BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Harta merupakan titipan
Allah SWT yang pada hakekatnya hanya dititipkan kepada kita sebagai manusia
ciptaan-Nya. Konsekuensi manusia terhadap segala bentuk titipan yang dibebankan
kepadanya mempunyai aturan-aturan Tuhan, baik dalam pengembangan maupun dalam
penggunaan. Terdapat kewajiban yang dibebankan pada pemiliknya untuk
mengeluarkan zakat untuk kesejahteraan masyarakat, dan ada ibadah maliyah
sunnah yakni sedekah dan infaq. Karena pada hakekatnya segala harta yang dimiliki
manusia adalah titipan Allah SWT, maka setiap kita manusia wajib melaksanakan
segala perintah Allah mengenai hartanya.
Pembahasan
tentang pembiayaan sektor publik oleh pemerintah, erat kaitannya dengan
pembahasan tentang peran dan fungsi negara dalam perekonomian. Tantangan utama
dalam penggalian sumber dana domestik adalah cara mengoptimalkan upaya
mendapatkan pendapatan dari sumber-sumber yang tersedia dan mendistribusikannya
secara efektif untuk pembangunan serta meningkatkan kapasitas produksi nasional.
Maka dibutuhkan kebijakan makroekonomi yang kondusif untuk mendukung
pengalokasian yang efektif, penguatan sektor keuangan negara yakni dengan
pemobilisasian pendapatan pemerintah dan yang terakhir adalah penguatan sektor
keuangan domestik.
Infak,
sedekah dan wakaf bukanlah instrumen wajib yang dikeluarkan oleh individu
muslim, namun ketiga instrumen tersebut memiliki peran yang tidak kalah
pentingnya dalam kegiatan keuangan publik. Menjadi sumber pendapatan yang
potensial jika dikelolah dengan efektif dan efisien oleh lembaga yang
bertanggungjawab.
Sayangnya,
masih sedikit sekali umat muslim yang mau dengan suka rela memberikan hartanya
untuk infak, sedekah maupun wakaf. Untuk itu dibutuhkan suatu pencerahan dan
motivasi yang dapat mendorong pemberdayaan infak, sedekah dan wakaf di kalangan
masyarakat umum. Mengabarkan betapa Allah sangat menghargai makhluknya yang mau
memberikan hartanya dijalanNya. Secara lebih jelas dan rinci akan dibahas pada
bab selnajutnya.
1.2 Rumusan
masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1) Apa
peran dan fungsi sektor sosial ?
2) Bagaimana
definisi dan mekanisme infak, sedekah dan wakaf ?
3) Bagaimana
motivasi instrumen sukarela dalam keuangan publik ?
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah diatas dapat
ditarik beberapa tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu:
1) Mengetahui
peran dan fungsi sektor sosial.
2) Mengetahui
definisi dan mekanisme infak, sedekah dan wakaf.
3) Mengetahui
motivasi instrumen sukarela dalam keuangan publik.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Peran dan Fungsi Sektor Sosial
Negara
yang dijalankan dengan prinsip islami pada hakikatnya memiliki tujuan yang
besar, yakni untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum untuk seluruh
masyarakatnya, memerangi ketidakadilan oleh pemerintah maupun antara anggota
masyarakat, dan menjalankan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Semua
tujuan itu harus dijalankan dengan dilandasi keadilan (Siddiqi, 1993). Untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut, negara memiliki kekuasaan untuk mengelola
anggaran dan belanja pemerintah.
Dalam
proses memobilisasi pendapatan negara, pemerintah dapat juga menggunakan
instrumen modern yang berbasis surat berharga (utang negara). Dalam hal ini,
negara menerbitkan surat berharga (sukuk) guna memenuhi kekurangan anggaran
negara. Sukuk tersebut diterbitkan dan dilepas ke pasaran sehingga setiap
anggota masyarakat dapat memiliki sertifikat tersebut. Dengan demikian,
masyarakat dapat membantu pemerintah untuk menjalankan negara sekaligus
berinvestasi, karena melalui sukuk tersebut masyarakat akan mendapat return atas investasinya.
Meskipun
tersedia instrumen tradisional dan modern untuk memobilisasi pendapatan negara,
negara harus tetap lebih mengutamakan penerimaan negara dari instrumen
tradisional yang telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kondisi kekinian. Namun, tidak semua instrumen dapat dimodifikasi misalnya
zakat, metode pengumpulan dan penggunaannya telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan
sunnah, baik sumber maupun penerimaannya, bahkan hingga besarnya pun sudah
ditentukan.
Prinsip
yang harus dipenuhi untuk memobilisasi pendapatan negara adalah tidak
diperkenankannya pemungutan pajak dan utang selama pendapatan negara yang telah
ditentukan oleh Islam dan segala sumber daya alam masih mencukupi untuk membiayai
pengeluaran negara (Chapra, 1995). Pajak juga tidak diperkenankan untuk
dipungut dalam rasio yang tinggi dan memberatkan masyarakat.
Untuk
anggaran pengeluaran, negara juga harus memenuhi prinsip-prinsip yang telah
diatur oleh syariat. Beberapa syarat yang diwajibkan dipenuhi oleh negara dalam
mengelola pengeluaran negara adalah tidak diperkenankannya berlebih-lebihan
atau boros, mengutamakan kebutuhan yang mendasar daripada kebutuhan yang kurang
prinsiple. Sehingga diharapkan terbangun kekuatan kekompakan kolektif dari
seluruh masyarakat untuk bangkit membangun negaranya.
Anggaran
belanja negara harus digunakan untuk kepentingan yang menjadi prioritas, yaitu
pemenuhan kebutuhan dasar minimal, pertahanan, penegakan hukum, kegiatan dakwah
Islam, amar makruf nahi mungkar, penegakan keadilan, administrasi publik, serta
untuk melayani kepentingan sosial lainnya yang tidak dapat disediakan oleh
sektor privat dan pasar (Siddiqi, 1993).
Jika
kita melihat kondisi kekinian, dimana persaingan ekonomi, teknologi, dan
kemampuan pertahanan antar negara semakin ketat. Dimana kekuatan teknologi dan
kemampuan pertahanan sangat berpengaruh dalam pergaulan internasional (Siddiqi,
1993) maka negara juga memiliki kewajiban untuk memanfaatkan anggaran belanja
untuk kepentingan riset dan perlindungan lingkungan (mengingat pembangunan
ekonomi menghasilkan eksternalitas yang negatif sehingga mengganggu
keseimbangan ekosistem).
Pemanfaatan
anggaran yang lain adalah untuk kepentingan penyediaan barang publik
sebagaimana hal ini juga sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan sosial
suatu negara. Subsidi untuk kalangan lemah, pengeluaran untuk melakukan treatment terhadap kondisi ekonomi yang
terganggu sehingga menjadi stabil kembali, juga untuk mencukupi kebutuhan modal
dan investasi yang mendorong pembangunan ekonomi dan peningkatan kapasitas
produksi suatu negara.
2.2 Definisi dan Mekanisme Infak, Sedekah, Wakaf
2.2.1 Infak
Infak
adalah mengeluarkan sebagian harta benda yang dimiliki untuk kepentingan yang
mengandung kemaslahatan. Dalam infak tidak ada nishab. Karena itu, infak
boleh dikeluarkan oleh orang yang berpenghasilan tinggi atau rendah, di saat
lapang ataupun sempit (QS Ali ‘Imran [3]: 134).
Infak
merupakan ibadah sosial yang sangat utama. Kata infak mengandung pengertian
bahwa menafkahkan harta di jalan Allah tidak akan mengurangi harta, tetapi
justru akan semakin menambah harta.
Untuk
orang yang ingin berinfak bisa saja langsung menemui lembaga yang mengelolanya,
misalkan tuan Imam ingin menginfakkan uang Rp 500.000,- kesebuah Masjid, Imam
bisa langsung menemui pengelola masjid agar mengelola dan menyalurkan harta
yang diinfakkan.
2.2.2 Sedekah
Sedekah secara
bahasa berasal dari kata "shadaqa"
yang artinya "benar". Pengertian sedekah sama dengan pengertian infak
sama juga hukum dan ketentuannya, perbedaannya adalah infak hanya berkaitkan
dengan meteri sedangkan sedekah memiliki arti luas menyangkut juga hal yang
bersifat non materil.[1]
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan) oleh
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir
benih yang tumbuh tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai seratus biji. Allah
melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S Al Baqarah : 261).
Secara prinsip
sedekah tidak berbeda dengan infak, namun dalam beberapa hadits Rasulullah Saw.
memberikan penjelasan bahwa sedekah yang merupakan suatu pemberian kepada orang
lain tidak harus dalam bentuk materi, dimana Rasulullah Saw. bersabda,
“Janganlah kalian menganggap remeh kebaikan itu, walaupun itu hanya
bermuka cerah pada orang lain,” (HR. Muslim).[2]
Bahkan dalam
Undang-Undang nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, definisi sedekah
sama dengan definisi infak, yaitu harta yang dikeluarkan oleh
seseorang atau badan di luar zakat untuk kemaslahatan umum.
Ketika anda
ingin bersedekah, anda bisa menyisihkan sebagian harta anda kepada yang
membutuhkan bisa dengan cara langsung mendatangi kepada lembaga ataupun kepada
orang bersangkutan langsung.
2.2.3 Wakaf
Ada beberapa pengertian
tentang wakaf antara lain:
Pengertian
wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah seseorang menahan hartanya
untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang kemaslahatan dengan tetap
melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada Allah ta’alaa.
Pengertian
wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan harta-benda sehingga menjadi hukum
milik Allah ta’alaa, maka seseorang yang mewakafkan sesuatu berarti ia
melepaskan kepemilikan harta tersebut dan memberikannya kepada Allah untuk bisa
memberikan manfaatnya kepada manusia secara tetap dan kontinyu, tidak boleh
dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan.
Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah
menahan harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari
hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang
dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu
Hanifahini, maka harta tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf
(wakif) selama ia masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia
sudah meninggal baik untuk dijual ayau dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan
definisi yang dikeluarkan oleh Abu Yusufdan
Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri
Pengertian wakaf menurut mazhab maliki
adalah memberikan sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya
tetap/lestari atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat.
Pengertian wakaf menurut peraturan
pemerintah no. 28 tahun 1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum
yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dari definisi tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam pemberian, akan
tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh
karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis
dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, misalnya tanah, bangunan dan
sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala,
pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.
·
Tata Cara Perwakafan Tanah Milik
1. Calon wakif
dari pihak yang hendak mewakafkan tanah miliknya harus datang dihadapan Pejabat
Pembantu Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf.
2. Untuk
mewakafkan tanah miliknya, calon wakif harus mengikrarkan secara lisan, jelas
dan tegas kepada nadir yang telah disyahkan dihadapan PPAIW yang mewilayahi
tanah wakaf. Pengikraran tersebut harus dihadiri saksi-saksi dan menuangkannya
dalam bentuk tertulis atau surat
3. Calon wakif
yang tidak dapat datang di hadapan PPAIW membuat ikrar wakaf secara tertulis
dengan persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya yang
mewilayahi tanah wakaf. Ikrar ini dibacakan kepada nadir dihadapan PPAIW yang
mewilayahi tanah wakaf serta diketahui saksi
4. Tanah yang
diwakafkan baik sebagian atau seluruhnya harus merupakan tanah milik. Tanah
yang diwakafkan harus bebas dari bahan ikatan, jaminan, sitaan atau sengketa
5. Saksi ikrar
wakaf sekurang-kurangnya dua orang yang telah dewasa, dan sehat akalnya. Segera
setelah ikrar wakaf, PPAIW membuat Ata Ikrar Wakaf Tanah
Berbicara
mengenai wakaf di Indonesia, khususnya pengembangan konsep wakaf tunai yang
terhitung masih baru, tidak bisa lepas dari periodesasi pengelolaan wakaf
secara umum. Paling tidak ada tiga periode besar pengelolaan wakaf di
Indonesia:
a.
Periode
Tradisional
Dalam periode
ini, wakaf masih ditempatkan sebagai ajaran yang murni dalam kategori
ibadah mahdhah (pokok). Yaitu hampir semua benda-benda wakaf
diperuntukkan untuk kepentingan pembangunan fisik, seperti masjid, musholla,
pesantren, kuburan, yayasan, dan sebagainya. Sehingga keberadaan wakaf belum
memberikan kontribusi sosial yang lebih luas karena hanya untuk kepentingan
yang bersifat konsumtif.
b.
Periode
Semi-Profesional
Periode
semi-profesional merupakan pola pengelolaan wakaf yang kondisinya relatif sama
dengan periode tradisional namun pada masa ini sudah mulai dikembangkan pola
pemberdayaan wakaf secara produktif, meskipun belum maksimal. Sebagai contoh
adalah pembangunan masjid-masjid yang letaknya strategis dengan menambah
bangunan gedung untuk pertemuan, pernikahan, seminar dan acara lainnya.
Selain hal
tersebut juga sudah mulai dikembangkannya pemberdayaan tanah-tanah wakaf untuk
bidang pertanian, pendirian usaha-usaha kecil seperti toko-toko ritel, koperasi,
penggilingan padi, usaha bengkel dan sebagainya yang hasilnya untuk kepentingan
pendidikan, meskipun pola pengelolaanya masih dikatakan tradisional.
c.
Periode
Profesional
Yaitu sebuah
kondisi di mana daya tarik wakaf sudah mulai dilirik untuk diberdayakan secara
profesional-produktif. Keprofesionalan yang dilakukan meliputi aspek: manajemen
SDM kenazhiran, pola kemitraan usaha, bentuk benda wakaf yang tidak hanya
berupa harta tidak bergerak seperti uang, saham dan surat berharga lainnya,
dukungan political willpemerintah secara penuh, seperti lahirnya UU No.41
Tahun 2004 tentang Wakaf.
Semangat
pemberdayaan potensi wakaf secara profesional produktif tersebut semata-mata
untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia, khususnya muslim di Indonesia
yang sampai saat ini masih dalam keterpurukan ekonomi yang sangat menyedihkan,
baik di bidang pendidikan, kesehatan, teknologi maupun bidang sosial
lainnya.
2.3 Motivasi Instrumen Sukarela dalam Keuangan
Publik
Islam
adalah agama yang bukan hanya menghendaki umatnya agar shaleh secara
individu-vertikal, tetapi juga shaleh secara sosial-horisontal. Karena itu,
islam menganjurkan kepada umatnya agar gemar berinfak dan bersedekah. Yang
merupakan bentuk nyata dari kepedulian dan kepekaan sosial.
Al-Qur’an
dan hadist Rasulullah banyak menjelaskan anjuran berinfak dan bersedekah.
“Perumpamaan orang yang
menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan
tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi
Maha Mengetahui.” QS al-Baqarah [2]: 261
Ayat
tersebut merupakan penghargaan dari Allah bagi orang yang berinfak dijalan-Nya.
Allah Maha Mengetahui bahwa manusia cenderung hitung-hitungan. Karena itu, pada
ayat di atas Allah memberikan jaminan balasan yang konkret dalam bentuk
hitungan angka bagi orang yang berinfak di jalan Allah.
Demikian
pula motivasi dan penghargaan yang diberikan oleh Rasulullah kepada orang yang
gemar berinfak dan bersedekah.
“Tangan diatas lebih baik daripada
tangan dibawah.” HR Bukhari dan Muslim
Ini
merupakan motivasi yang dahsyat yang diberikan Rasulullah kepada kita.
Semestinya kita berlomba-lomba untuk menjadi “tangan di atas” nilai kemuliaan
seseorang salah satunya diukur dari kemnfaatannya bagi orang lain.
Sedangkan
untuk wakaf, hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya
maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala
dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir
terus menerus selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan
bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits:
“Apabila
anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam),
yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak
shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)
Harta
yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi,
harta wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan umum sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang
artinya:
“Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang
tanah diKhaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan
tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan
sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan
tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan
tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Secara
umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara
jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq
fi sabilillah, maka dasar yang digunakan
para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman
ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq
fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut
antara lain:
“Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu
menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3):
92)
“Hai
orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267)
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemerintah memegang peran dan
fungsi yang sangat penting dalam sektor publik sebagai pengelola anggaran
negara. Mengatur serta menggali pendapatan yang potensial dan mengalokasikan
pengeluaran secara efektif dan efisien untuk pemerataan pembangunan. Namun,
masih dalam koridor syariat dalam artian tidak menyimpang dari Al-Qur’an dan
Hadist. Dikaitkan dengan sejarah ekonomi masa Rasulullah dan khalifah.
Infak, sedekah dan wakaf adalah
instrumen pendapatan negara yang didapat secara sukarela dari rakyat.
Mekanismenya disesuaikan dengan kebutuhan masa kini, asal tidak menyalahi
aturan agama Islam.
Motivasi utama yang dapat
mendorong masyarakat membelanjakan hartanya untuk instrumen sukarela adalah penghargaan
dari Allah berupa pahala yang berlipat serta keutamaan mengikuti tuntunan
Rasulullah saw.
3.2 Saran
Pemerintah harus selalu
meningkatkan peran serta fungsinya dalam pengelolaan anggaran negara,
bertanggungjawab penuh terhadap kesejahteraan rakyat melalui pengolaan anggaran
yang optimal. Kita sebagai rakyat juga harus sadar akan peran dan fungsi kita
dalam mendukung realisasi anggaran tersebut, menyisihkan harta yang memang
seharusnya dikelola oleh lembaga yang berhak bukan malah menahan dan menimbunnya
untuk kesenangan pribadi.
Karena menurut Rasulullah,
sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat untuk orang lain. Sabda
beliau mengandung banyak arti, yang salah satunya adalah anjuran untuk saling
membantu sesama muslim dalam berbagai urusan asal tidak menyimpang dari ajaran
agama.
DAFTAR PUSTAKA
Siddiqi, Muhammad Nejatullah. 1993. Public
Expendicture in an Islamic State. International Association of
Islamic Banks (Asian Region), Karachi, pp. 103-127 also available on http://www.financeinIslam.com/article/18/1/60.
Chapra, M. Umer. 1995. The Islamic Welfare State and
Its Role in The Economic di dalam Gulaid. Mahamoud A. Muhammad Aden Abdullah (1995). Reading in Public Finance in Islam, IRTI Publication
Management System. Jeddah. Dapat juga diakses di http://www.financeinislam.com/printer_friendly/1_36/94.
Huda, Nurul dkk. 2012. Keuangan Publik Islam:
Pendekatan Teoritis dan Sejarah. Jakarta: Prenada Media.
El-Bantanie, M. Syafe’i. 2009. Zakat,
Infak, dan Sedekah. Jakarta: Salamadani.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar