RESUME QAWAID TAFSIR
A. PENGERTIAN QAWAID TAFSIR
A. PENGERTIAN QAWAID TAFSIR
Menurut
bahasa, Qawaid artinya kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip dasar tafsir.
Sedangkan yang dimaksud Qawaid Tafsir dalam hal ini ialah kaidah-kaidah yang
diperlukan oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Kaidah-kaidah
yang diperlukan para mufasir dalam memahami Al-Qur’an meliputi penghayatan
uslub-uslubnya, pemahaman asal-asalnya, penguasaan rahasia-rahasianya dan
kaidah-kaidah kebahasaan.
B.
MACAM-MACAM QAWAID TAFSIR
Orang
yang hendak menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, lebih dahulu harus tahu dan
memahami beberapa kaidah-kaidah yang erat kaitannya dengan pemahaman makna kalimat
yang hendak ditafsirkan. Ada beberapa macam Qawaid Tafsir, seperti :
1. Mantuq
dan Mafhum
Mantuq
adalah makna yang ditunjukkan oleh lafaz dalam pembicaraan atau penuturan. Kata
mantuq secara bahasa berarti sesuatu yang ditunjukkan oleh lafal
ketika diucapkan (tersurat). Secara istilah dilalah mantuq adalah :
(Wahbah al-Zuhaili, 2001 : 360)
دلالة
المنطوق هي دلالة اللفظ على حكم شيئ مذ كور في الكلم
“Dilalah
mantuq adalah penunjukkan lafal terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam
pembicaraan (lafal)”.
Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu hukum dipahami langsung
lafal yang tertulis, maka cara seperti ini disebut pemahaman secara mantuq.
Misalnya, hukum yang dipahami langsung dari teks firman Allah pada S.
Al-Isra’ : 23 yang berbunyi :
فلا تَقُلْ
لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا
“Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka”.
Dengan menggunakan pemahaman secara mantuq ayat ini menunjukkan
haramnya mengucapkan kata “ah” dan membentak kedua orang tua. Larangan
atau haramnya hal tersebut langsung tertulis dan ditunjukkan dalam ayat ini.
Para ahli ushul fiqh membagi mantuq kepada dua macam, yaitu mantuq
sharih dan mantuq ghairu sharih. Mantuq sharih secara bahasa
berarti sesuatu yang diucapkan secara tegas. Adapun definisi mantuq sharih secara
istilah adalah:
المنطوق
الصريح هوما وضغ اللفظ له فيد ل عليه بالمطابقة او بالتضمن
“Mantuq
sharih adalah makna yang secara tegas yang ditunjukkan suatu lafal sesuai dengan
penciptaannya, baik secara penuh atau berupa bagiannya”. (Mushtafa Said
al-Khain, 2001 : 139)
Untuk memahami definisi ini dengan baik perlu dikemukakan contoh
penggunaan dilalah mantuq sharih pada firman Allah S. Al-Baqarah : 175
yang berbunyi :
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Ayat ini menunjukkan secara jelas dan tegas melalui mantuq sharih tentang
kehalalan jual beli dan keharaman riba.
Adapun mantuq
ghairu sharih adalah :
المنطوق غير
صريح هو مالم يوضع اللفظ له بل هولا زم لما وضع
“Mantuq
ghairu sharih adalah pengertian yang ditarik bukan dari makna asli dari suatu
lafal, sebagai konsekuensi dari suatu ucapan”. (Mushtafa Said al-Khain,
2001 : 139)
Dari definisi ini jelas bahwa apabila
penunjukkan suatu hukum didasarkan pada konsekuensi dari suatu ucapan (lafal),
bukan ditunjukkan secara tegas oleh suatu lafal sejak penciptaannya, baik
secara penuh atau bagiannya disebut dilalah mantuq ghairu sharih.
Mafhum
adalah makna yang dipahami bukan dari pembicaraan. Pengertian
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lafadz, tetapi bukan
dari ucapan lafadz itu sendiri (tersirat) (A. Hanafie MA, 1961 : 74).
Para ahli
ushul fiqh mendefinisikan mafhum sebagai berikut :
المفهوم مادل
عليه اللفظ لا في محل النطق و بعبارة اخرى هو دلالة اللفظ على حكم شىئ لم يذكر في
الكلام او هو اثبات نقيض حكم المنطوق للمسكوت عنه
“Mafhum
adalah penunjukkan lafal yang tidak diucapkan atau dengan kata lain penunjukkan
lafal terhadap suatu hukum yang tidak disebutkan atau menetapkan pengertian
kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (bagi sesuatu yang tidak
diucapkan)”. (Wahbah al-Zuhaili, 2001 : 361)
Seperti firman Allah SWT :
فلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا
“Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka” (Q. S. Al-Isra’ : 23)
Secara
mantuq, hukum yang dapat ditarik dari ayat ini adalah haramnya mengucapkan kata
“ah” dan menghardik orang tua. Dari ayat ini dapat juga digunakan
mafhum, dimana melaluinya dapat diketahui haram hukumnya memukul orang tua dan
segala bentuk perbuatan yang menyakiti keduanya.
Mafhum juga
dapat dibedakan kepada 2 bagian :
1.
Mafhum Muwafaqah, yaitu penunjukkan hukum yang tidak
disebutkan untuk memperkuat hukum yang disebutkan karena terdapat kesamaan
antara keduanya dalam meniadakan atau menetapkan (Mushtafa Said al-Khain, 2001
: 143). Mafhum Muwafaqah dapat dibagi kepada :
a.
Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan
lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul orang tua lebih
tidak boleh hukumnya, firman Allah yang berbunyi :
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka” (Q. S.
Al-Isra’ : 23).
Sedangkan
kata-kata yang keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
b. Lahnal
Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan,
seperti firman Allah SWT :
”Mereka yang
memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api ke dalam
perut mereka” (Q. S. An-Nisa’ : 10)
Membakar
atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan
memakan harta dilarang (haram)
2.
Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian yang dipahami
berbeda dari ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi’
(meniadakan). Oleh sebab itu hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada
bunyi lafadz yang diucapkan. Seperti firman Allah SWT :
“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan
sholat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakannya dan
tinggalkanlah jual beli” (Q. S. Jum’at : 9)
Dipahami
dari ayat ini bahwa boleh jual beli di hari Jum’at sebelum azan si Mu’azin dan
sesudah mengerjakan sholat. Dinamakan juga Mafhum Mukhalafah ini Dalil
Khitab. Mafhum mukhalafah terdiri dari beberapa bagian, diantaranya : (A.
Hanafie M.A, 1961 : 80 – 81)
a. Mafhum
al-Sifat, adalah penunjukkan suatu lafal yang terkait dengan suatu sifat terhadap
kebalikan hukumnya ketika tiada sifat tersebut. Misalnya, firman Allah S.
An-Nisa’ : 25 yang berbunyi :
“Dan
barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya
untuk mengawini wanitamerdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang
beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.”
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang
laki-laki mukmin boleh menikahi budak perempuan yang beriman ketika tidak mampu
menikahi perempuan beriman yang merdeka. Melalui mafhum mukhalafah diketahui
haramnya menikahi budak perempuan yang tidak beriman.
b. Mafhum
‘Illat, yaitu menghubungkan hukum sesuatu menurut ‘illatnya. Seperti mengharamkan
minuman keras karena memabukkan.
c. Mafhum
al-Adad, yaitu menghubungkan suatu hukum kepada bilangan yang tertentu. Seperti
firman Allah SWT :
“Orang-orang
menuduh perempuan-perempuan baik berbuat curang (zina), kemudian tidak mereka
datangkan 4 orang saksi, maka pukullah mereka 80 kali pukulan” (Q. S.
An-Nur : 4)
Berdasarkan
ayat ini, hukuman bagi orang yang menuduh wanita baik-baik melakukan zina,
sementara ia tidak mampu menghadirkan empat orang saksi adalah dipukul sebanyak
80 kali. Dalam hal ini, tidak boleh mengurangi dan menambah hukuman pukulan
dari 80 kali.
d. Mafhum
Ghayah, yaitu lafadz yang menunjukkan hukum sampai kepada ghayah
(batasan/hinggaan), hingga lafadz ghayah ini adakalanya dengan “ilaa”
dan dengan “hatta”. Seperti firman Allah SWT :
“Bila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada dua mata siku” (Q. S.
Al-Maidah : 6).
e. Mafhum had, yaitu
menentukan hukum dengan disebutkan suatu adat di antara adat-adatnya. Seperti
firman Allah SWT :
“Katakanlah, tidak saya peroleh di dalam wahyu
yang diturunkan kepada saya, akan suatu makanan yang haram atas orang
memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi; karena ia
barang yang keji atau fasiq, yaitu binatang yang disembelih dengan tidak atas
nama Allah” (Q. S. Al-An’am :145).
f.
Mafhum al-Laqab, yaitu meniadakan berlakunya suatu
hukum yang terkait dengan suatu lafal terhadap orang lain dan menetapkan hukum
itu berlaku untuk nama atau sebutan tertentu (Hasballah, 2001 : 250). Misalnya,
firman Allah dalam S. Yusuf : 4 yang berbunyi :
“(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada
ayahnya : Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang,
matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud padaku.”
Dari ayat
ini dipahami bahwa ucapan tersebut hanya terkait dengan Nabi Yusuf karena tidak
ada kaitannya dengan orang lain.
g. Mafhum
al-Syarat, ialah menetapkan kebalikan hukum yang terkait dengan syarat ketika syarat
tersebut tidak ada (Hasballah, 2001 : 251). Misalnya, firman Allah dalam S.
Talaq : 6 yang berbunyi :
“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin.”
Ayat ini
menegaskan adanya kewajiban suami memberi nafkah terhadap isterinya yang ditalak
bain dalam keadaan hamil. Secara mafhum mukhalafah, suami tidak
berkewajiban memberi nafkah terhadap isterinya yang telah ditalak yang tidak
dalam keadaan hamil.
2. ‘Am
dan Khash
‘Am adalah lafaz yang
memberi pengertian umum yang mencakup segala sesuatu yang termasuk dalam
lingkungannya tanpa ada batasan dalam jumlah maupun dalam bilangan. Pembagian
‘am adaalah sebagai berikut :
a. Umum
syumuliy: Yaitu semua lafal yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku bagi
seluruh pribadi. Misalnya: “Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu
yang telah menciptakan kamu dari satu diri”. (QS. An-Nisa’: 1)
b. Umum
Badaluiy: yaitu suatu lafal yang dipergunakan dan dihukumkan serta berlaku
untuk sebagian afrad (pribadi). Misalnya: Hai orang-orang yang beriman
diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana diwajibkan orang-orang sebelum
kamu.(QS. Al-Baqarah: 183)
Lafal-lafal
umum Kullun, Jami’un, kaffatun dan ma’suara
·
Contoh Kullun
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ (١٨٥)
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Al-Imron: 185)
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Al-Imron: 185)
·
Contoh Jami’un
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا (٢٩)
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi ini seluruhnya”. (QS. al-Baqarah: 29)
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا (٢٩)
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi ini seluruhnya”. (QS. al-Baqarah: 29)
·
Untuk Kaffah
وَمَا اَرْسَلْنَكَ اِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيْرًا وَنَدِيْرًا
“Tidak kami utus engkau (Muhammad), melainkan untuk memberi kabar gembira dan peringatan bagi manusia”. (QS. Saba’: 29)
وَمَا اَرْسَلْنَكَ اِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيْرًا وَنَدِيْرًا
“Tidak kami utus engkau (Muhammad), melainkan untuk memberi kabar gembira dan peringatan bagi manusia”. (QS. Saba’: 29)
·
Contoh Ma’syara'
يَا مَعْشَرَ اْلِجنِّ وَاْلإِنْسِ اَلَمْ يَأْتِيْكُمْ رَسُلٌ مِنْكُمْ (١٢)
“Hai sekalian jin dan manusia!! Tidaklah sampai kepadamu utusan-utusan yang menceritakan ayat-ayat-Ku kepadamu? Serta manakuti kamu akan pertemuan hari ini.” (QS. An’am: 12)
يَا مَعْشَرَ اْلِجنِّ وَاْلإِنْسِ اَلَمْ يَأْتِيْكُمْ رَسُلٌ مِنْكُمْ (١٢)
“Hai sekalian jin dan manusia!! Tidaklah sampai kepadamu utusan-utusan yang menceritakan ayat-ayat-Ku kepadamu? Serta manakuti kamu akan pertemuan hari ini.” (QS. An’am: 12)
Khash
adalah lafaz yang menunjuk kepada pengertian tertentu. Dalalah khas menunjuk
kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang
ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya
kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَج
“tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji.” (Al-Baqaarah :196)
Lafadz tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy.
Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:
فِيْ كُلِّ أَرْبَعِيْنَ شَاةً شَاة
“pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing”.
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadz khas. Karena kedua lafadz tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadz itu sendiri.
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَج
“tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji.” (Al-Baqaarah :196)
Lafadz tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy.
Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:
فِيْ كُلِّ أَرْبَعِيْنَ شَاةً شَاة
“pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing”.
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadz khas. Karena kedua lafadz tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadz itu sendiri.
3. Mutlaq
dan Muqayyad
Mutlaq adalah nas yang menunjuk
kepada satu pengertian saja dengan tiada kaitannya
pada ayat lain. Mutlaq ialah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya. Misalnya, kata raqabah yang terdapat pada firman Allah SWT.
pada ayat lain. Mutlaq ialah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya. Misalnya, kata raqabah yang terdapat pada firman Allah SWT.
“Maka (wajib
atasnya) memerdekakan hamba sahaya.” (QS). Mujahadah: 3)
Ini berarti boleh membebaskan
hamba sahaya yang tidak Mukmin atau hamba sahaya yang Mukmin. Lafazh tersebut
termasuk mutlaq karena tidak dibatasi dengan sifat tertentu.
Muqayyad adalah nas yang menunjuk
kepada satu pengertian, akan tetapi pengertian tersebut harus dikaitkan kepada
adanya pengertian yang diberikan oleh ayat nas yang lain. Suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan
suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya. Misalnya, kata raqabah disifati
dengan kata mu’minah pada ayat:
“Dan barang
siapa membunuh seorang Mukmin karena bersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang Mukmin.” (QS. An-Nisa’: 92)
Disini tidak sembarangan hamba
sahaya yang dibebaskan tetapi ditentukan, hanyalah hamba sahaya yang beriman.
4. Mujmal
dan Mubayyan
Mujmal adalah ayat yang menunjukkan
kepada sesuatu pengertian yang tidak terang dan tidak rinci, atau dapat juga
dikatakan sebagai suatu lafaz yang memerlukan penafsiran yang lebih jelas. Wahbah
Al-Zuhaili mendefinisikan mujmal dengan :
المجمل هو اللفظ الذي
خفي المراد منه بنفسه اللفظ خفاء لا يدرك الا ببيان من المتكلم به
Mujmal adalah lafal yang sulit dipahami
maksudnya kecuali melalui penjelasan dari mutakallim (orang yang mengucapkan). (Wahbah
Al-Zuhaili, 2001 : 340)
Ada beberapa
sebab suatu lafal disebut mujmal, yaitu :
1. Lafal
yang mempunyai makna musytarak tanpa diiringi oleh indikator (qarinah) sehingga
sulit untuk mengetahui makna yang paling terkuat diantaranya. Misalnya, lafal quru’
dalam firman Allah S. Al-Baqarah : 228 yang berbunyi :
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’”.
Lafal
quru’ ini secara bahasa berarti suci dan haid. Imam Syafi’i
berpendapat bahwa lafal quru’ berarti suci, sedangkan imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa quru’ berarti haid. (Saiful Hadi, 2009 : 69).
2. Suatu
lafal yang maknanya secara bahasa aneh atau ganjil, seperti kata (هلوع)
pada firman Allah S. Al-Ma’arij :19 – 21 yang berbunyi :
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat
keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia
berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”.
Kata (هلوع)
dalam ayat 19 S. Al-Ma’arij ini sulit dipahami sampai Allah menjelaskan pada
ayat 20 dan 21 pada surat yang sama.
3. Pemindahan
lafal dari makna kebahasaan menuju makna secara istilah atau menurut syara’,
seperti lafal shalat, zakat, puasa, dan haji. Sehubungan dengan ini, Sunnah
dating menjelaskan makna secara syara’ dari lafal-lafal ini. Apabila tidak ada
penjelasan Syari’ tentang makna lafal-lafal ini, maka tidak mungkin mengetahui
makna lafal tersebut secara syara’ sebagaimana yang diinginkan oleh Syari’.
Mubayyan adalah suatu ayat yang
diperoleh pada ayat yang lain. Istilah mubayyan adalah lawan dari mujmal.
Secara istilah, para ahli ushul fiqh mendefinisikan mubayyan sebagai berikut :
المبين
ما اتضحت دلا لته
بالنسبة الى معنا ها
“Mubayyan adalah suatu lafal
yang dilalahnya telah jelas dengan memperhatikan maknanya”. (Firdaus, 2008
: 165)
Dilihat dari segi kejelasan
maknanya, mubayyan terbagi menjadi dua bentuk.
1)
Al-wadih bi Nafsihi, yaitu lafal yang telah jelas maknanya sejak awal
penggunaannya sehingga tidak membutuhkan penjelasan dari lafal lain. Kejelasan
lafal ini diketahui melalui pendekatan bahasa, seperti firman Allah SWT dalam S.
Al-Baqarah : 282 yang berbunyi :
“Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
Makna yang terkandung dalam ayat ini dapat dipahami dengan mudah dengan
melihat penggunaan bahasanya.
2)
Al-wadih bi Ghairihi, yaitu untuk mengetahui maknanya perlu dibantu
oleh lafal lain. Misalnya, firman Allah SWT pada S. Al-An’am : 141 yang
berbunyi :
“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)”.
Kata hak yang terdapat dalam ayat ini mengandung makna sesuatu
yang memiliki sifat, maka penjelasannya dapat berupa kadar atau ukuran.
5. Muhkam
dan Mutasyabih
Muhkam adalah nas yang
tidak memberikan keraguan lagi tentang apa yang
dimaksudkannya (nas yang sudah memberikan pengertian yang pasti).
dimaksudkannya (nas yang sudah memberikan pengertian yang pasti).
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آَيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
“Alif
Lam Ra’, inilah sebuah kitab yang ayat-ayatnya dimuhkamkan, dikokohkan serta
dijelaskan secara rinci, diturunkan dari sisi Allah Yang Mahabijaksana lagi
Mahatahu” ( QS. 11:1).
Allah
SWT memberitahukan bahwa didalam Al-Quran ada ayat-ayat muhkamat yang merupakan
pokok-pokok Al-Kitab ayat muhkamat artinya ayat yang jelas dan tidak samar bagi
siapapun dan mengandung ayat-ayat yang maknanya samar oleh kebanyakan orang.
Mutasyabih adalah nas
yang mengandung pengertian yang samar-samar dan mempunyai kemungkinan beberapa
arti.
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
“Allah
telah menurunkan perkataan yang paling baik, yaitu Al-Quran yang Mutasyabih dan
berulang-ulang, yang karenanya gemetarlah kulit orang-orang yang takut kepad
Tuhan mereka” (QS. 39:23).
Mutasyabihat
yakni ayat yang maknanya berkemungkinan sejalan dengan ayat muhkan atau sejalan
dengan ayat lain dari segi lafaz dan susunanya bukan dari segi maknanya.
C.
KAIDAH-KAIDAH KEBAHASAAN
Kaidah-kaidah
kebahasaan yang perlu dipahami oleh para Mufasir banyak sekali. Namun dalam
pembahasan kali ini hanya akan diungkap beberapa kaidah saja yang dianggap sangat
penting, yaitu :
1) Dhamir
Pada
dasarnya, dhamir diletakkan untuk mempersingkat perkataan, ia berfungsi untuk
mengganti penyebutan kata-kata ynag banyak dan menempati kata-kata itu secara
sempurna, tanpa merubah makna yang dimaksud dan tanpa pengulangan. Dhamir termasuk
dalam isim ma’rifat.
Dhomir (kata ganti orang)
Contoh:
هُوَ – أَنْتَ – أَنَا
2) Isim
Ma’rifah dan Nakirah
Masing-masing
Ma’rifah maupum Nakirah mempunyai fungsi yang berbeda.
·
Isim Ma’rifat adalah isim yang sudah jelas
penunjukannya
Contoh:
عُمَرُ (Umar)
كِتَابُ مُحَمَّدٍ (Buku Muhammad)
Nama orang walaupun bertanwin
tetap dikatakan sebagai isim ma’rifat dan bukan sebagai isim nakiroh.
Contoh:
مُحَمَّدٌ – زَيْدٌ
·
Isim Nakirah adalah isim yang belum jelas
penunjukannya
Contoh:
مُسْلِمٌ (Seorang muslim)
كِتَابُ طَالِبٍ (Buku seorang mahasiswa)
Isim Nakiroh biasanya mempunyai harokat akhir
yang bertanwin
Contoh:
مُسْلِمٌ – مِصْبَاحٌ
3) Mufrad
dan Jamak
Sebagian
lafaz dalam Al-Qur’an dimufradkan untuk sesuatu makna tertentu dan dijamakkan
untuk sesuatu isyarat khusus, lebih diutamakan jamak dari mufrad atau
sebaliknya. Oleh karena itu dalam Al-Qur’an sering dijumpai sebagian lafaz yang
hanya dalam bentuk jamaknya dan ketika diperlukan bentuk mufradnya maka yang
digunakan adalah kata sinonimnya (mufradif)nya.
4) Pertanyaan
dan Jawaban
Pada
dasarnya jawaban itu harus sesuai dengan pertanyaan. Namun terkadang ia
menyimpang dari apa yang dikehendaki pertanyaan. Hal ini mengingatkan bahwa
jawaban itulah yang seharusnya ditanyakan.
ANALISIS QAWAID TAFSIR
A. PENGERTIAN
QAWAID TAFSIR
Qawaid
tafsir adalah aturan-aturan dasar yang menjadi acuan para mufassir dalam
menafsirkan (mengartikan) al-qur’an.
B. MACAM-MACAM
QAWAID TAFSIR
1. Mantuq
dan Mafhum
Mantuq ialah pemahaman
ayat secara tersirat, jadi mufassir m
2. ‘Am
dan Khas
‘Am ialah
menunjukkan makna umum dan khas secara bahasa ialah kebalikan dari ‘am yaitu
menunjukkan makna khusus. Adapun kehujjahan ‘am ialah berbeda-beda menurut
ulama’ hal ini dikarenakan apakah ‘am termasuk qath’i atau dzanni. Begitu juga
tentang kehujjahan khas, sama dengan ‘am dimana ulama’ berbeda pendapat tentang
apakah khas itu qath’i atau dzanni.
Didalam khas terdapat takhsis dan mukhassas dimana keduanya saling berhubungan erat. Adapun takhsis ialah penjelasan sebagian lafadz ‘am bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘am dengan dalil.
Didalam khas terdapat takhsis dan mukhassas dimana keduanya saling berhubungan erat. Adapun takhsis ialah penjelasan sebagian lafadz ‘am bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘am dengan dalil.
3. Mutlaq
dan Muqayyad
4. Mujmal
dan Mubayyan
5. Muhkam
dan Mutasyabih
C. KAIDAH-KAIDAH
KEBAHASAAN
1. Dhamir
2. Isim
Ma’rifat dan Isim Nakirah
3. Mufrad
dan Jamak
4. Pertanyaan
dan Jawaban
Abu Zahra,
Muhammad, Ushul Fiqih, Beirut, Darrul Fikr, 1958
o Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, jakarta: Rajawali Pers, 1993
o Khudhari Biek, Muhammad, Ushul Fiqh, Lebanon, Darrul Fikr, 1988
o <http://cakzainul.blogspot.com/2010/01/makalah-ushul-fiqh-perbandingan-dalalah.html diakses tanggal 31-10-2010>
o http://kcpkiainws.wordpress.com/2009/06/05/lafadz-%E2%80%98am-dan-lafadz-khas/ diakses tanggal 30-10-2010
o Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, jakarta: Rajawali Pers, 1993
o Khudhari Biek, Muhammad, Ushul Fiqh, Lebanon, Darrul Fikr, 1988
o <http://cakzainul.blogspot.com/2010/01/makalah-ushul-fiqh-perbandingan-dalalah.html diakses tanggal 31-10-2010>
o http://kcpkiainws.wordpress.com/2009/06/05/lafadz-%E2%80%98am-dan-lafadz-khas/ diakses tanggal 30-10-2010
Tidak ada komentar :
Posting Komentar