Biarkan aku saja
yang pernah merasakan semua dekapanmu. Merasakan semua sentuhan lembut jiwamu. Menikmati
santunnya tuturmu. Menatap tatapan embunmu. Menggenggam erat jemarimu saat aku
tak sanggup melangkah sendiri. Karena hanya aku yang sanggup membahagiakanmu. Hanya
aku yang bisa melengkapi lubang yang ada dijiwamu. Meski aku tahu aku tak layak
untukmu. Terlalu egois memang, namun itu semua karena aku tak sanggup tanpamu.
Aku
tak mau mengerti apa sebabnya kau meninggalkanku, yang mau kutahu adalah
mengapa kau pergi dengannya?
Dulu,
kau selalu menyanyikan syair cinta disetiap bait puisi nafasmu. Membangun
kastil cinta dipantai yang berpanorama
biru. Menyimfonikan kisahku bersamamu. Melukis pelangi disaat mendung merundung
hati. Memahat emas dalam hatimu untukku. Semuanya takkan sirna oleh terpaan
angin bahkan ombakpun tak sanggup mengikisnya. Cintamu hanya untukku.
Setahun ini, segala rutinitas itu terhenti. Ganjil
memang, tapi apa mau dikata dan dilakukan. Katak takkan melompat kebelakang.
Kaupun takkan kembali kepadaku. Surat undangan itu adalah jawaban dari nilai
limit dalam melodi cinta kita.
Apakah
harus aku menghadiri upacara kebahagianmu yang sama dengan upacara kematianku
sendiri? Memasang raut palsu kebahagiaan, menyodorkan senyum hambar, menawarkan
jabat tangan kayu. Haruskah? Aku tak yakin sanggup melakukannya.
Tatapan
kosong ku lemparkan ke arah tumpukkan pakaian yang baru saja selesai ku lipat.
Terdengar suara gaduh dari ruang tamu. Membangunakanku dari lamunan yang
menyiksa batin dan jiwa.
“Assalammualaikum...”
“Waalaikum
salam... iya sebentar,” jawabku sambil setengah berlari menuju ruang tamu.
Aku
terkejut mendapati seorang wanita cantik dengan rambut ikal sebahu menggunakan
bando yang nampak serasi dengan dress
yang melekat dibadannya berada dibalik pintu. Rautnya nampak kesal bercampur
marah. Tangannya setia melekat pada pingganggnya.
“
Bisa saya bantu? Anda mencari siapa?,” tanyaku padanya.
“
Ini benar rumah Nisa? Gue mau ketemu sama dia,” katanya dengan nada
tergesa-gesa.
“
Iiiyaa... ini saya Nisa, ada apa ya? Anda siapa?,” suaraku berusaha menjawab
tanyanya.
“
Gue cuma mau peringatin loe, loe jangan deketin calon suami gue. Rayhan milik
gue, ngerti loe. Awas kalo sampe loe deketin dia !,” ancamnya dengan
mengacungkan telunjuk tepat kewajahku. Setelah itu, ia meninggalkanku. Berlalu
menuju sebuah mobil jazz merah yang
terpakir didepan rumahku.
Aku
hanya tertegun dan berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi, menarik benang
merah dari secuil benang kisut. Langkah kakiku membawaku keruang tamu, tubuhku
tersandar ke kursi yang tertata rapi ditempatnya. Tubuhku lemas seketika.
Pikirku kalut, nafaskupun mulai tak terarah.
Apa
ini Rayhan? Kenapa kau masih menyangkutkan masalahmu denganku? Kau membuatku
semakin sulit melepaskanmu. Apakah artinya aku buatmu sekarang? Masih
pentingkah aku, Ray?
***
Hari
ini aku mau ke sekolah, bertemu lagi dengan anak-anak itu. Memikirkannya saja
membuatku senang, apalagi kalau bertemu dengan mereka pasti menyenangkan. Motor
sudah siap, ehm... apalagi ya? Oh ya...kuncinya dimana? Aku kembali kedalam
rumah, menyusuri tiap ruang.
Setelah
mendapatkan kunci itu, aku berlalu menuju garasi. Tapi, langkahku tiba-tiba
terhenti saat berpapasan dengan cermin di ruang tengah. Ku tatap sosok yang
nampak kurus dan kusut. Padahal aku sudah berusaha menutupinya dengan make up yang agak lebih dibanding
biasanya. Baju yang kukenakan juga nampaknya tak dapat membantu banyak. Warna
hitam yang biasanya cocok kupakai kini nampak menambah kurus tubuhku. Menambah
kesan menakutkan pada diriku.
“
Ehm ... sudahlah, semua juga tahu kalau aku sudah hancur sejak kepergianmu
Ray.”
Aku
berlalu meninggalkan cermin, menuju motor biruku. Memacunya cukup kencang.
Berharap kekacauan ini dapat tertinggal di belakangku, angin kencang berhembus
menerpa wajahku. Angin kebebasan.
to be continue
Tidak ada komentar :
Posting Komentar