Unknown
040
Menari dalam Alunan Luka

Oleh
NIDA NUR FAIZAH

Aku membuka mata pelan-pelan, mencoba meraba satu persatu benda yang tertata rapi ditempatnya. Mencari-cari sesuatu dan berharap bahwa semuanya hanyalah mimpi. Tapi, sayangnya semua adalah kenyataan. Yah...aku terbaring diatas ranjang, di dalam ruangan serba putih yang luasnya hanya setengah luas kamar tidurku. Ruangan yang beralaskan ubin putih serta ditambah aroma semerbak bau karbol menambah suasana khas ruangan ini. Inilah tempat dimana orang-orang sakit dirawat dan dijaga.
“ Kenapa aku harus berada di sini? Bukankah aku baik-baik saja? Bukankah aku terlalu muda untuk merasakan semua ini ?” tanyaku pada diriku.
Pertanyaan yang sesungguhnya sudah jelas jawabannya itu menambah keruh suasana hatiku. Menambah daftar panjang pertanyaan konyol untuk diriku sendiri yang kerap kuulangi.
Aku mengambil nafas panjang, menghembuskannya dalam-dalam. Dan kusadari bahwa tubuhku telah berbalut seragam warna biru. Fufh... baju pasien. Setelah kejadian kemarin aku bagaikan seorang bayi yang tak berdaya, untuk sekedar duduk saja aku harus dibantu. Untuk buang air kecilpun aku harus melalui saluran aneh ini dengan rasa ngilu yang menggila. Oh...Tuhan, cobaan atau hukumankah ini?
“ Maaf mbak, sekarang waktunya minum obat. Ini obatnya silahkan diminum,” seorang suster muda dengan seragam batik khas sekolah kedokteran bonafit di kota Surabaya, masuk dan merobek lembaran-lembaran lamunanku.
“ Iya, terima kasih.” Sahut seorang wanita paruh baya yang sedari tadi duduk disamping ranjangku, ibuku. “ Ayo, makan dulu! Nanti setelah itu minum obat,” tambahnya lagi kepadaku.
“Iya,” suara lirih dibarengi senyum seadanya kulontarkan kepadanya, pertanda suasana hatiku saat itu.
Makanan yang masuk ke dalam mulutku rasanya pahit dan terkadang hambar, selera makanpun bermigrasi entah kemana. Tapi, karena hatiku berat dan pilu saat menatap wajah lembut dengan mata berbinar menahan air mata dari wanita disampingku ini, apapun akan kulakukan agar tetap bisa menatapnya lagi dan lagi. Untuk hari esok dan esoknya lagi. Obatpun dengan setengah jiwa kulahap. Dengan harap, obat ini akan membawaku pulang ke rumah besok.
Aku sudah berada di tempat ini selama 48 jam, waktu yang lama untuk berada di Rumah Sakit, menurutku. Hari pertamaku di sini, sambutan kurang enak sudah kucicipi. Aku harus melakoni proses yang yang mereka sebut Echocardiograf lewat mulut. Pertama, seorang dokter cantik mengajakku ke sebuah ruangan, tangannya dengan cekatan menyuntikkan sebuah cairan melalui nadi tangan kananku. Saat ekor jarum menancap, rasanya bagaikan digigit ratusan nyamuk secara bersamaan ditempat yang sama. Kesakitanku hanya bisa kuungkap dengan menggigit bibir bawah sembari menutup mata erat-erat. Akhirnya, setelah dirasa cukup puas melihatku kesakitan Sang dokter cantik tadi mempersilahkanku menuju ruang tunggu.

Aku duduk disamping seorang bapak berkemeja batik dengan tatanan rambut rapi mengkilap membawa tas hitam yang diselempangkan dibahu kanannya. Dan aku tahu pasti bahwa bapak ini sedang menunggu anaknya, yakni aku. Wajah cemasnya dilemparkan kepadaku dengan harapan mendapat suatu jawaban.
“ Nggak diapa-apakan kok Pak, cuma disuntik saja ditangan kanan,” wajah sok tenang dan senyum semanis mungkinpun berusaha kupersembahkan kepadanya, berharap hati beliau tenang dengan jawabanku tadi.
Lima menit berlalu, sepuluh menit telah hilang, lima belas menit sudah melayang. Dan setengah jam kemudian, namaku dipanggil. Dengan langkah tak pasti kumasuki ruangan yang tadi kutinggalkan. Perasaan was-was dan gelisah menjadi paduan saat aku mulai berbaring di ranjang yang telah disiapkan. Seorang dokter dengan stetoskop dileher datang dan menyapaku dengan tutur khas seorang dokter.
Rileks saja mbak, jangan tegang. Ini nggak lama kok,” suaranya tak dapat menyibakkan suasana risauku.
Hanya senyum terpaksa yang dapat digoreskan bibirku ini. Khayalku meroket entah ke galaksi mana, yang penting sudah tidak di ruangan ini. Menerobos bimasakti dengan kecepatan cahaya untuk mencari tahu apa yang akan dilakukannya kepadaku.
Akhirnya, setitik intan jatuh ditanganku. Beberapa dokter masuk, mulai berbisik-bisik di pojok ruangan seakan membicarakan suatu hal yang sangat intim dan rahasia. Tiba-tiba rasa kantuk menghinggapiku, sulit rasanya membuka penuh mata ini.
 “ Ya Allah...kenapa ini?” tanyaku dalam hati.
Seorang dokter menyuruhku memiringkan badan, memasukkan suatu benda seperti pipa kecil ke dalam mulutku. Dan akupun diharuskan menggigit benda itu sekuat-kuatnya. Dengan berusaha untuk tetap terjaga, samar-samar kuperhatikan dokter-dokter yang sedang sibuk dengan sebuah alat yang nampak di penglihatanku seperti selang yang terhubung ke sebuah komputer besar disamping ranjang ini. Aku terkejut dan tak menyangka, bahwa selang itu akan dimasukkan ke dalam mulutku. Aku berusaha meronta. Mengeluarkan segala daya yang kumampu, menggerakkan kaki dan tangan untuk menghalangi benda itu masuk. Tapi, sia-sia belaka. Beberapa dokter memegang erat tangan dan kakiku. Tak membiarkanku bergerak sedikitpun.
Saat selang itu sampai ditenggorokkanku, rasanya nyawaku hampir hilang. Bernafas jadi sulit dan berat, menelan ludahpun tak sanggup. Kesadaranku mulai menurun, rasanya sudah tak bisa diupayakan lagi untuk membuka mata dan menyaksikan semua hal tak berperikemanusiaan ini. Lebih dalam lagi menjelajahi rongga dadaku, semakin sakit rasanya. Ribuan bulir air mata turun dengan lebatnya tanpa kontrol membasahi pipiku. Mata sudah menyatakan menyerah untuk menyaksikan semua ini.
Ketika aku benar-benar sudah tak berdaya dan terkapar, selang itu ditarik pelan-pelan melalui semua organ yang ada di rongga dadaku sampai melewati mulut kembali. Aku serasa ingin memuntahkan seluruh isi perutku sekaligus, tapi karena sebelumnya aku diharuskan puasa jadi hanya air yang dapat keluar dari perutku. Mataku masih berkunang-kunang, kepalapun tak mau kalah, ia masih terus berputar-putar. Lemas, lemas, dan lemas yang terasa sepanjang ini.
                                                             *****                               
Aku merasakan ngilu dan nyeri yang luar biasa pada pergelangan paha. Mungkin ini yang dirasakan orang-orang yang kakinya akan diamputasi, sakit yang tak terhitung berapa tingginya oleh alat ukur apapun. Aku mengerang dan menangis kesakitan.
Kedua orang tuaku kebingungan mencari dokter, mondar-mandir menyusuri lorong-lorong yang ramai dengan hiruk pikuk penghuni Rumah Sakit ini. Dan tak berapa lama, ayahku kembali dengan menggandeng seorang dokter putih dengan perawakan yang tinggi langsing menghampiri ranjangku. Dokter dengan tangan dinginnya memeriksa bekas katarisasi kemarin. Memastikan balutannya kuat dan tetap rapi, dengan cekatan ia menusukkan ekor jarumnya ke infus yang menggantung diatas ranjangku. Setelah berbincang sebentar dengan kedua orang tuaku, ia bergegas meninggalkan ruangan tempatku berbaring.
Ngilu dan nyeri mulai berangsur-angsur migrasi. Ingin sekali rasanya berlibur sejenak dari semua ini. Mewarnai ulang hidup ini, mengambil peran lain yang pastinya lebih baik dari peran seorang cacat. Aku berharap dapat hidup normal layaknya gadis pada umumnya, yang dapat kemanapun sekehendak hatinya tanpa beban. Tapi, aku tahu aku takkan bisa seperti itu. Takkan bisa kembali normal, satu hal yang aku tanam dalam hatiku, selama aku masih bisa bernafas entah bagaimanapun caranya aku akan memaksimalkan upayaku untuk menjadi seperti apa yang orang tuaku harapkan.
Membahagiakan mereka adalah great plan yang harus dicapai, ini ikrarku ya Allah. Semoga dengan aku menjadi seorang cacat, Engkau selalu memberikan kesehatan untuk mereka kapanpun dan dimanapun. Aku akan berusaha ikhlas menerima takdirmu ini.
*****
            Hari kedua, perjuangan tak berhenti sampai disini saja. Hari ini aku berbaring disebuah ranjang beroda yang didorong oleh dua orang suster yang nampaknya masih magang terlihat jelas dari atribut yang dikenakan keduanya. Aku hanya terpaku dan tak dapat membayangkan akan dibawa kemana aku dan akan terjadi apalagi. Fikiranku kelam. Hatiku gersang. Sampai akhirnya rombongan ini sampai didepan sebuah pintu kaca. Salah satu suster masuk terlebih dahulu untuk membantu memasukkan ranjang ini kedalam ruang tersebut. Suhu kutub menyambutku, membuatku semakin membatu yang beku.
            Selama berpuluh-puluh menit aku berada diruang tunggu katerisasi menunggu saatnya aku bertatap muka dengan ruang operasi. Hanya ada ayah yang tengah berada disampingku disaat-saat klimaks seperti ini. Tak henti-hentinya ia memijat-mijat kakiku karena khawatir dengan suhu tubuhku yang semakin dingin. Tatapan kosong yang dapat kusajikan kepadanya.
            “Silahkan dibawa masuk pasien Faizah”, kata seseorang yang keluar dari ruang operasi itu dengan pakaian lengkap, memakai masker warna biru dengan jas yang serasi dengan penutup kepala dan sarung tangan lateks yang melekat di tangannya.
            Aku turun dari ranjang dengan dipapah kedua suster tersebut lalu menaiki ranjang yang lebih tinggi dalam ruangan tersebut. Aku terperanjat mendapati ruang yang kumasuki adalah ruangan yang sangat luas. Dengan banyak layar komputer berbaris dengan make up kabel yang tertata sangat rapi. Di seberang ruang ada sebuah ruangan kaca, entah untuk apa ruangan itu.
            Untuk beberapa detik aku terbuai, sampai akhirnya aku berbaring lagi. Menyadari itu, rasa grogi menggerogoti jiwa. Suhu kutub utara kembali menyelimuti seluruh jiwa dan raga.
            Dokter yang cukup senior menghampiriku,”Santai saja mbak, jangan tegang.”
Ungkapannya tak dapat menyapu rasa tak karuan ini. Aku mulai semakin cemas ketika sebuah tabir diturunkan didepan leherku, sehingga memisahkanku dari bagian bawah tubuhku. Tiba-tiba rasa alkohol mulai terasa dilipatan pahaku, dan seketika itu serasa ada yang robek. Seperti robeknya kertas karena sayatan cutter. Dan itu sebenarnya adalah sayatan yang dibuat untuk memasukkan sesuatu kepembuluh darah besar dibadanku.
Sama seperti saat aku melakoni echocardiograf, rasa kantuk yang hebat kembali menyapaku. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah obat bius. Dan lebih mengherankan akal sehatku, dua buah kamera yang terhubung dengan sebuah kabel panjang yang dimasukkan untuk menjelajahi seluruh pembuluh darah dan jantungku. Oh...apalagi ini? Sulit nafas, sesak dan berat mulai menggerayangi dadaku.  Dan aku menyaksikannya semua itu dari sebuah layar komputer yang sengaja dipasang disamping ranjang ini. Sungguh Maha Besar Tuhanku, Allahku. Menciptakan hal yang sebegini rumit dan sempurnanya.
Proses katerisasi dilakukan sebelum seseorang melakukan operasi. Untuk mengecek kondisi organ yang akan dioperasi. Setelah katerisasi ini berakhir, beberapa bulan kemudian dokter menyampaikan sesuatu kepada orang tuaku. Aku batal dioperasi, sebab terlalu beresiko jika tetap dilakukan operasi ini. Entah harus bersikap apa aku, haruskah aku senang? Atau malah harus cemas dan khawatir?.
Persetan dengan sikap apapun yang harus aku ambil saat itu, saat itu aku benar-benar merasa lepas, bebas dan ringan. Dan aku berharap tak pernah kembali ketempat ini, tak pernah merasakan hal-hal suram itu untuk kedua kalinya, cukup sekali.
***
            Hujan tiba-tiba saja mengguyur dengan lebatnya, hingga akhirnya membuatku terjebak dalam bangunan penuh lorong yang kutempati untuk mencari ilmu kurang lebih dari dua tahun ini. Suara riuh menambah semarak hujan kali ini, teman-temanku menikmati jam kosong pelajaran kimia siang ini.
            “Zah, sudah baikkan?,” tanya Rakhmi, salah seotang sahabatku yang selalu care dengan semua sahabatnya.
            “Alhamdulilah, aku sudah lumayan enakkan kok. Kemarin ada tugas apa aja?” sahutku menanggapi tanyanya.
            “ Tenang saja, nanti kita belajar bersama. Pasti semua beres bersama Genk Seven Fish,” jawabnya sambil bergaya girlband yang sedang tren akhir-akhir ini.
Membuatku merasa tak sia-sia berkumpul lagi bersama mereka. Merasa bahwa mereka peduli dan siap untukku. Kehadiranku berharga untuk mereka, begitupun sebaliknya.
            Dengan segala kekuranganku atau lebih pantas disebut kecacatanku ini, aku harus mengubur dalam semua impianku untuk menjadi seorang pramugari. Mungkin jika aku tak berada pada peran ini, aku bisa menjadi pramugari tetapi mungkin akupun takkan mengenal kehangatan kasih sahabat-sahabatku ini. Tentu semuanya yang terjadi ini bukan akhir dari segalanya, namun awal dari harapan, cita, serta impian baru yang harus dikejar bukannya dibakar oleh rasa sesal.
            Saat ku tatap dalam kelangit yang tengah mendung ini, aku merasa beruntung karena masih bisa mendapatkan diriku dalam situasi seperti ini serta pernah merasakan hal yang hanya aku yang merasakannya pada usia sedini ini.
            Akan selalu ku ingat, ASD sekundum atau lebih gampangnya disebut penyakit jantung bocor pada bagian sekat serambi. Penyakit ini muncul tiba-tiba, padahal pada umumnya tanda-tanda penyakit ini sudah tampak pada masa balita. Aku baru merasakannya saat mulai naik kelas XI atau lebih tepatnya bulan maret tahun 2011. Saat aku tepat berulang tahun yang ke-17, ini hadiah terindah dariMU yang akan selalu kubawa sepanjang aku hidup.
            “Kapan mau main kerumah lagi? Nggak kangen sama masakkan ibuku?” tanya Erma disela candaku dengan Rakhmi.
            “Ok....ssiiiiaap! kapanpun kami siap,” jawab kami bersamaan. Yang diakhiri dengan gelak tawa karena kekompakan jawaban kami.
            Hujan mereda, pertanda bahwa kami harus check out dari kelas untuk hari ini. Aku bersama lima orang sahabat-sahabatku berjalan bergerombol menuju tempat dibariskannya semua kendaraan, canda tawa mengalun mengiringi sore itu.
            Kuharap saat-saat seperti ini akan selalu terekam dalam memori, aku akan terus berusaha menari dalam pertunjukkan drama yang takkan ada yang tahu kapan ceritanya akan berakhir dan bagaimana alur selanjutnya. Membius kenangan-kenangan luka dalam peti yang karam, dan menghidupkan lagi Faizah dari tidur yang membuatnya tertinggal dari realita yang ada, membawanya terbang serta menunjukkan masih ada oase di gurun ini. Membantu diriku sendiri menambah gaya pengapung dan meresidu gaya pemberat dalam setiap tantangan yang menghadang.







0 Responses

Posting Komentar


widgets