Unknown
RESUME QAWAID TAFSIR

A. PENGERTIAN QAWAID TAFSIR
Menurut bahasa, Qawaid artinya kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip dasar tafsir. Sedangkan yang dimaksud Qawaid Tafsir dalam hal ini ialah kaidah-kaidah yang diperlukan oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Kaidah-kaidah yang diperlukan para mufasir dalam memahami Al-Qur’an meliputi penghayatan uslub-uslubnya, pemahaman asal-asalnya, penguasaan rahasia-rahasianya dan kaidah-kaidah kebahasaan.
B. MACAM-MACAM QAWAID TAFSIR
Orang yang hendak menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, lebih dahulu harus tahu dan memahami beberapa kaidah-kaidah yang erat kaitannya dengan pemahaman makna kalimat yang hendak ditafsirkan. Ada beberapa macam Qawaid Tafsir, seperti :
1.    Mantuq dan Mafhum
Mantuq adalah makna yang ditunjukkan oleh lafaz dalam pembicaraan atau penuturan. Kata mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang ditunjukkan oleh lafal ketika diucapkan (tersurat). Secara istilah dilalah mantuq adalah : (Wahbah al-Zuhaili, 2001 : 360)
دلالة المنطوق هي دلالة اللفظ على حكم شيئ مذ كور في الكلم
“Dilalah mantuq adalah penunjukkan lafal terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafal)”.
Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu hukum dipahami langsung lafal yang tertulis, maka cara seperti ini disebut pemahaman secara mantuq. Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks firman Allah pada S. Al-Isra’ : 23 yang berbunyi :
فلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka”.
Dengan menggunakan pemahaman secara mantuq ayat ini menunjukkan haramnya mengucapkan kata “ah” dan membentak kedua orang tua. Larangan atau haramnya hal tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan dalam ayat ini.
Para ahli ushul fiqh membagi mantuq kepada dua macam, yaitu mantuq sharih dan mantuq ghairu sharih. Mantuq sharih secara bahasa berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas. Adapun definisi mantuq sharih secara istilah adalah:
المنطوق الصريح هوما وضغ اللفظ له فيد ل عليه بالمطابقة او بالتضمن
“Mantuq sharih adalah makna yang secara tegas yang ditunjukkan suatu lafal sesuai dengan penciptaannya, baik secara penuh atau berupa bagiannya”. (Mushtafa Said al-Khain, 2001 : 139)
Untuk memahami definisi ini dengan baik perlu dikemukakan contoh penggunaan dilalah mantuq sharih pada firman Allah S. Al-Baqarah : 175 yang berbunyi :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat ini menunjukkan secara jelas dan tegas melalui mantuq sharih tentang kehalalan jual beli dan keharaman riba.
Adapun mantuq ghairu sharih adalah :
المنطوق غير صريح هو مالم يوضع اللفظ له بل هولا زم لما وضع
“Mantuq ghairu sharih adalah pengertian yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu lafal, sebagai konsekuensi dari suatu ucapan”. (Mushtafa Said al-Khain, 2001 : 139)
Dari definisi ini jelas bahwa apabila penunjukkan suatu hukum didasarkan pada konsekuensi dari suatu ucapan (lafal), bukan ditunjukkan secara tegas oleh suatu lafal sejak penciptaannya, baik secara penuh atau bagiannya disebut dilalah mantuq ghairu sharih.
Mafhum adalah makna yang dipahami bukan dari pembicaraan. Pengertian Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafadz, tetapi bukan dari ucapan lafadz itu sendiri (tersirat) (A. Hanafie MA, 1961 : 74). Para ahli ushul fiqh mendefinisikan mafhum sebagai berikut :
المفهوم مادل عليه اللفظ لا في محل النطق و بعبارة اخرى هو دلالة اللفظ على حكم شىئ لم يذكر في الكلام او هو اثبات نقيض حكم المنطوق للمسكوت عنه
“Mafhum adalah penunjukkan lafal yang tidak diucapkan atau dengan kata lain penunjukkan lafal terhadap suatu hukum yang tidak disebutkan atau menetapkan pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (bagi sesuatu yang tidak diucapkan)”. (Wahbah al-Zuhaili, 2001 : 361)
Seperti firman Allah SWT :
فلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka” (Q. S. Al-Isra’ : 23)
Secara mantuq, hukum yang dapat ditarik dari ayat ini adalah haramnya mengucapkan kata “ah” dan menghardik orang tua. Dari ayat ini dapat juga digunakan mafhum, dimana melaluinya dapat diketahui haram hukumnya memukul orang tua dan segala bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya.
Mafhum juga dapat dibedakan kepada 2 bagian :
1.         Mafhum Muwafaqah, yaitu penunjukkan hukum yang tidak disebutkan untuk memperkuat hukum yang disebutkan karena terdapat kesamaan antara keduanya dalam meniadakan atau menetapkan (Mushtafa Said al-Khain, 2001 : 143). Mafhum Muwafaqah dapat dibagi kepada :
a.       Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya, firman Allah yang berbunyi :
 “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka” (Q. S. Al-Isra’ : 23).
Sedangkan kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
b.      Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan, seperti firman Allah SWT :
”Mereka yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api ke dalam perut mereka” (Q. S. An-Nisa’ : 10)
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta dilarang (haram)
2.         Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami berbeda dari ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi’ (meniadakan). Oleh sebab itu hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafadz yang diucapkan. Seperti firman Allah SWT :
 “Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakannya dan tinggalkanlah jual beli” (Q. S. Jum’at : 9)
Dipahami dari ayat ini bahwa boleh jual beli di hari Jum’at sebelum azan si Mu’azin dan sesudah mengerjakan sholat. Dinamakan juga Mafhum Mukhalafah ini Dalil Khitab. Mafhum mukhalafah terdiri dari beberapa bagian, diantaranya : (A. Hanafie M.A, 1961 : 80 – 81)
a.      Mafhum al-Sifat, adalah penunjukkan suatu lafal yang terkait dengan suatu sifat terhadap kebalikan hukumnya ketika tiada sifat tersebut. Misalnya, firman Allah S. An-Nisa’ : 25 yang berbunyi :

“Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanitamerdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.”
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang laki-laki mukmin boleh menikahi budak perempuan yang beriman ketika tidak mampu menikahi perempuan beriman yang merdeka. Melalui mafhum mukhalafah diketahui haramnya menikahi budak perempuan yang tidak beriman.
b.      Mafhum ‘Illat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut ‘illatnya. Seperti mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
c.       Mafhum al-Adad, yaitu menghubungkan suatu hukum kepada bilangan yang tertentu. Seperti firman Allah SWT :

“Orang-orang menuduh perempuan-perempuan baik berbuat curang (zina), kemudian tidak mereka datangkan 4 orang saksi, maka pukullah mereka 80 kali pukulan” (Q. S. An-Nur : 4)
Berdasarkan ayat ini, hukuman bagi orang yang menuduh wanita baik-baik melakukan zina, sementara ia tidak mampu menghadirkan empat orang saksi adalah dipukul sebanyak 80 kali. Dalam hal ini, tidak boleh mengurangi dan menambah hukuman pukulan dari 80 kali.
d.      Mafhum Ghayah, yaitu lafadz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah (batasan/hinggaan), hingga lafadz ghayah ini adakalanya dengan “ilaa” dan dengan “hatta”. Seperti firman Allah SWT :
 “Bila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada dua mata siku” (Q. S. Al-Maidah : 6).
e.       Mafhum had, yaitu menentukan hukum dengan disebutkan suatu adat di antara adat-adatnya. Seperti firman Allah SWT :
 “Katakanlah, tidak saya peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepada saya, akan suatu makanan yang haram atas orang memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi; karena ia barang yang keji atau fasiq, yaitu binatang yang disembelih dengan tidak atas nama Allah” (Q. S. Al-An’am :145).
f.        Mafhum al-Laqab, yaitu meniadakan berlakunya suatu hukum yang terkait dengan suatu lafal terhadap orang lain dan menetapkan hukum itu berlaku untuk nama atau sebutan tertentu (Hasballah, 2001 : 250). Misalnya, firman Allah dalam S. Yusuf : 4 yang berbunyi :
 “(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya : Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud padaku.”
Dari ayat ini dipahami bahwa ucapan tersebut hanya terkait dengan Nabi Yusuf karena tidak ada kaitannya dengan orang lain.
g.      Mafhum al-Syarat, ialah menetapkan kebalikan hukum yang terkait dengan syarat ketika syarat tersebut tidak ada (Hasballah, 2001 : 251). Misalnya, firman Allah dalam S. Talaq : 6 yang berbunyi :

 “Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.”
Ayat ini menegaskan adanya kewajiban suami memberi nafkah terhadap isterinya yang ditalak bain dalam keadaan hamil. Secara mafhum mukhalafah, suami tidak berkewajiban memberi nafkah terhadap isterinya yang telah ditalak yang tidak dalam keadaan hamil.

2.    ‘Am dan Khash
‘Am adalah lafaz yang memberi pengertian umum yang mencakup segala sesuatu yang termasuk dalam lingkungannya tanpa ada batasan dalam jumlah maupun dalam bilangan. Pembagian ‘am adaalah sebagai berikut :
a.       Umum syumuliy: Yaitu semua lafal yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku bagi seluruh pribadi. Misalnya: “Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu diri”. (QS. An-Nisa’: 1)
b.      Umum Badaluiy: yaitu suatu lafal yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku untuk sebagian afrad (pribadi). Misalnya: Hai orang-orang yang beriman diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana diwajibkan orang-orang sebelum kamu.(QS. Al-Baqarah: 183)
Lafal-lafal umum Kullun, Jami’un, kaffatun dan ma’suara
·         Contoh Kullun
                                                                                          كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ (١٨٥)
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Al-Imron: 185)
·         Contoh Jami’un
                                                                       هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا (٢٩)
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi ini seluruhnya”. (QS. al-Baqarah: 29)
·         Untuk Kaffah
                                                                              وَمَا اَرْسَلْنَكَ اِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيْرًا وَنَدِيْرًا
Tidak kami utus engkau (Muhammad), melainkan untuk memberi kabar gembira dan peringatan bagi manusia”. (QS. Saba’: 29)
·         Contoh Ma’syara'
                                                                  يَا مَعْشَرَ اْلِجنِّ وَاْلإِنْسِ اَلَمْ يَأْتِيْكُمْ رَسُلٌ مِنْكُمْ (١٢)
Hai sekalian jin dan manusia!! Tidaklah sampai kepadamu utusan-utusan yang menceritakan ayat-ayat-Ku kepadamu? Serta manakuti kamu akan pertemuan hari ini.” (QS. An’am: 12)
Khash adalah lafaz yang menunjuk kepada pengertian tertentu. Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:
                                                                        
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَج
tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji.” (Al-Baqaarah :196)
Lafadz tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy.
Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:
            
فِيْ كُلِّ أَرْبَعِيْنَ شَاةً شَاة
“pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing”.
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadz khas. Karena kedua lafadz tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadz itu sendiri.
3.    Mutlaq dan Muqayyad
Mutlaq adalah nas yang menunjuk kepada satu pengertian saja dengan tiada kaitannya
pada ayat lain.
Mutlaq ialah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya. Misalnya, kata raqabah yang  terdapat pada firman Allah SWT.
Maka (wajib atasnya) memerdekakan hamba sahaya. (QS). Mujahadah: 3)
Ini berarti boleh membebaskan hamba sahaya yang tidak Mukmin atau hamba sahaya yang Mukmin. Lafazh tersebut termasuk mutlaq karena tidak dibatasi dengan sifat tertentu.
Muqayyad adalah nas yang menunjuk kepada satu pengertian, akan tetapi pengertian tersebut harus dikaitkan kepada adanya pengertian yang diberikan oleh ayat nas yang lain. Suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya. Misalnya, kata raqabah disifati dengan kata mu’minah pada ayat:
Dan barang siapa membunuh seorang Mukmin karena bersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang Mukmin. (QS. An-Nisa’: 92)
Disini tidak sembarangan hamba sahaya yang dibebaskan tetapi ditentukan, hanyalah hamba sahaya yang beriman.
4.    Mujmal dan Mubayyan
Mujmal adalah ayat yang menunjukkan kepada sesuatu pengertian yang tidak terang dan tidak rinci, atau dapat juga dikatakan sebagai suatu lafaz yang memerlukan penafsiran yang lebih jelas. Wahbah Al-Zuhaili mendefinisikan mujmal dengan :
المجمل هو اللفظ الذي خفي المراد منه بنفسه اللفظ خفاء لا يدرك الا ببيان من المتكلم به
Mujmal adalah lafal yang sulit dipahami maksudnya kecuali melalui penjelasan dari mutakallim (orang yang mengucapkan). (Wahbah Al-Zuhaili, 2001 : 340)
Ada beberapa sebab suatu lafal disebut mujmal, yaitu :
1.      Lafal yang mempunyai makna musytarak tanpa diiringi oleh indikator (qarinah) sehingga sulit untuk mengetahui makna yang paling terkuat diantaranya. Misalnya, lafal quru’ dalam firman Allah S. Al-Baqarah : 228 yang berbunyi :
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’”.
Lafal quru’ ini secara bahasa berarti suci dan haid. Imam Syafi’i berpendapat bahwa lafal quru’ berarti suci, sedangkan imam Abu Hanifah berpendapat bahwa quru’ berarti haid. (Saiful Hadi, 2009 : 69).
2.      Suatu lafal yang maknanya secara bahasa aneh atau ganjil, seperti kata (هلوع) pada firman Allah S. Al-Ma’arij :19 – 21 yang berbunyi :
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”.
Kata (هلوع) dalam ayat 19 S. Al-Ma’arij ini sulit dipahami sampai Allah menjelaskan pada ayat 20 dan 21 pada surat yang sama.
3.      Pemindahan lafal dari makna kebahasaan menuju makna secara istilah atau menurut syara’, seperti lafal shalat, zakat, puasa, dan haji. Sehubungan dengan ini, Sunnah dating menjelaskan makna secara syara’ dari lafal-lafal ini. Apabila tidak ada penjelasan Syari’ tentang makna lafal-lafal ini, maka tidak mungkin mengetahui makna lafal tersebut secara syara’ sebagaimana yang diinginkan oleh Syari’.
Mubayyan adalah suatu ayat yang diperoleh pada ayat yang lain. Istilah mubayyan adalah lawan dari mujmal. Secara istilah, para ahli ushul fiqh mendefinisikan mubayyan sebagai berikut :
المبين ما اتضحت دلا لته بالنسبة الى معنا ها
“Mubayyan adalah suatu lafal yang dilalahnya telah jelas dengan memperhatikan maknanya”. (Firdaus, 2008 : 165)
Dilihat dari segi kejelasan maknanya, mubayyan terbagi menjadi dua bentuk.
1)      Al-wadih bi Nafsihi, yaitu lafal yang telah jelas maknanya sejak awal penggunaannya sehingga tidak membutuhkan penjelasan dari lafal lain. Kejelasan lafal ini diketahui melalui pendekatan bahasa, seperti firman Allah SWT dalam S. Al-Baqarah : 282 yang berbunyi :
 “Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
Makna yang terkandung dalam ayat ini dapat dipahami dengan mudah dengan melihat penggunaan bahasanya.
2)      Al-wadih bi Ghairihi, yaitu untuk mengetahui maknanya perlu dibantu oleh lafal lain. Misalnya, firman Allah SWT pada S. Al-An’am : 141 yang berbunyi :
 “Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)”.
Kata hak yang terdapat dalam ayat ini mengandung makna sesuatu yang memiliki sifat, maka penjelasannya dapat berupa kadar atau ukuran.
5.    Muhkam dan Mutasyabih
Muhkam adalah nas yang tidak memberikan keraguan lagi tentang apa yang
dimaksudkannya (nas yang sudah memberikan pengertian yang pasti).

الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آَيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ

“Alif Lam Ra’, inilah sebuah kitab yang ayat-ayatnya dimuhkamkan, dikokohkan serta dijelaskan secara rinci, diturunkan dari sisi Allah Yang Mahabijaksana lagi Mahatahu” ( QS. 11:1).
Allah SWT memberitahukan bahwa didalam Al-Quran ada ayat-ayat muhkamat yang merupakan pokok-pokok Al-Kitab ayat muhkamat artinya ayat yang jelas dan tidak samar bagi siapapun dan mengandung ayat-ayat yang maknanya samar oleh kebanyakan orang.
Mutasyabih adalah nas yang mengandung pengertian yang samar-samar dan mempunyai kemungkinan beberapa arti.

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik, yaitu Al-Quran yang Mutasyabih dan berulang-ulang, yang karenanya gemetarlah kulit orang-orang yang takut kepad Tuhan mereka” (QS. 39:23).
Mutasyabihat yakni ayat yang maknanya berkemungkinan sejalan dengan ayat muhkan atau sejalan dengan ayat lain dari segi lafaz dan susunanya bukan dari segi maknanya.
C. KAIDAH-KAIDAH KEBAHASAAN
Kaidah-kaidah kebahasaan yang perlu dipahami oleh para Mufasir banyak sekali. Namun dalam pembahasan kali ini hanya akan diungkap beberapa kaidah saja yang dianggap sangat penting, yaitu :
1)      Dhamir
Pada dasarnya, dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan, ia berfungsi untuk mengganti penyebutan kata-kata ynag banyak dan menempati kata-kata itu secara sempurna, tanpa merubah makna yang dimaksud dan tanpa pengulangan. Dhamir termasuk dalam isim ma’rifat.
Dhomir (kata ganti orang)
Contoh:
هُوَ – أَنْتَ – أَنَا
2)      Isim Ma’rifah dan Nakirah
Masing-masing Ma’rifah maupum Nakirah mempunyai fungsi yang berbeda.
·         Isim Ma’rifat adalah isim yang sudah jelas penunjukannya
Contoh:
عُمَرُ (Umar)
كِتَابُ مُحَمَّدٍ (Buku Muhammad)
Nama orang walaupun bertanwin tetap dikatakan sebagai isim ma’rifat dan bukan sebagai isim nakiroh.
Contoh:
مُحَمَّدٌ – زَيْدٌ
·         Isim Nakirah adalah isim yang belum jelas penunjukannya
Contoh:
مُسْلِمٌ (Seorang muslim)
كِتَابُ طَالِبٍ (Buku seorang mahasiswa)
Isim Nakiroh biasanya mempunyai harokat akhir yang bertanwin
Contoh:
مُسْلِمٌ – مِصْبَاحٌ
3)      Mufrad dan Jamak
Sebagian lafaz dalam Al-Qur’an dimufradkan untuk sesuatu makna tertentu dan dijamakkan untuk sesuatu isyarat khusus, lebih diutamakan jamak dari mufrad atau sebaliknya. Oleh karena itu dalam Al-Qur’an sering dijumpai sebagian lafaz yang hanya dalam bentuk jamaknya dan ketika diperlukan bentuk mufradnya maka yang digunakan adalah kata sinonimnya (mufradif)nya.
4)      Pertanyaan dan Jawaban
Pada dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Namun terkadang ia menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan. Hal ini mengingatkan bahwa jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan.


ANALISIS QAWAID TAFSIR
A.    PENGERTIAN QAWAID TAFSIR
Qawaid tafsir adalah aturan-aturan dasar yang menjadi acuan para mufassir dalam menafsirkan (mengartikan) al-qur’an.
B.     MACAM-MACAM QAWAID TAFSIR
1.      Mantuq dan Mafhum
Mantuq ialah pemahaman ayat secara tersirat, jadi mufassir m
2.      ‘Am dan Khas
‘Am ialah  menunjukkan makna umum dan khas secara bahasa ialah kebalikan dari ‘am yaitu menunjukkan makna khusus. Adapun kehujjahan ‘am ialah berbeda-beda menurut ulama’ hal ini dikarenakan apakah ‘am termasuk qath’i atau dzanni. Begitu juga tentang kehujjahan khas, sama dengan ‘am dimana ulama’ berbeda pendapat tentang apakah khas itu qath’i atau dzanni.
Didalam khas terdapat takhsis dan mukhassas dimana keduanya saling berhubungan erat. Adapun takhsis ialah penjelasan sebagian lafadz ‘am bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘am dengan dalil.
3.      Mutlaq dan Muqayyad
4.      Mujmal dan Mubayyan
5.      Muhkam dan Mutasyabih
C.     KAIDAH-KAIDAH KEBAHASAAN
1.      Dhamir
2.      Isim Ma’rifat dan Isim Nakirah
3.      Mufrad dan Jamak
4.      Pertanyaan dan Jawaban

Abu Zahra, Muhammad, Ushul Fiqih, Beirut, Darrul Fikr, 1958
o    Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, jakarta: Rajawali Pers, 1993
o    Khudhari Biek, Muhammad, Ushul Fiqh, Lebanon, Darrul Fikr, 1988
o    <http://cakzainul.blogspot.com/2010/01/makalah-ushul-fiqh-perbandingan-dalalah.html diakses tanggal 31-10-2010>
o    http://kcpkiainws.wordpress.com/2009/06/05/lafadz-%E2%80%98am-dan-lafadz-khas/ diakses tanggal 30-10-2010
0 Responses

Posting Komentar


widgets