MAKALAH
Kontrak dalam Islam
1.
Latar
Belakang
Salah satu fakta mencolok terkait dengan munculnya
perbankan dan keuangan Islam adalah bahwa perbankan dan keuangan Islam mewakili
penegasan hukum Islam dalam bidang komersial, ketika sekulerisme nyaris
menguasai hidup umat manusia.
Islam sendiri diturunkan untuk mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia dari sisi ibadah, akhlak dan syariah. Maka sudah seharusnya
tidak hanya ibadah atau keyakinan kita saja yang berlandaskan Islam. Tetapi
juga aspek hubungan antar manusia dengan manusia, khususnya yaitu dalam
bermuamalah.
Pembasan dalam makalah ini adalah mengenai hukum kontrak,
hukum kontrak sendiri ada dengan tujuan jelas yaitu untuk mengatur hubugan
manusia yang melakukan perjanjian.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Akad ( Kontrak )
Lafal akad, berasal dari lafal arab al-‘aqd yang berarti perikatan,
perjanjian, kontrak, dan pemufakatan al-ittifaq. Secara terminology fiqh, akad
didefinisikan dengan: pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan)
dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang
berpengaruh pada objek ikatan.
Menurut az-Zarqa’ suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang
dilakukan oleh dua atau bebrapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk
mengikatkan diri. Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu
sifatnya tersembunyi dalam hati.oleh
sebab itu, untuk menyatakan kehendak masing-masing harus diungkapkan dalam
suatu pernyataan. Pernyataan pihak-pihak yang berakad itu disebut dengan ijab
dan qabul.
Selain itu, terdapat juga pakar yang mendefinisikan akad sebagai
satu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang berdasarkan kesepakatan atau
kerelaan bersama.Dalam hukum Islam istilah kontrak tidak dibedakan dengan
perjanjian, keduanya identik dan disebut akad. Sehingga dalam hal ini akad
didefinisikan sebagai pertemuan ijab yang dinyatakan oleh salah
satu pihak dengan kabul dari pihak lain secara sah menurut syarak yang tampak
akibat hukumnya pada obyeknya.
Dari bebrapa pengertian di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa
kontrak merupakan kesepakatan bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan
antara dua pihak atau lebih melaluai ijab dan qabul yang memiliki ikatan hukum
bagi semua pihak yang terlibat untuk melaksanakan apa yang menjadi kesepakatan
tersebut.
Dalam system hukum Islam, kedudukan kata sepakat terhadap suatu
kontrak sangat dijunjung tinggi, yang berarti prinsip pacta
sunt servanda (janji itu mengikat) sangat dihormati dalam hukum
syarak. Sesuai dengan firman Allah dalam QS al Maidah yang artinya : “Hai
orang orang yang beriman penuhilah akad akad itu “.
2.
Rukun
Akad ( Kontrak )
Rukun
adalah komponen pokok dari sesuatu, rukun akad adalah esensi dari suatu akad.
Tanpanya, akad tersebut belumlah dianggap ada. Secara umum dalam suatu akad ada
tiga; Pertama,
Sighah,
yaitu pernyataan ijab dan qabul dari kedua belah pihak, Kedua,
Mahal
Al‘Aqd atau objek akad dan Ketiga, Aqidan
atau pihak-pihak yang melakukan akad.
Ø Sighah
Ijab adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari suatu pihak
untuk melahirkan suatu tindakan hukum yang dimaksud. Sedangkan qabul
adalah pernyataan kehendak yang mengindikasikan persetujuan terhadap ijab dalam
waktu yang simultan atau serentak. Terlaksananya ijab dan qabul ini menunjukkan
terjadinya suatu akad.
Ø Mahal
Al‘Aqd
Objek
akad, Ulama sepakat bahwa objek akad harus memenuhi dua kriteria; terdiri dari
objek yang harus menerima segala konsekuensi hukum dari akad tersebut dan
kriteria kedua adalah bebas dari segala bentuk gharar (spekulasi) yang menyebabkan
perselisihan dan perbedaan.
Ø Aqidan
Dan
rukun ketiga dari akad adalah Aqidan atau pihak-pihak yang
akan melakukan akad. Kriteria pelaku akad adalah ahliyah (kecakapan), wilayah
(kuasa) dan ridha (kerelaan).
3.
Syarat
Akad ( Kontrak )
Para
ulama Fiqh menetapkan beberapa syarat umum yang harus dipenuhi oleh suatu akad.
Disamping itu, setiap akad juga mememiliki syarat-syarat khusus. Adapaunn
syarat-syarat umum suatu akad itu adalah :
Ø Ijab dan qabul haruslah dilakukan oleh orang-orang yang mewakili
kecakapan berbuat.
Ø Ijab qabul harus tertuju kepada objek tertentu.
Ø Ijab qabul harus dilakukan oleh kedua belah pihak dalam kontrak
atau jika salah pihak tidak hadir, maka dapat ditujukan kepada pihak ketiga,
dimana pihak ketiga menyampaikannya kepada pihak yang tidak hadir, dan pihak yang
tidak hadir menyatakan qabulnya.
Ø Memenuhi syarat-syarat khusus bagi akad tertentu.
4. Asas-Asas akad
Asas
berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis
dan fondasi. Secara terminologi asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi
tumpuan berpikir atau berpendapat. Mohammad Daud Ali mengartikan asas apabila
dihubungkan dengan kata hukum adalah kebenaran yang
dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat terutama dalam
penegakan dan pelaksanaan hukum. Dari definisi tersebut apabila dikaitkan
dengan perjanjian dalam hukum kontrak syariah adalah, kebenaran yang
dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat tentang perjanjian
terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum kontrak syari’ah.Dalam hukum
kontrak syari’ah terdapat asas-asas perjanjian yang melandasi penegakan dan
pelaksanaannya.
1.
Asas
Ilahiah atau Asas Tauhid
Setiap
tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah SWT.
Seperti yang disebutkan dalam QS.al-Hadid
(57): 4 yang artinya ”Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan
Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan”. Kegiatan mu’amalah
termasuk perbuatan perjanjian, tidak pernah akan lepas dari nilai-nilai
ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab akan hal itu.
2. Asas Kejujuran dan Kebenaran (ash-shidiq)
Jika
kejujuran ini tidak diterapkan dalam kontrak, maka akan merusak legalitas
kontrak dan menimbulkan perselisihan diantara para pihak.33 QS.al-Ahzab
(33): 70 disebutkan yang artinya, ”Hai orang –orang yang beriman, bertaqwalah
kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”. Suatu perjanjian dapat
dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan
perjanjian dan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan perjanjian yang
mendatangkan mudharat dilarang.
3. Asas Tertulis al-Kitabah
Suatu
perjanjian hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai
alat bukti apabila di kemudian hari terjadi persengketaan. Dalam QS.al-Baqarah (2); 282- 283 dapat dipahami
bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar suatu perjanjian dilakukan
secara tertulis, dihadiri para saksi dan diberikan tanggung jawab individu yang
melakukan perjanjian dan yang menjadi saksi tersebut.
4. Asas Kemaslahatan dan Kemanfaatan
Asas
ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian yang dilakukan harus
mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan baik bagi para pihak yang mengikatkan
diri dalam perjanjian maupun bagi masyarakat sekitar meskipun tidak terdapat
ketentuannya dalam al Qur’an dan Al Hadis. Asas kemanfaatan dan
kemaslahatan ini sangat relevan dengan tujuan hukum Islam secara universal.
5. Asas Kebebasan Berkontrak (Mabda’ Hurriyah
at-ta’aqud)
Islam
memberikan kebabasan kepada para pihak untuk melakukan suatu perikatan. Bentuk
dan perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah disepakati
bentuk dan isinya, maka perikatan tersebut mengikat para pihak yang
menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun, hal
ini tidak absolute. Sepanjang tidak bertentangan dengan syari’ah Islam, maka
perikatan tersebut wajib dilaksanakan.
6.
Asas
Perjanjian Itu Mengikat
Asas
ini berasal dari hadis Nabi Muhammad saw yang artinya: “Orang-orang
muslim itu terikat kepada perjanjian-perjanjian (Klausul-klausul) mereka,
kecuali perjanjian (klausul) yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram (HR. Bukhari, Tirmizi, dan al-Hakim).”
Dari
hadis di atas dapat dipahami bahwa setiap orang yang melakukan perjanjian
terikat kepada isi perjanjian yang telah disepakati bersama pihak lain dalam
perjanjian. Sehingga seluruh isi perjanjian adalah sebagai peraturan yang wajib
dilakukan oleh para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian
.
5.
Konsep
kontrak dan Transasksi Dalam Islam
Kontrak dalam Islam merupakan bagian dari hubungan antara manusia
dengan manusia (hablumminannas). Terdapat dua konsep dasar dalam aturan
perjanjian atau kontrak dalam Islam, yaitu Wa'ad dan akad.
Ø Wa'ad, perjanjian antara satu pihak kepada pihak lain. Pihak yang
diberi janji tidak memikul kewajiban kepada pemberi janji, dan bila terjadi
pengingkaran terhadap janji tersebut, pemberi janji tidak dikenakan sanksi
selain sanksi moral.
Ø Akad, merupakan kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh dua belah
pihak yang saling mengikat di antara keduanya untuk bersepakat tentang suatu
hal disertai syarat dan ketentuan tertentu.
Kontrak atau akad inilah yang nantinya banyak digunakan dalam
asuransi syariah. Kontrak atau akad sendiri terbagi menjadi 2 bagian penting,
yaitu:
Ø Kontrak (Akad) Tabarru' adalah semua bentuk kontrak atau akad yang
dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong menolong, dan bukan semata untuk
tujuan komersial (mencari keuntungan). Dalam kontrak ini terdapat skema yang
berkaitan dengan transaksi- transaksi pinjam meminjam (Qard), Pendelegasian
maksudnya adalah pemindah kuasaan wewenang dari A ke B Untuk melaksanakan tugas
A (Wakalah), memberikan suatu hadiah (Hibbah).
Ø Kontrak (Akad) Tijarah adalah semua bentuk kontrak atau akad yang
dilakukan untuk tujuan komersial (mencari keuntungan).
Dalam akad ini, jika terjadi akad tabarru’ ingin berubah menjadi
akad Tijarah maka hal ini diperbolehkan, tetapi tidak untuk sebaliknya.
6. Tiga Prisip Penting Hukum Kontrak Islam dalam
Praktek Keuangan Modern
a. Sifat tak mengikat dari sebagian besar kontrak
dasar
Tidak mengikat (ja’iz) versus mengikat
Semua
usulan kontrak bisa jaiz yang berarti tidak mengikat atau dapat
dibatalkan sewaktu waktu, ataupun lazim yang berarti mengikat atau tidak
dapat dibatalkan. Sebuah kontrak jaiz bisa pada salah satu pihak
ataupun kedua belah pihak.
Kontrak
yang jaiz bagi kedua belah pihak meliputi persekutuan
(semua bentuk), perwakilan, deposit, pinjaman (‘ariyah), dan
hadiah. Kontrak lainnya yang jaiz bagi kedua belah pihak sampai penyerahan
(barang) meliputi hibah, pinjaman qard, dan gadai. Kontrak
lainnya dapat diakhiri oleh salah satu Pihak seperti gadai oleh penerima
gadai (setelah penyerahan), atau jaminan oleh orang yang berhutang.
Kontrak lazim meliputi jual beli, sewa, perdamaian, pemindahan
hutang dan pembatalan.
b. Skema ganda untuk menentukan resiko kerugian
Resiko kerugian (daman) versus Kepercayaan
Hukum
Islam menetapkan hubungan yang menyangkut tanggung jawab atas kehilangan
atau kerusakan objek tertentu yang terdapat dalam kontrak dengan pihak
pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut. Hukum Islam hanya
memPertimbangkan dua kemungkinan hubungan seperti itu, yaitu pihak
yang memegang obyek tersebut dapat sebagai orang yang terpercaya
atau wakil (amin), atau sebagai penjamin (damin). Orang yang terpercaya
tidak bertanggung jawab sama sekali atas cacat pada objek, kecuali kalau
melanggar kepercayaan. Sebaliknya damin atau penjamin menanggung
resiko kehilangan yang sama dengan pemilik. Jika objek musnah karena
takdir Allah atau force majeure (kejadian di luar
kemauan dan kemampuan manusia).
c. Sifat Perjanjian yang tidak mengikat
Janji wa’ad menurut Hukum Islam
Inilah
pendapat hukum klasik yang menyatakan bahwa semata mata janji tidaklah
mengikat. Kewajiban justru berasal dari pengiriman yang telah lalu ataupun
perusakan harta, yang secara otomatis menghasilkan kewajiban timbal balik ,
baik langsung maupun ditangguhkan atau dari sumpah. Ketika janji semata mata
janji bukan sumpah dihadapan Allah dan bukan bukan pula janji timbal balik atas
barang barang maka hukum klasik melihatnya sebagai tidak memiliki signifikasi
hukum, yang tidak diperkuat secara memadai dengan proses hukum.
Pada
perbankan dan keuanan moderen, banyak hal bergantung pada janji. Banyak
transaksi mengikat kedua belah pihak hanya pada waktu yang akan dating, dan
praktis setiap transaksi sepenuhnya dapat dimulai dalam bentuk yang dapat
mengikat melalui janji. Banyak bunga uang yang sebagian atau seluruhnya semata
mata berupa janji. Sedangkan menurut hukum Islam, hampir semua kontrak menjadi
mengikat hanya setelah salah satu pihak telah memenuhi janjinya, yang berarti
bahwa landasan untuk melaksanakan kontrak atau mengganti kerusakan tidak hanya
bersandar pada konsep janji tetapi juga bersandar pada landasan kuat berupa
peningkatan kekayaan dan kepercayaan yang tidak adil.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar