Dia
Aku
tak tahu apakah yang kupikirkan dan rasakan ini benar adanya dan dibenarkan
oleh agamaku, aku sudah berusaha untuk menghapus semua tatapan matamu dari buku
harian hatiku, menyapu indahnya senyummu dari lubuk hati ini, meracuni
kata-kata manismu kepadaku. Tetapi, apapun usahaku rasanya sia-sia belaka.
Pondasi beton yang kau tanamkan dihatiku sudah terlanjur mendarah daging dan
menyatu dalam urat nadiku. Sehingga, menyebut namamu saja membuat hatiku
bergetar. Menatap potretmu membuatku sesak nafas dan kehilangan kesadaran.
Bertahun-tahun lamanya kupendam dalam rasa ini, berharap kau yang ungkapkan
dulu kepadaku.
Tetapi,
bukankah kita masih ada ikatan saudara? bukankah kau adalah adik dari Bu dheku?
kenapa kau harus menjadi sosok itu? menjadi orang yang benar-benar kuharapkan
menjadi imam dalam bahtera keluargaku kelak.
Semua
pertannyaan berkumpul menjadi sebongkah batu yang siap menghantamku kapanpun,
menghantuiku saat aku mengingat wajahmu. Tapi untuk apa sekarang aku
memikirknmu lagi, mungkin kau saja tak ingat denganku, tak peduli denganku
bahkan membenciku mungkin. Mungkin pula kau sudah mempunyai tambatan hati,
meskipun itu mungkin tapi aku harap tidak mungkin.
Malam
ini, aku benar-benar bahagia. Kau mengucap janji suci itu di depanku dan keluargaku.
Dunia serasa berpihak kepadaku, semerbak bau surga menyapaku. Terlihat jelas
kesungguhan itu dari raut wajahmu.
“
Maukah kau menjadi pendamping hidupku ? menjadi ibu untuk anak-anakku kelak?,”
tanya seorang pria berusia 27 tahun yang sejak ba’da magrib tadi duduk di ruang
tamu rumahku.
“
Insya allah, aku bersedia. Tapi aku membutuhkan bimbinganmu dalam mengasuh
anak-anak kita kelak,” Jawabku dengan suara lembut sambil memegang erat tangan
halus wanita paruh baya yang duduk disampingku.
“
Tentu, aku akan membimbingmu, menjagamu, serta menyayangimu.” Jawabnya dengan
tegas tanpa ragu sedikitpun.
Dialog
singkat itu disaksikan oleh lantunan sunyi malam beserta para musikus yang
menghiasi malam ini. Nampak sedikit ganjil dan hambar, di ruang tamu itu semua
orangnya sudah sangat kukenal baik. Lucu rasanya, keluarganya adalah
keluargaku. Meskipun kami belum ada ikatan. Aku tak peduli itu, tak mau tahu
dengan apa kata orang tentang kami. Peduli apa mereka dengan kebahagianku.
Jangan lagi kau sesali
keputusanku
Ku tak ingin kau
semakin kan terluka
Tak ingin ku paksakan
Cinta ini...
Meski tiada sanggup kau
terima
Dentuman
lagu ini membangunkanku. “ Agh... sial, hanya mimpi,” gerutuku dalam hati.
Suara alarm yang kupasang, malah mencelakaiku sendiri. Padahal sudah merasa
terbang kepangkal langit, dan kini harus jatuh kembali ke ujung bumi. Sakitnya
tak sesakit harus menyadari kenyataan, kenyataan bahwa kini aku adalah istri
dari orang lain. Menatap raut wajah seseorang yang belum kukenal benar
sosoknya, kini terlelap diranjangku, dikamarku.
Mas
Setyo, pria yang menikahiku dua bulan lalu. Entah alasan apa yang membuatku
menerima pinangannya. Keluargakupun dengan suka cita menerima bergabungnya Mas
Setyo ke keluarga kami. Mungkin karena parasnya yang rupawan dan kekayaannya?
Atau karena kelembutan dan kesopanan tutur katanya? Atau karena keputus asaanku
menantimu, My Prince ?
Tapi yang penting dari semuanya Mas
Setyo menyayangiku, menerimaku apa adanya, mau memahamiku. Beruntungnya aku
bisa menjadi kandidat terpilih di hatimu Mas. Kau selalu romantis dan
memanjakanku setiap hari, membuatku tak jemu dengan hadirmu. Menumbuhkan
sedikit demi sedikit benih cinta untukmu, dan mengkaramkan cintaku untuk My Prince.
Terbesit juga akan selembar kertas
yang kemarin baru kuambil dari Rumah Sakit. Aku tak pernah menyangka kalau aku
akan jadi begini, sakit. Sakit yang menurutku nggak biasa. Kenapa juga harus aku? Apa aku bisa bertahan melawan
penyakit ini? Apa aku sanggup ya Allah? Semua pertanyaan bertubi-tubi menusuk
pikirku. Aku belum berani menceritakan hal ini pada siapapun, mas Setyo juga
belum tahu. Aku belum siap mendapatkan belas kasihan dari siapapun. Aku malu
kalau terlihat lemah didepannya. Meski aku tahu betul, dia takkan
menertawakanku. Biarlah waktu yang akan bercerita padanya.
*****
“ Pagi sayang ! ayo bangun kita
sholat berjamaah dulu,” ajak mas Setyo dengan usapan halus dirambutku, suaranya
yang pelan membuatku terbangun.
“ Iya, mas.” Jawabku dengan mata masih
terpejam.
Sudah menjadi rutinitas kami sholat
berjamaah, dan sudah rutinitas pula kalau aku harus terbangun oleh suara
lembutnya. Kini aku harus terbiasa dengan memanggilnya suamiku. Butuh proses
memang untuk mengajak lidah ini kompromi mengucap kata itu. Tapi syukurnya Mas
Setyo selalu bisa mengerti itu. Aku juga harus terbiasa melayaninya, menyiapkan
segala keperluannya sebelum berangkat bekerja. Menanti kepulangannya setiap
pukul 16.00 tiba.
“ Sayang, hari ini Mas pulang
telat. Ada laporan-laporan yang harus diselesaikan,” katanya sambil membereskan
sajadah.
“ Iya, Mas.” Jawabku singkat.
Tuturnya yang lembut dan tak pernah
sekalipun kudengar darinya amarah terkadang membuatku merasa bersalah jika
harus bersikap acuh kepadanya. Inikah saatnya aku menjadi istri yang baik,
sholehah, nurut ke suaminya ? namun, dihatiku masih ada nama orang lain, bukan
dirimu Mas Setyo. Salahkah aku?
Hari ini aku masuk ke dapur dengan
perasaan menggantung, mengharap mimpi semalam adalah nyata. Kupanaskan air
diatas kompor, ku persiapkan racikan kopi yang setiap pagi sengaja kuhidangkan
untuk Mas Setyo. Setelah kopi siap, aku mulai aksiku dengan semua peralatan
dapur dan sayur mayur yang kedinginan di dalam lemari es. Kupotong, kucincang,
kurebus, kucampur dengan berbagai macam bumbu yang kuketahui dari ibu tercinta.