkedudukan sebagai subjek
yang menyelidiki, juga objek yang diselidiki. Oleh karena itu hasil
penyelidikannya yang berupa kesimpulan ataupun generalisasi, tidak
dapat bersifat mutlak, di mana unsure-unsur subjeknya akan mewarnai
kesimpulan tersebut.
(3) Tidak ada laboratorium untuk mengadakan percobaan-percobaan.
Sebagai akibatnya ramalan-ramalan ekonomi sering kurang tepat.
(4) Ekonomi hanya merupakan salah satu bagian saja dari seluruh program
aktivitas di suatu negara. Oleh karena itu apa yang direncanakan (ex-
ante) dan kenyataannya (ex-post) sering tidak sejalan.
Sehubungan dengan keterbatasan-keterbatasannya tersebut, maka sebagai
akibatnya sifat keberlakuan generalisasinya yang berupa dalil-dalil atau hukum-
hukum dan teori-teorinya akan tergantung kepada konteks ruang dan waktu serta
tidak mutlak. Jadi sifat keberlakuan dalil-dalil atau hokum-hukumnya adalah
bersyarat. Yaitu bila yang lainnya tidak berubah Syarat ini bisa disebut juga
dengan “Cateris Paribus”. Hal ini disebabkan oleh hukum-hukum ekonomi
merupakan pernyataan-pernyataan tentang tendensi-tendensi ekonomi. Ia
merupakan hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku sosial
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, di mana tingkah laku tersebut
juga dipengaruhi atau tergantung kepada situasi dan kondisi yang berlaku pada
suatu saat. Jadi ilmu ekonomi sebagai bagian dari ilmu sosial tetap tidak dapat
melepaskan dirinya dari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh ilmu sosial.
Ditinjau dari ruang-lingkup/cakupannya, ilmu ekonomi juga dapat
dibedakan atas makroekonomi dan mikroekonomi (Samuelson dan Nordhaus,
1990: 99). Istilah ”makroekonomi” itu sendiri untuk pertama kali diperkenalkan
oleh Ragnar Frisch pada tahun 1933, untuk diterapkan pada studi mengenai
hubungan antar agregat ekonomi yang bersifat luas, seperti; pendapatan nasional,
inflasi, pengangguran agregat, neraca pembayaaran (Taylor, 2000: 597). Perlu
diketahui bahwa pada masa sebelumnya, sasaran kebijakan kamroekonomi adalah
kesempatan kerja full employment (kondisi di mana seluruh sumber daya,
khususnya tenaga kerja, bisa terserap sepenuhnya) dan stabilitas harga. Stabilitas
ouput dari dari tahun ke tahun ⎯ untuk menghindari ledakan pertumbuhan atau
resesi yang sangat parah ⎯ merupakan sasaran tambahan. Tetapi, tingkat
pertumbuhan output pada jangka waktu yang lebih panjang, tergantung pada
banyak faktor ⎯ seperti teknologi, pelatihan, dan insentif ⎯ yang cenderung 4
termasuk dalam ”sisi penawaran” atau kebijakan mikroekonomi. Dalam
perekonomian yang terbuka, baik posisi neraca pembayaran (balance of payment)
atau pola tingkat pertukaran di pasar pertukaran valuta asing dapat dipandang
sebagai tujuan yang terpisah dari kebijakan makroekonomi atau sebagai suatu
halangan terhadap operasional makroekonomi (Britton, 2000: 596).
Dalam hal ini instrumen kebijakan makroekonomi adalah moneter dan
fiskal. Kebijakan moneter dilaksanakan oleh bank sentral, sebagai contoh oleh
Bank Indonesia. Ketat/tidaknya kebijakan ini dapat diukur dari tingkat suku bunga
riil (yaotu suku bunga nominal dikurangi tingkat inflasi) atau melalui pertunbuhan
penawaran uang (yang didefinisikan secara berbeda-beda)> Salah satu keuntungan
kebijakan moneter sebagai alat untuk mempengaruhi perekonomian adalah
berbeda dari kebijakan fiskal., kebijakan ini bisa dikaji ulang dan diubah secara
kontinu berdasarkan informasi baru (Britton, 2000: 596).
Sedangkan kebijakan fiskal adalah perpajakan dan pembelanjaan
masyarakat yang dikontrol oleh pemerintah yang tunduk pada ketentuan-
ketentuan yang telah mendapat engesahan dari badan legislatif. Pajak dan
pembelanjaan mempengaruhi perekonomian melalui cara yang berbeda-beda,
tetapi ’kebijakan fiskal’ dalam konteks saat ini adalah efek bujet sebagai suatu
keseluruhan terhadap tingkat agregat permintaan dalam perekonomian. Kecuali
dalam situasi darurat, kebijakan fiskal biasanya diubah sekali setahun.
Kegunaannya dalam mengatur perekonomian juga ditentukan oleh kemampuan
dalam menangani anggaran publik itu sendirisecara bijaksana (Britton, 2000:
596).
Penggunaan pinjaman publik dan tingkat suku bunga untuk menstabilkan
perekonomian diterima sebagai suatu prinsip kebijakan pada tahun 1950-an dan
1960-an, seiring dengan gagasan Maynard Keynes yang telah mengubah banyak
prinsip ekonomi. Selanjutnya, di tahun 1970-an dan 1980-an muncullah neo klasik
atau kontra revolusi monetaris yang berasal dari Chicago dan dipimpin Milton
Frriedman. Isu yang mendasar dalam perdebatan ini berkaitan dengan hubungan
antara dua tujuan dari full employment dan stabilitas harga. Hal ini dimungkinkan
(melalui pemotongan pajak atau pemotongan tingkat suku bunga), untuk
meningkatkan ketenagakerjaan dalam jangka pendek tanpa harus membuat inflasi
meningkat cepat. Namun, dalam jangka apanjang argumentasi neo klasik
menyatakan bahwa situasi ini tidak bisa berbalik (dengan tingkat pengangguran
kembali pada level ”alamiah” dan tidak ada yang bisa ditunjukkan untuk
kebijakan perluasan kecuali terjadinya inflasi yang lebih tinggi.
Menurut Britton (2000: 597), tidak bisa dipungkiri, dalam praktiknya
catatan kebijakan makroekonmi sejak tahun 1970-an lebih banyak mengalami
kegagalan dibandingkan keberhasilan. Inflasi meningkat tajam di sebagian besar
negara, terutama pada periode kenaikan harga minyak dunia yang paling dramatis,
1974 dan 1979. Sejak tahun 1980-an inflasi lebih rendah, tetapi pada saat
bersamaan pengangguran di banyak negara jauh lebih tinggi. Respons terhadap
berbagai kekecewaan ini telah mengarahkan pada tindakan memperkenalkan
desain kebijakan baru untuk meningkatkan ”saling tukar” (trade off) antara dua
sasaran. Di tahun 1970-an, khususnya di Inggeris, penekanannya yang utama
adalah kebijakan harga dan penghasilan. Pendekatan lain, yang berlanjut hingga 5
tahun 1990-an, melibatkan tindakan-tindakan ketenagakerjaan khusus yang
dirancang untuk membantu pengaturan secara langsung dengan cara memberikan
pelatihan atau mencarikan lowongan pekerjaan yang sesuai untuk mereka.
Ini sangat berbeda dengan studimengenai unit-unit pengambilan keputusan
individual dalam perekonomian seperti rumah tangga, pekerja dan perusahaan,
yang secara umum dikenal dengan sebutan mikroekonomi. Sebagai contoh
ekonomi mikro meneliti determinasi harga terhadap beras, atau harga relatif beras
dan baja atau employment dalam industri baja, sementara ekonomi makro
berurusan dengan determinasi tingkat employment dalam suatu perekonomian
khusus, atau dengan tingkat harga dari seluruh komoditas. Kendati perbedaan
antara dua bidang analisis ekonomi ini berguna untuk berbagai tujuan.
Perkembangan ekonomi mikro sebagai suatu bidang tersendiri, merupakan
bagian dari pendekatan marjinal atau neo klasik yang mulai mendominasi teori
ekonomi setelah tahun 1970-an. Berbeda dengan ekonomo klasik, yang menyoroti
pertumbuhan ekonomi negara akibat pertumbuhan sunber daya produktif
mereka, serta menjelaskan harga relatif barang berdasarkan kondisi-kondisi
obyektif dari biaya-biaya produksinya. Dalam teori neo klasik mengarahkan
perhatiannya pada alokasi sumber daya yang tersedia secara efektif (dengan
asumsi implisit mengenai fullemployment) dan pada determinasi ’subyektif’
terhadap harga-harga individual yang berdasarkan pada kegunaan marjinal
(Asimakopulos, 2000: 660).
Terdapat enam topik yang sering dipresentasikan dalam ekonomi mikro,
yakni; (1) teori perilaku konsumen, (2) teori pertukaran, (3) teori produksi dan
biaya, (4) teori perusahaan, (5) teori distribusi, dan (6) teori ekonomi
kesejahteraan (Asimakopulos, 2000: 661). Tema umum yang mendasari semua
topik tersebut adalah upaya dari para aktor individual untuk meraih suatu posisi
yang optimal, dengan nilai-nilai parameter yang membatasi pilihan mereka. Para
konsumen berusaha untuk memaksimalkan kepuasan (atau kegunaan), sesuai
dengan selera, pendapatan mereka dan harga barang-barang; perusahaan berusaha
memaksimalkan laba mereka, dan ini berarti bahwa dengan tingkat output berapa-
pun diproduksi dengan biaya terendah. Syarat-syarat maksimalisasi tersirat dalam
istilah ekualitas marjinal (marginal revenue) sama dengan biaya mrginal
(marginal cost).
Dewasa ini ilmu ekonomi telah berkembang jauh melebihi ilmu-ilmu
sosial lainnya yang terbagi-bagi dalam beberapa bidang kajian seperti;
Ekonomi Lingkungan. Bidang kajian ’ekonomi lingkungan’
(environmental economics) ini bermula dari tulisan Gray (1900-an), Pigou (1920-
an), dan Hotelling (1930-an), akan tetapi baru mncul sebagai studi koheren pada
tahun 1970-an, yakni ketika revolusi lingkungan mulai terjadi di berbagai negara
(Pearce, 2000: 300). Selanjutnya, jika ditinjau dari substansinya, terdapat tiga
unsur pokok dalam ekonomi lingkungan, yakni; Pertama, kesejahteraan manusia
sedang terancam oleh degradasi lingkungan dan penyusutan sumber daya alam.
Dalam hal ini sangat mudah untuk menunjukkan bukti konkret dari timbulnya
bencana banjir yang disebabkan oelh penggundulan hutan, pembukaan lahan
untuk perumahan dan industri, terjadinya erosi, dan sebagainya. Semuanya ini 6
memiliki dampak bukan saja pada kesehatan, tetapi juga secara ekonomis
merugikan kehidupan manusia.
Kedua, kerusakan lingkungan disebabkan oleh penyimpangan/kegagalan
ekonomi, terutama yang bersumber dari pasar. Hal ini dapat diambil contoh,
bahwa karena orientasi produk dan profit, tidak sedikit beberapa industri yang
mengabaikan analisis dampak lingkungan yang merugikan (externality) bagi
masyarakat luas. Begitu juga banyak industri-industri global yang menempatkan
pabrik-pabrik dari negara maju ke hutanhutan dan persawahan di negara
berkembang. Ketiga, solusi kerusakan lingkungan harus mengoreksi unsur-unsur
ekonomi sebagai penyebabnya. Seperti halnya dengan kebijakan subsidi, relokasi
industri, dan sebagainya, yang kiranya merusak lingkungan, harus segera
dihentikan. Selain itu, jika ativitas ’destruktif’ terselubung yang merugikan itu
sulit dihentikan, perlu ada penerapan pajak ekstra atau penerbitan lisensi khusus
demi merendam kegiatan tersebut. Langkah ini pernah dilakukan di Amerika
Serikat yang menerbitkan lisensi polusi dan lisensi memancing, yang ternyata
cukup efektif mengatasi masalah tersebut (Pearce, 2000:300).
Ekonomi Evolusioner : Merupakan bidang kajian ekonomi yang
menjelaskan naik turunnya pertumbuhan ekonomi dan jatuh bangunnya
perusahaan-perusahaan, kota-kota, kawasan dan negara, yang mencerminkan
bahwa evolusi selalu beroperasi pada tingkat yang berlainan dengan tingkat
kecpatan yang berbeda-beda. Dan, hal inilah yang menjadi latar belakang
munculnya bidang-bidang baru kegiatan ekonomi (Metcalfe, 2000: 324). Dengan
demikian selalu dipertanyakan mengapa dan bagaimana perekonomian dunia
berbah, sehingga tinjauannya bersifat dinamis, untuk menangkap keragaman
perilaku yang memperkaya perubahan sejarah. Tema-tema inilah yang sering
dibicarakan dalam sejarah (Landes, 1968; Mokyr, 1991), yang semuanya bertolak
dari suatu mekanisme yang sama, namun menentukan pula keragaman perilaku
ekonomi.
Ekonomi evolusioner, juga merupakan entitas-entitas yang memiliki
berbagai karakteristik atau ciri perilaku, yakni; stabilitas kelangsunan perlaku
dari waktu ke waktu, sehingga kita dapat mengaitkan ciri-ciri perilaku di masa
mendatang dengan yang ada pada saat ini. Dengan dengan demikian inersia
(inertia) merupakan elemen pengikat penting serta tampak jelas bahwa evolusi
tidak dapat berlangsung di dunia di mana individu-individu atau organisasinya
berperilaku secara acak/random. Begitu juga dalam kajian mengenai sumber
keragaman perilaku ekonomi, para ahli lebih menaruh perhtian pada pengaruh
teknologi, organisasi, dan manajemen berdasarkan pemahaman bagaimana suatu
tindakan dilangsungkan sehingga memunculkan ciri-ciri perilaku yang
menguntungkan. Kemudian timbul pertanyaan; apakah evolusi itu mengandung
rasinalitas?. Di sini nampaknya tidak. Sebab dalam dunia manapun, di mana
pengetahuan dihargai cukup mahal sertakapasitas komputasional senaniasa
terbatas, maka kita tidak memiliki ijakan yang layak untukk mengupayakan
optimistisasi secara pasti, sebagai pedoman guna menilai perilaku.